J

10.8K 1.1K 314
                                    

"Ini sama sekali nggak penting, sumpah."

"Gue setuju."

"Tapi Wa, dia kalah taruhan!"

"Andi lo jadi childish banget sekarang. Emang masalah kalo gua kalah?"

"Gue yakin semisal lo menang, lo yang bakal nagih gue sama Andi juga."

"Tapi Wa!"

"Shut up, you both."

Ruang kerja Kavin malam itu dibuat ngumpul lagi, beberapa waktu setelah keadaan membaik dan lumayan normal. Mereka sebenarnya tengah membicarakan persiapan untuk acara tahunan keluarga yang bakal diselenggarakan minggu depan, tapi nggak tau kenapa topiknya malah melenceng ke taruhan terakhir mereka.

"Gue kaget Bram lebih gila dari Rena, serius," Dewa meneguk softdrink di tangannya. Dia melirik Kavin, mengangkat satu alis dengan angkuh. "Coba lo nggak nolong dia, Kav."

Sang om balas menatap ponakannya dengan senyum miring. "Coba gua nggak nolong Ren, Wa."

Mereka berdua saling melemparkan tatapan membunuh. Andira yang duduk di sofa tengah cuma nyengir.

"Gue bisa banggain Wanda dong. Udah dia cute, manis, nggak macem-macem, posesif lagi. Uuuugh."

"Jijik, Andi. Bram lebih imut."

"Bacot, kalian semua. Jelas Rena paling imut."

Ketiga makhluk hidup di ruangan itu saling menatap tajam satu sama lain sekarang. Jemari Dewa sudah meremukkan kaleng di tangannya, dan nggak menunggu waktu lama untuk dia berdiri dengan tatapan datar.

"Ini pointless. Mending gue balik ke rumah," dia menarik jaket dari lengan sofa dan sudah setengah melangkah, ketika seruan Andira menghentikannya.

"Gimana kalo kita bawa mereka ke acara keluarga?"

Kavin tersedak birnya, sementara Dewa mengernyitkan alis.

"Gila apa lo? Mau Eyang jantungan liat keturunannya jadi maho semua?" Kavin bersuara dengan suara tercekik. "Udah cukup dulu gua diceramahin habis-habisan, Andi. Ntar kalo kalian dilarang ketemu gua seumur hidup gimana gegara dikira gua nyebar ajaran sesat hah?"

"Gue seneng-seneng aja," Dewa mengangkat bahu.

"Lo mah tai, Dewa."

"Kita bisa bilang mereka temen doang kan," Andira menggaruk belakang telinga, meringis.

"Kayak Eyang bakal percaya gua punya temen bocah, hahahah," Kavin tertawa miris.

"Gue bakal bilang kalau Rena, Wanda sama Bram temen gue semua, gimana?" Dewa menjawab. "Toh bener kami satu sekolah kan."

"Eh iya, pinter," Kavin mendadak cerah. "Tapi tetep bakal aneh kalo gua nempelin Bram terus.. ?"

"Elo dokter dia, Kavin, for fuck's sake," Dewa memutar bola mata. "Dan Andi bisa bilang dia gurunya Wanda. Beres. Kalian bisa urus mereka begitu Eyang kenal, jadi gue rasa nggak masalah kan."

"Tapi buat apa bawa mereka ke acara kita?" kali ini Kavin noleh ke Andira.

"Kita tentuin siapa paling imut ntar disana," Andi menyeringai. "Atau kalau kalian takut kalah, mundur sekarang juga nggak apa."

Tentu saja nggak ada yang bersuara. Semua tahu itu cuma pancingan, tapi tumbuh besar di keluarga mereka membuat ketiganya jadi keras kepala dan nggak berniat kalah. Jadi dengan tatapan saling merendahkan, ketiganya menyunggingkan senyum angkuh dan memalingkan wajah.

The game, ladies and gentlemen, is officially on.

ANDIRA

"Ngapain coba gue harus ikut?"

I Don't Give Two Fucks [in ed.]Where stories live. Discover now