F

17.6K 1.7K 474
                                    

DEWATA

Minggu ini adalah neraka bagi Dewa. Dia tahu teori kalau cinta itu merepotkan dari jaman TK, tapi baru kali ini dia ngerti ada hal yang lebih rempong lagi ketimbang itu: jealousy.

Iya, dia ngaku dia cemburu sekarang. Mati-matian. Puas lo pada?

"Dewa, maju ke depan dan selesaikan soal nomor empat belas!"

Ini lagi. Dewa memberi deathglare pada idiot lain di kelasnya yang nggak bisa ngerjain soal level dengkul unta. Dia maju, menyambar kasar spidol marker dari tangan cewek resek yang masih sempat-sempatnya bersikap genit dengan mengerlingkan mata, lalu menulis rumus dan cara dengan kecepatan 9 angka per sekon hingga membuat decitan seperti pekikan bayi. Spidol di tangannya menjerit, literally.

"Dewa, kamu lagi pms kah?" sang guru menyindir begitu dia selesai dan mengembalikan spidol dengan keadaan ujung yang nyaris tenggelam.

Alih-alih menjawab, Dewa mengeraskan rahang, berusaha agar tidak menyalak seperti anjing lantaran gurunya yang nggak becus ngajarin anak-anak sekelas. Dia ingin membalik tiap meja yang dilaluinya, memporak-porandakan kelas, tapi ketika matanya menangkap tatapan cemas Ren, sebagian kepala Dewa rasanya hilang.

Ah, jadi si rambut pirang masih memperhatikannya?

"Tama, lu sakit ya?" bisik Ren begitu ia menghempaskan diri di kursi.

Ketimbang menjawab, Dewa hanya menatap Ren sekilas dan memberi senyum hambar. Dia nggak lagi pengen ngomong apa-apa, terlebih ngasih penjelasan ke Ren kalau dia sama sekali nggak suka si pirang main terus sama cewek bernama Dian selama 16 hari terakhir. Ralat―dia benci setengah mati, sampai rasanya kulit kepalanya hampir mengelupas.

"Mn," Dewa menggumam ambigu, kemudian melipat tangan dan mengistirahatkan kepalanya di sana, menatap ke luar jendela.

Akhir-akhir ini langit selalu terlalu cerah untuk mood-nya, tapi hari ini mendung terlihat datang berarak dari arah selatan, diikuti angin kencang berhembus yang menggoyang dahan-dahan pepohonan. Dewa tersenyum sinis. Badai 77%, sempurna. Dia bisa teriak-teriak di tengah hujan seperti gila sepuasnya, nanti, kalau amarahnya butuh pelampiasan segera.

"Tama," terdengar bisikan Ren lagi, dan Dewa menjadi kaku ketika merasakan sentuhan kecil di punggungnya. "Tama, lihat sini."

Ketika ia hanya bergeming, Ren bersikeras dengan merangkul bahu Dewa, menangkup kedua pipinya dan membuatnya bersitatap dengan si rambut pirang secara paksa.

Ah. Dewa baru sadar dia merindukan wajah itu.

"Tama, bilang lu kenapa," ibu jari Ren bergerak secara sirkuler di pipinya, dan mau nggak mau Dewa menghela nafas karena percayalah―tangan anak itu terasa begitu lembut dan hangat.

"Gue baik, Rena," Dewa memejamkan mata, tersenyum tipis. Dia juga rindu bercakap-cakap dengan si pirang. Hell, dia rindu cowok otak udang itu secara keseluruhan. "Mau ngeteh sekarang?" kemudian terkekeh teringat sarkasmenya dulu.

"Lu punya mata panda," gumaman Ren menandakan si pirang beneran serius sekarang. "Lu habis ngapain aja, Tama?"

Dewa membiarkan netranya bersiborok dengan milik penghuni bangku sebelah. "Gue sibuk belakangan," dia mengangkat bahu, menyembunyikan fakta kalau seorang Dewata Pratama kena insomnia untuk kali pertama gara-gara masalah cinta. "No big deal, Rena."

"Ada yang bisa gua bantu?" Ren meringis, melepaskan tangannya dan membuat Dewa hampir mengeluarkan rengekan. "Gua tau kerjaan lu nanti nggak bakal sempurna, tapi seenggaknya lu bisa tidur bentar."

I Don't Give Two Fucks [in ed.]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora