Kesialan Brema semakin sempurna ketika sehabis mengantar Tania pulang, motornya mogok tepat di depan kebon kosong yang rimbun.
Suasana sekitarnya gelap dan sepi. Tiba-tiba Brema merinding. Rasa-rasanya lokasi mogok motornya ini mirip di film Pocong tadi... Hiyyy!!
Brema terlonjak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara berdehem di belakangnya.
“Ehem, motornya mogok ya, Mas?”
Suara itu terdengar berat dan serak. Membuat Brema ragu untuk menoleh.
“Mas, kalau butuh bantuan, teman saya ada lho yang mantan tukang bengkel.”
Tanpa menoleh Brema menjawab lirih,
“Kok mantan? Memangnya sekarang sudah nggak ngebengkel lagi?”
“Nggak Mas. Soalnya sekarang profesinya sama dengan saya,” jawab suara itu.
Rasa penasaran membuat Brema menoleh ke arah suara itu. Lagipula kalau dipikir-pikir, sangat tidak sopan berbicara tanpa memandang ke arah lawan bicara.
“Memangnya profesi kamu a…ap PO…POCONG???!!!!” teriak Brema panik ketika dilihatnya sosok pemilik suara yang menegurnya persis sekali dengan tokoh utama di film yang ditontonnya tadi.
Ingin Brema segera berlari. Tapi kakinya tak dapat digerakkan.
“Aduh, Mas. Jangan norak gitu deh. Masa sama eké aja takut sih? Eké kan pocong yang baik hati dan tidak sombong,” kata sosok itu bergaya seperti tokoh Emon.
“Habis, kamu menakutkan, eh, maaf …” Brema menelan ludah.
“Iya sih. Memang udah sering eké protes sama ketua perkumpulan kami. Eké pernah minta ijin supaya boleh lebih fashionable. Eké nggak betah deh pakai kain putih begini. Maunya eké tuh ngetren gitu, bermotif. Polka dot kek, garis-garis kek, sekali-kali pengen nge-pink juga. Biar gini-gini, eké mantan desainer pakaian yang cukup kondang di kampung. Eké biasa tampil modis.”
Mendadak rasa takut Brema lenyap. Tampang Pocong itu berubah menjadi lucu seperti Emon.
“Benar juga kamu, Cong! Kalau kamu tampil lebih modis, pasti kamu jadi nggak kelihatan seram lagi,” komentar Brema hati-hati.
“Duh, jangan panggil ‘cong’ dong. Memangnya eké bencong?” protes sang Pocong.
“Maksudnya Pocong,” ralat Brema.
“Pocong kan juga mantan manusia. Eké punya nama lho.”
“Oh ya? Memangnya nama kamu siapa?”
“Fredy Mercury.”
“Lho, kok mirip nama almarhum vokalis band legendaris Queen?”
“Yah, maklumlah Mas. Papi eké memang ngefans banget sama Queen. Eh, maaf ya, Mas. Eké nggak bisa salaman. Soalnya eké diikat begini. Makanya selama ini eké heran deh kalau ada manusia yang takut dengan kami. Padahal kami kan nggak bisa mencelakakan manusia. Diikat begini, bisanya cuma loncat-loncat doang.” Fredy Pocong menjelaskan panjang lebar.
“Nah, kenapa kamu nggak melaksanakan niat kamu untuk tampil modis?” tanya Brema yang sudah mulai berani.
“Maklumlah Mas. Perkumpulan kami masih didominasi oleh kaum konservatif yang menolak adanya perubahan dan pembaharuan. Usul eké dianggap nyeleneh. Dan dapat merusak citra pocong secara keseluruhan,” jawab Fredy sambil mendengus perlahan tampak kecewa.
“Emm...eh, kalau boleh tau, memangnya citra Pocong tuh apa?” tanya Brema sedikit ragu.
“Disegani manusia,” jawab Sang Pocong yakin.
“Hah? Bukannya ditakuti?” pikir Brema geli sendiri.
“By the way, busway, Mas dari mana?” tanya Sang Pocong lagi sedikit keheranan melihat Brema senyum-senyum sendiri.
“Saya baru pulang nonton film,” jawab Brema.
“Nonton film apa Mas? Eké juga dulu hobi lho nonton film. Apalagi film-film action gitu. Senang deh lihat body cowok pemeran utamanya yang kekar…Hi…hi…hi…”
Brema tersentak kaget. Duh, suara tertawanya seram banget.
“Mm … nonton … film Pocong,” jawab Brema sedikit ragu, takut menyinggung perasaan sang pocong.
Tidak terbayang bagaimana reaksi pocong kalau tersinggung. Jangan-jangan pocong itu langsung mengeluarkan tangannya yang berkuku panjang untuk mencekik Brema!
Hiyy, Brema mengegeleng-gelengkan kepalanya untuk menghilangkan bayangan seram itu.
“Heh? Ada toh film Pocong? Maksudnya film tentang kisah suka duka sepocong Pocong?” tanya si Fredy.
Brema garuk-garuk kepala.
Maksudnya apa sih sepocong pocong? pikir Brema.
“Kami nggak bisa di sebut seorang Pocong. Kan sudah bukan orang lagi, hi…hi…hi…” jawab Fredy.
Aneh, kok Fredy bisa tahu apa yang dipikir Brema?
Bulu kuduk Brema mendadak berdiri mendengar tawa si Fredy.
“Tapi bro, di film Pocong itu, sosok kami sudah digambarkan dengan benar belum?” tanya si Fredy sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Brema.
Membuat Brema semakin merinding.
“Wah, kurang tau. Memangnya, sosok pocong yang benar gimana?” Brema balik bertanya sambil bergeser sedikit menjauhi Fredy dengan gerakan sangat perlahan agar si Fredy tidak menyadarinya.
“Jangan-jangan film itu makin merusak imej kami. Selama ini kami dianggap sebagai mahluk yang menyeramkan dan berbahaya. Sering digambarkan kami suka mencekik manusia sembarangan. Padahal jangankan mencekik manusia, menggaruk-garuk punggung kami yang gatal aja susah. Diikat begini. Paling kalau kami mendekati manusia tuh, justru mau minta tolong bukain sebentar ikatan kami, supaya kami bisa garuk-garuk. Atau sekalian minta garukin, ” jawab Fredy Pocong sambil menggerak-gerakkan bahunya.
Brema bergidik membayangkannya.
“Tolong bilangin sama temen-temen kamu, ya? Kami tuh pocong yang baik hati dan tidak sombong. Seharusnya para pembuat film itu studi banding dulu dong. Kami nggak keberatan kok di interview.”
Intonasi suara si Fredy tiba-tiba saja meninggi. Membuat Brema kembali bergidik. Ia mencoba melangkahkan kaki berniat untuk kabur dari perbincangan aneh ini. Tapi ternyata kedua kakinya mendadak tak dapat digerakkan.
“Kenapa Mas? Bosan ya eké ajak ngobrol?” tanya si Fredy.
Mata anehnya melirik ke arah kaki Brema.
“Eh, maaf nih. Saya senang kok ngobrol sama kamu. Saya jadi tahu bahwa kamu sebenarnya baik. Nggak seseram yang digambarkan di film. Tapi saya harus cepat pulang nih. Kalau nggak cepat pulang, Mami Papi bisa resah gelisah. Mana HP mendadak mati lagi. Jadinya saya nggak bisa menghubungi mereka.”
Brema mencoba memberi penjelasan dengan perasaan sedikit was-was.
“FREDYYY!!!” Tiba-tiba terdengar satu teriakan keras menggema.
**=====================**
Lanjut lagi nih ceritanya. Gimana? Seru nggak? Bikin takut atau malah bikin nyengir? 😄
Salam,
Arumi
YOU ARE READING
Interview With Pocong
Short StoryCerpen remaja karyaku yang pernah dimuat di majalah STORY 2010
