Mark mengabaikan sikap tidak bersahabat Jaemin. Buang-buang waktu. Ia harus cepat-cepat menuntaskan urusannya. Berada di tempat ini lama-lama membuatnya muak.

"Sayangnya aku kemari untuk mengembalikan ponsel Renjun. Kuyakin dia memerlukannya," Mark berkata santai sambil menarik benda metalik dari saku jaketnya.

"Kenapa ponsel Renjun ada padamu?"

"Dia meninggalkannya di mobil saat aku mengantarnya pulang dari rumah sakit," pria itu berkata seperti seseorang yang menghafalkan sebuah teks.

"Rumah sakit.." Jaemin bergumam. Ia lalu mengedarkan pandangannya pada Renjun, lalu Mark, lalu pada luka di kaki Renjun, lalu Mark lagi. Renjun bersumpah ia dapat mendengar roda-roda di otak Jaemin berputar dan menyocokan suatu puzzle.

Rumah sakit-- Renjun terkesiap. Kepalanya tersentak menatap Mark tidak percaya.

"Tentu saja. Ia susah sekali dihubungi karena ponselnya hilang. Ternyata ada di kau ya."

Di luar ekspektasinya Jaemin berkata ringan sambil berjalan kasual hendak mengambil ponsel Renjun yang kini diputar-putar di tangan Mark. Entah kenapa gestur bersahabat itu membuat Renjun curiga, begitu juga senyum menantang yang tersungging di wajah Mark.

"Renjun akan sangat berterima kasih," ujar Jaemin begitu benda persegi tipis itu sudah berada di tangannya.

Yah sepertinya tidak--

BUGH!!!

"Jaemin!?" Renjun memekik tak percaya melihat Mark yang terhuyung ke belakang menabrak kusen.

"Bastard," desis Jaemin. Mark terkekeh ringan sambil menyeka cairan merah yang mengalir dari sudut bibirnya.

π

"Maaf."

"Maaf?"

"Aku minta maaf. Dan juga, tolong maafkan sikap Jaemin di studio tadi," Renjun berkata. Kepalanya sedari tadi menunduk, menatap tangannya yang berpangku di bawah meja.

"You know it's rude when you talk to a person but not look into their eyes," pria bersurai gelap itu berbicara. Nadanya terdengar seperti ia tidak ingin berada di tempat ini.

Renjun mendongak, tidak sebelum ia menghela nafas berat. Sebisa mungkin ia menenangkan syarafnya begitu melihat sorot dingin yang keluar dari netra amber keemasan milik Mark.

"Ma--"

"Tidak perlu. Aku sudah cukup mendengarnya, terima kasih. Lagipula itu bukan perkara yang berarti untukku," potong Mark cepat.

"Tetap saja itu tidak menjustifikasi perbuatan Jaemin barusan," Renjun menimpali pelan namun dengan ketegasan yang cukup membuat Mark terkesan. Boleh juga nyali pria mungil itu.

"Memang."

Jawaban pendek milik Mark meninggalkan kebingungan aneh pada benak Renjun. Sebenarnya apa mau orang ini? Walaupun samar namun kelakuannya kadang berkontradiksi. Rasa was-was kembali menderanya saat pria di hadapannya tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Hmm... terima kasih sudah mengembalikan ponselku, omong-omong. Walaupun sebenarnya Hyung bisa menitipkannya di pos penjaga," Renjun berbasa-basi untuk mengatasi keheningan yang mencekiknya. Mark mengedikkan bahu.

"Aku hanya ingin memastikan," ucapnya ambigu. Renjun seratus persen yakin ia tidak benar-benar sedang menanggapi kalimatnya barusan.

"Huh?"

Mark tersenyum tipis yang hilang secepat senyum itu muncul. Renjun agak tercenung mengingat selama pertemuannya dengan Mark--yang hanya dua kali dan singkat--laki-laki yang lebih tua itu hanya menyetel wajah datar tanpa ekspresi.

"Kau pasti sudah menerimanya."

Kalau itu orang lain, hal yang lumrah bila mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan Mark. Tapi sejatinya Renjun adalah orang yang dapat membaca orang lain. Ia dengan mudah dapat menemukan kata-kata tersirat dari rangkaian kalimat yang keluar dari mulut orang lain. Siapapun. Tidak terkecuali Mark. Namun kelebihan yang satu itu lumayan menyiksanya. Jadi hampir setiap waktu ia akan mengabaikannya.

"Ya."

Atau tidak.

π

Renjun duduk termangu di beranda belakang rumah. Entah apa yang menuntunya langsung duduk di kursi kayu yang menghadap ke taman belakang alih-alih masuk lewat pintu depan. Kalau berbicara jujur, pertemuannya dengan Mark (sekaligus hujaman pertanyaan bertubi dari Jaemin) cukup menguras energi mentalnya. Ia butuh pemulihan. Salah satunya dengan memandang jejeran lili putih yang ditanamnya dengan Bibi Qian.

Ada berbagai alasan kenapa Renjun gemar menyibukkan dirinya. Atau setidaknya ia punya sesuatu untuk dikerjakan agar pikirannya sibuk. Terlalu sibuk sehingga pada penghujung hari ia terlalu lelah untuk menghiraukan bisikan-bisikan yang lama menghuni sudut hati dan pikirannya yang lama ia kunci. Menyisakan ruang gelap yang dingin berdebu dan siap menghantuinya kapan saja saat ia lengah.

Seperti saat ini.

Mau tidak mau pikiran yang lama ia pendam muncul juga dan membuat hatinya serasa kosong. Bukan pikiran itu yang menyakitinya tapi kehampaan yang ditinggalkan membuat dadanya sesak.

Renjun terlarut dalam pikirannya dan tanpa sadar merogoh benda hitam yang didapat tempo hari dari ranselnya. Ia sudah membacanya berulang kali bahkan menghafal diluar kepala apa bunyinya.

Greetings

We gladly invite you to our beautiful event:

The Engangement of

Jeno Lee
&
Haechan Lee

Date: November 1st
Venue: The Lee's Mansion

DC: Masquerade

RSVP: xxxx

Your attendance means a lot for us and for the lovely couple.

π

A/N: here's chap 2 for u~~
Gimana, gimana? Ini emang masih awal jadi konfliknya belum kelihatan. Semoga sejauh ini kalian suka ya ^^ ditunggu kritik dan sarannya~~ se you next chap! 🙆🙆

P.S: yang nunggu Clairvoyance sabar yua
P.S: itu undangannya apa bgt deh... -,-

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now