Mark bergerak mendekati siluet yang berada agak jauh dari lampu jalan. Ia meringis melihat darah yang mengalir dari pelipis sosok yang disinyalir sebagai laki-laki tersebut, dan ia harus menahan erangan melihat luka yang menggores lutut pemuda itu. Pasti karena bergesekan dengan aspal, Mark menyimpulkan begitu melihat lubang yang tercipta di kain celana orang itu. Sekaligus bertanya-tanya kenapa pemuda di hadapannya memakai pakaian yang relatif tipis saat udara musim gugur mulai menggigit.

"Hei, kau baik-baik saja?"

Jelas tidak. Timpal Mark kecut dalam hati. Pertanyaan retoris macam apa itu Mark Lee?

"Ah, aku baik-baik saja," jawab pemuda yang wajahnya masih samar-samar itu disertai kekehan ringan di akhir membuat Mark mengernyitkan alis bingung.

Apa orang-orang di Korea bersikap seperti ini setelah tertabrak motor? Seingatnya lima tahun lalu Taeyong hampir membunuhnya karena menjatuhkan adonan kuenya. Kenapa orang ini malah tertawa?

"Kau yakin?"

"Iya."

Orang itu berujar santai seolah darah tidak menodai pelipisnya. Seolah celananya yang robek dan darah yang merembes keluar sudah ada di sana sebelum Mark menabraknya. Mark hendak berkata lagi namun lidahnya seolah membeku begitu wajah yang dari tadi tertunduk mendongak menatapnya. Darah terkuras dari wajahnya memandang mata familier yang menyala redup di cahaya malam yang gelap. He's damned.

"Renjun."

π

"Renjun," ucap Mark pelan melihat figur Renjun yang mendekat.

Pemuda yang dipanggil Renjun itu hanya tersenyum kecil. Dan setenang apapun ekspresi yang dipasang Renjun, rasa canggung dan tidak nyaman tidak bisa ditutupi oleh matanya. Doyoung memutar bola matanya malas melihat kecanggungan yang tercipta di antara dua manusia tidak beruntung itu. Ia berdeham pelan memutus kontak mata mereka.

"Aku akan mengurus administrasinya. Kalian bicarakanlah hal ini baik-baik," ujar Doyoung tegas. "Dan ketika kubilang kalian, maksudku kau Mark Lee. Selesaikan masalahmu."

"Kalau begitu saya permisi dulu, tuan-tuan," ucap Doyoung sarat akan profesionalitas seolah ia tidak baru saja mengancam Mark.

Keheningan dan kecanggungan datang menyelimuti mereka secepat Doyoung dan perawat perempuan yang pergi dari lobi. Mark kembali menatap datar pada Renjun yang menolak menatapnya balik dan malah asyik memandang perban yang membalut lututnya.

Merasa jengah sekaligus frustasi oleh kecanggungan yang seolah tidak akan berakhir, Mark memutuskan untuk membuka suara.

"Kau mengenaliku?"

Butuh waktu agak lama sebelum Renjun menjawab ragu-ragu. "Awalnya aku tidak yakin. Tapi mendengar perawat tadi sepertinya asumsiku benar. Lama tidak bertemu Mark-ssi."

Mark mengernyit tidak suka mendengar embel-embel formal itu. "Well, halo."

Renjun tersenyum tipis mendengarnya. Nada datar dan tidak ikhlas yang tidak ditutupi itu terdengar lucu. "Halo juga."

Begitu saja. Hanya empat kata absurd itu yang keluar sebelum kecanggungan kembali mendera. Mark benci ini. Ia seharusnya menyelesaikan apapun itu yang dapat menyeretnya dalam masalah seperti yang dikatakan Doyoung beberapa menit yang lalu bukannya duduk diam seperti orang bodoh yang otak dan lidahnya tidak berfungsi.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now