I [END]

19.8K 1.5K 340
                                    

KAVINDRA

Mendeskripsikan kondisi Kavin, Andira dan Dewa saat ini dengan kata 'kacau' adalah understatement terburuk yang pernah ada. Raut mereka bertiga kusut masai sejak Kavin sadar Bram belum juga pulang hingga makan malam di meja dingin, pun begitu dengan Ren yang menurut Dewa sudah raib dari kelas sejak bel terakhir berdering. Andira menyusul panik saat ponsel Wanda nggak bisa tersambung, padahal cowok itu janji mau ke Hydra selepas sekolah.

Mereka berkumpul di rumah Dewa untuk melacak keberadaan ketiganya. Kavindra merasa lega begitu usahanya menelpon Bram berhasil beberapa jam kemudian, hanya untuk membeku menyadari sang pasien sedang terlibat masalah. Di seberang sana terdengar rusuh―hujan, nafas tersengal, juga suara serak Bram. Dia mengaktifkan mode speakerphone selama itu pula, dan makin lama menyimak darah dari wajah Kavin seperti habis terkuras.

"Bram baik-baik aja," Dewa berkata cepat menyadari Kavin menatap horor ponselnya yang masih menyala tapi hanya menangkap teriakan-teriakan marah dan makian kasar, tepat setelah Bram bilang nggak pengen lihat mukanya lagi. "Kav, masuk ke mobil sekarang."

Pria itu ganti menatap sang ponakan yang bisa tetap tenang melangkah dengan dua laptop di lengan kiri, sementara jemari kanan bolak-balik mengetik cepat di antaranya. Dia menoleh mendengar klakson dari Andira yang mulai nggak sabar di balik kemudi. Hampir tersandung, Kavindra akhirnya naik ke passenger seat sementara Dewa menguasai kursi belakang. Cowok itu mengarahkan Andira lewat jalur mana yang sudah dia retas lampu lalu lintasnya, sedangkan monitor lain menampakkan posisi Bram dari ponsel yang masih tersambung hingga sekarang.

"Kavindra, fokus," suara tenang Dewa menariknya kembali. "Kemungkinan terburuk, kondisi mereka bertiga luka parah. Tapi kalau yang Bram bilang bener, Rena Wanda baik-baik aja dan lo bisa langsung cek Bram nanti."

Yang diberi tahu hanya mengerjap.

"Gue udah masukin dua first aid kit di bagasi," lanjut Dewa lagi, mengumpat di sela-sela ketika Andira membanting setir di tikungan hingga membuat badan mobil menghantam guard rail dan menimbulkan suara memekak. "Jangan panik, Kavin. Belajar dari pengalaman gue kemarin."

Kavindra ingat. Beberapa minggu lalu dia memarahi sang ponakan habis-habisan karena nggak berpikir jernih dan dengan bodoh mencabut pisau dari perut Ren. Itu membuat si rambut pirang kehilangan lebih banyak darah dan membahayakan hidupnya. Menyadari kesalahannya berpotensi besar menghilangkan nyawa Ren membuat peristiwa itu dua kali lebih traumatis bagi Dewa.

"Yeah," Kavin memaksakan diri tersenyum kecut, mengambil nafas.

"Dewa, lo bisa kirim ambulans juga?" Andi bertanya dari depan, tancap gas di atas jembatan layang dan membuat Kavin bersyukur dia sudah memakai sabuk pengaman.

"Gue udah telpon om Kal dan minta dia ngirim dua, minimal," sahut Dewa. "Mereka barusan jalan, 10 menit di belakang."

"Bilang ke Kal buat siapin ruang operasi 6 dan 7," tambah Kavindra, mulai berfungsi. "Telpon Alex, minta dia standby sama timnya. Atau hubungi RS kita yang lebih dekat sama lokasi Rakyan, cek siapa aja yang ada di Jakarta sekarang."

"On it," jawab Dewa, disusul ketikan di atas keyboard yang makin liar.

Mereka nggak berkata apa-apa setelahnya selain untuk navigasi dan alternatif rencana yang memungkinkan untuk dieksekusi. Memasuki kawasan Muara Angke daerah Penjaringan, mereka terpaksa berhenti karena medan di depan mustahil dilewati mobil. Dewa menyuruh Andira membawakan satu laptopnya, sementara dia melangkah cepat memimpin dengan laptop lain menyusuri gang-gang sempit, dan Kavin mengekor paling belakang setelah memakai nitrile gloves dan menyambar first aid kit di masing-masing tangan.

I Don't Give Two Fucks [in ed.]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin