[21] Lonely

213 34 8
                                    

Sejak tadi, Ramiel hanya menghabiskan waktunya untuk duduk manis sambil menopang dagunya dengan tangan diatas meja. Seraya menatap Rafael yang sibuk mondar-mandir sedari tadi dengan rasa bosan.

"Rafael, sebenarnya apa yang kau pusingkan sejak tadi?" tanya Uriel, ia baru saja datang dengan berteleportasi disana, dan langsung heran melihat Rafael.

Rafael melirik sekilas, lalu kembali tak peduli, walau begitu ia tetap menjawab, "Aku sedang memikirkan cara, untuk menjauhkan Empath itu dari soul reaper yang berniat mengambil jiwanya."

"Bukankah kau terlambat, Rafael? Mereka bahkan sudah membuat kontrak."

Rafael menggeleng, ia jelas tidak terima jika harus menyerah begitu saja. "Kalau saja hal itu benar terjadi, maka aku akan merasa sia-sia saja selama ini menjadi Emguide. Bahkan tidak ada satu Empath pun yang bisa kuselamatkan."

Ramiel berdiri, ia menuntun Rafael untuk duduk ke kursi. "Istirahatlah dulu, kita bisa pikirkan ini bersama-sama. Ingat, kita ini saudara, walaupun aku dan Uriel bukan termasuk Emguide, tapi kami juga berhak membantumu juga, bukan?"

Tatapan lembut yang di lempar Ramiel, membuat Rafael jauh sedikit lebih tenang. Ia mengangguk pelan sambil menyungging senyum tipis. "Terima kasih."

Tiba-tiba tawa jahat seseorang menginterupsi. Seseorang muncul dari bayang-bayang masuk kedalam lingkup pandangan para Malaikat itu, seorang sosok yang menggunakan setelan serba hitam.

"Lucifer, kenapa kau disini? apa maumu?" gertak Rafael dengan sarkastik melihat Iblis itu muncul disana.

Sosok itu menyeringai. "Bertanyalah pelan-pelan, jangan bersikap seperti itu padaku, Rafael. Kita sama-sama pemimpin, walaupun kau pemimpin kebajikan dan aku pemimpin para dosa. Harusnya kau menunjukkan sikap yang lebih ramah dari pada yang itu tadi."

"Tidak perlu basa-basi lebih jauh lagi, cepat katakan apa maumu datang kesini!" kali ini Uriel yang menjawab.

"Ah Uriel, kau masih saja cantik seperti biasanya. Tapi sikap dinginmu padaku malah bertambah, tak seperti kau yang biasanya."

Rafael menghela napas panjang. "Kau membuang waktu, Lucifer."

"Baiklah-baiklah. Kalian memang sangat sibuk, tidak bisa kuajak basa-basi lebih lanjut, boo dull. Aku hanya ingin membocorkan sedikit rencanaku agar lebih seru. Jadi, bukan hanya gadis Empath itu saja yang harus kalian lindungi, jangan lupakan yang lainnya. Ada mangsa yang sedap, dan berita baiknya aku menemukan dua mangsa. Sayangnya, salah satunya punya perlindungan yang biasa digunakan keluarga Anawarda terdahulu. Itu saja dariku, aku pergi."

Tiba-tiba Lucifer menghilang dari sana dengan sesuka hatinya, meninggalkan ketiga Malaikat itu dengan dengan lantai yang menjadi bekas pijakan dimana ia berdiri sebelumnya.

"Tunggu, Lucifer tidak salah bilang kan? Seperti keluarga Anawarga? Itu—"

"Itu adalah keluarga, setiap garis besar mereka, selalu ada yang termasuk Indigo. Kukira mereka sudah punah dari bumi ini." Rafael beranjak dari duduknya.

Ramiel menahan lengan Rafael. "Kali ini kau mau pergi kemana lagi?"

"Aku akan mencari tahu kebenaran dari perkataan Lucifer tadi. Jika ia benar, maka aku harus dua kali lebih hati-hati lagi, dan lihat saja jika ia berbohong, beraninya telah mempermainkanku."

Seling beberapa detik kemudian dengan keheningan yang turut menjadi saksi, Rafael ikut menghilang dari sana, sekali lagi Ramiel dan Uriel di tinggal. Mereka yang saling bertatapan,  berharap agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

*

"Mudah saja, jika yang menyerang Ray dan dirimu adalah orang yang sama, bisa di pastikan jika dia membutuhkan sesuatu dari kalian berdua," tutur Dio dengan santainya.

Claressa mendesah berat. Ia lelah berusaha memahami situasi tadi yang sukses membuatnya terjebak dalam kebingungan seperti ini.

Tiba-tiba Dio beranjak, membuat semua menoleh ke arahnya. "Aku harus segera pergi."

Vanza ikut beranjak, ia tersenyum tipis lalu menarik tangan Dio menuju halaman belakang rumah. Ray menatap dengan pandangan waspada, namun saat sorot teduh Vanza menatapnya. Ia langsung lega, seolah tatapan lembut itu mengatakan bila ia akan baik-baik saja.

Hanya tersisa Ray dan Claressa disana dengan suasana hening. Perlahan jarum pendek merambat ke angka lima. Jika dihitung sejak jam pulang sekolah, Claressa sudah terlambat pulang dua jam. Biasanya ia tak pernah seperti ini, dan selalu pulang tepat waktu.

Tapi ia tak merasa cemas. Toh, ayah dan ibunya juga tidak akan merasa khawatir sama sekali dengan dirinya yang berada dimana sekarang. Bahkan mungkin mereka lupa kalau punya putri semata wayang.

Sejak kecil hanya neneknya yang merawatnya dengan penuh kasih sayang. Dan malang menimpa keadaan saat itu, saat usianya genap akan 6 tahun, neneknya meninggal dunia, meninggalkan dirinya.

Beruntung pamannya dan bibinya masih berbaik hati, sesekali mereka berkunjung kerumahnya dan terkadang merawatnya. Tapi sekarang, ia hanya hidup dalam suasana hampa bersama asisten rumah tangganya, dan juga teman-temannya yang tak kasat mata.

"Tentang mama dan papa lo, yakin mereka gak akan khawatir lo lagi ngapain, dan lagi dimana sekarang?" Ray bertanya dengan nada hati-hati, takut jika dikira Claressa tersinggung dan mengira bahwa Ray mengusirnya.

Claressa menggeleng. "Khawatir atau enggakpun, sekarang mereka lagi gak ada di rumah. Cuma ada pembantu di rumah."

"Ehm, menurut gue sih, ya. Sebaiknya lo kabarin pembantu lo, walaupun mama atau papa lo gak perhatian. Kadang asisten rumah tangga itu, yang perhatian. Menurut gue sih gitu."

Claressa melirik Ray sebentar lalu mengalihkan pandangannya, tatapannya kembali dingin. "Ck, kebanyakan nonton sinetron. Lo kira hidup itu persis sama kayam film micin gituan?"

"Kalo lo ngerasa ga nyaman dirumah, gak usah gengsi main kesini. Gue atau kakak bakal bukain pintu buat lo, asal lo inget aja jangan tengah malam juga lo kesini, gue bakal kesel setengah mati kalo ada yang bangunin gue disaat gue lagi ngantuk-ngantuknya karena hal yang ga penting, terkecuali kakak gue. Gue bahkan gak bisa marah sama dia. Kalo sama lo sih, bisa banget ya, bahkan hampir tiap ketemu atau liat wajah lo gue udah kesel banget dan bisa berujuk marah," perjelas Ray dengan panjang kali lebar.

Claressa tersenyum miris. "Percuma hidup serba kecukupan tapi gak ada kasih sayang. Kalau gue bisa milih, buat hidup di kehidupan gue yang sekarang atau tuker dengan hidup lo. Gue bakal milih hidup lo."

Hening sejenak disana, Claressa menyambung lagi, "Walaupun lo childish, tapi hidup lo itu bewarna, ada kakak lo, ada Aldi yang banyak omong."

"Sori aja ya, lo mau nganggep hidup gue kayak gimana. Childish lah manja lah atau apalah terserah. Okay, you right and just always right. Lo boleh kok ngerasain hidup jadi gue sehari aja, jangan sedih lagi."

Claressa tertawa kecil. Ray tercengang, baru kali ini ia melihat tawa tulus yang keluar dari Claressa. Karena selama ini, hanya ada senyum miring dan seringaian yang ditunjukkannya.

"Jujur, baru kali ini gue lihat lo ketawa. Juga, plis jangan marah, cantik lo nambah kalau ketawa kayak gitu, suer. Jangan tampar gue, plis, ini jujur."

Claressa tidak marah, ia malah tersenyum makin lebar, hingga kedua matanya melengkung seperti lengkungan bulan sabit. Ray ikut tersenyum, tapi di dalam hatinya, ia sedang berusaha untuk menetralisir jantungnya yang sedang berdegub kencang karena di beri senyum semenawan itu.

***TBC***

Published at : Friday, 29 June 2018 || 00.59
Has been revised : 17 Nov 2018

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang