"Tiga hari yang lalu. Kakak bilang Mama sama Papa udah nerima lamaran Kak Candra."

Rio menepuk keningnya, "Ya Allah kok gue punya adek lemot banget yah. Lo yakin mau ngelamar adek gue?"

"Ih Kak Rio," Arlita merajuk kesal. Kemarin Revan yang mengatainya lemot masa sekarang Kakaknya juga mengatakan demikian.

"Arlita sayang. Adik kakak yang paling cantik dan paling kakak sayangi. Tiga hari yang lalu kakak cuma bilang ke kamu kalau Mama sama Papa udah ngasih jawaban sama Candra," ucap Rio sambil mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi Arlita.

"Ih sakit," lagi-lagi Arlita merajuk.

"Rio jangan ganggu adiknya. Lanjutin penjelasan kamu. Papa sama Mama kan sudah ngasih amanah sama kamu buat nyampein hal itu sama Arlita!" ucap Papanya tegas.

Rio mengangguk patuh, "Aku bilang Papa sama Mama udah ngasih jawaban ke Candra. Eh tahunya dia langsung nangis kejer. Terus aku peluk dia Mah Pah. Dan aku kira Arlita nangkep maksud aku yang bilang. Masih ada kesempatan buat kamu menunggu dia---"

"Aku nggak denger Kak Rio ngomong gitu," ucap Arlita memotong penjelasan Rio.

"Makanya kalau nangis jangan terlalu khusyuk," ledek Rio berhasil membuat wajah Arlita bersemu merah karena malu, "Sekarang kamu udah ngertikan. Apa perlu kakak jelasin secara jelas kalau Papa sama Mama udah nolak Candra. Denger Tha NOLAK!" ucapnya dengan penekanan di setiap katanya.

Arlita langsung menoleh pada Mama dan Papanya bergantian, "Kenapa Mama sama Papa nolak lamaran Kak Candra?"

Revan memilih diam. Memperhatikan kekonyolan yang diperlihatkan oleh seseorang yang dia cintai.

"Karena Papa dan Mama tahu InsyaAllah Revan lah yang akan membuat putri Papa dan Mama ini bahagia dan lebih dekat pada Allah," ucap Papanya sambil membelai pucuk kepala Arlita.

Arlita menatap Papa dan Mamanya dengan mata berkaca-kaca.

"Jadi bagaimana Arl. Kedua orangtuamu sudah menerima lamaranku kini yang kutunggu tinggal jawaban darimu," ucap Revan seraya tersenyum sangat manis. Efek rasa patah hati yang tadi sempat menyapa hatinya sirna, "Arlita Saila Amran, maukah kamu menerima pinanganku. Menjadi teman hidupku, berbagi suka dan duka, dan menjadi seseorang yang akan ku genggam tangannya dengan sangat erat untuk mencari keridhoan Ilahi."

Arlita diam. Tidak langsung memberi jawaban.

"Aku berharap kamu menerima lamaranku, namun bila memang kamu tak dapat melakukannya. Aku yakin itulah yang menjadi keputusan terbaikmu yang telah kamu diskusikan dengan Allah."

Mama Arlita kembali membelai pucuk kepala putrinya, "Bagaimana sayang? Revan menunggu jawaban darimu. Apa kamu membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya?"

Arlita menggeleng.

"Kalau begitu jawablah pertanyaan Revan."

Arlita menarik napas dalam-dalam. Sekilas dia menatap ke arah Revan, sebelum berucap dengan suara gemetar, "Aku menerima lamaranmu, Van. Aku mau menjadi teman hidupmu membagi suka dan duka, dan aku mau menjadi temanmu yang akan selalu kamu genggam tangannya untuk mencari keridhoan Ilahi."

Revan tersenyum sangat lebar. Sekilas dia menundukkan kepalanya. Mengucapkan syukur pada Allah yang telah mempermudahnya.

Rio menepuk bahu Revan, "Akhirnya perjuangan lo selama sepuluh tahu berbuah manis juga. Kagak kebayang kalau hasilnya pahit kaya mengkudu. Lo pasti nangis kejer. Sini gue peluk Calon adik ipar," Rio membuka kedua tangannya lebar. Siap memberikan pelukkan selamat pada Revan yang dari awal sudah dia anggap sebagai adik.

HUJAN | ENDWhere stories live. Discover now