9. Drama Everywhere, Pak

Começar do início
                                    

"Kenapa?"

"Mama gak mau sendirian setelah bercerai dengan papa saya. Beliau hanya ingin saya tetap tinggal dengan beliau."

Ingatan Audi berputar kembali. Sepanjang Rezvan bercerita, hanya ada satu bayangan yang terbentuk di kepalanya. Seorang anak laki-laki di dalam kamar, duduk dengan pandangan kosong. Audi ingat, ia tak sengaja mengintip ke celah kecil pintu ketika dia ingin meminjam toilet Tante Hadi. Anak laki-laki itu tampak pucat, keadaannya berantakan, belum lagi ia melihat banyak pil berceceran di lantai.

"Jangan-jangan... Bapak itu anak laki-laki yang gak sengaja saya intip waktu itu?" tanya Audi dengan nada menuntut.

"Iya, itu saya."

"Tapi, anak laki-laki itu... bapak..." Audi menatap Rezvan tak percaya.

"Setelah saya lulus, orang tua saya bercerai. Saya ikut mama. Saya terpaksa ikut pindah kota dengan mama. Kemudian ada tawaran beasiswa S2 dan S3 yang datang untuk saya. Saya harus terima beasiswa itu. Tapi, mama saya menolak," Rezvan berhenti sejenak. "Saya depresi."

Rasanya kemarahan Audi tadi langsung menguap tatkala melihat Rezvan menenggelamkan wajahnya. Ia tahu hanya dengan melihatnya saja bahwa saat itu Rezvan benar-benar putus asa. Keluarganya berantakan dan ibunya tidak setuju dengan tawaran studi gratis.

Audi mengulurkan tangannya untuk mengelus punggung Rezvan. Ia tahu Rezvan menangis ketika mengingat kejadian itu. Audi tidak perlu Rezvan untuk melanjutkan ceritanya karena dia tahu kelanjutannya.

Rezvan kabur dari rumah. Ia sama sekali tidak pernah kembali. Lima tahun lamanya. Audi pernah dengar juga, setelah Rezvan lulus dan kerja, ia hanya mengirim uang pada mamanya tanpa niat akan kembali ke Indonesia.

Rezvan bangkit. Audi pun juga kembali bersikap biasa saja. Rezvan menghela napas kasar.

"Intinya, saya tertarik sama kamu, Audiar," kata Rezvan tegas.

Baru saja Audi berpikir kalau Rezvan akan melupakan topik mereka sore itu dan mengizinkannya keluar dari mobil ini. Audi memang tidak menyukai Rezvan, atau mungkin belum. Tapi, entah kenapa jantungnya juga ikut berdetak kencang.

"Kalau kamu kasih izin saya buat menghapus jarak itu, saya siap," kali ini mata Rezvan seperti berapi-api.

Audi meneguk saliva. "Gak!" tolak Audi. "Gak saya izinin."

Sejenak Rezvan membeku. Kemudian ia tertawa kecil. Audi hanya menatap Rezvan dan mengira Rezvan sudah gila.

"Kamu tahu, semua wanita yang pernah saya dekati pasti gak akan menolak kalau saya sudah mengatakan kata-kata sakti tersebut," ujar Rezvan, masih dengan senyum menggoda.

"Sayangnya saya bukan semua wanita itu, Pak," balas Audi ketus.

Rezvan mendekat ke arah Audi, mempersempit jarak di antara mereka. Hal ini terpaksa membuat Audi mundur hingga punggungnya menyentuh pintu mobil. Ia sampai harus menahan napas ketika jaraknya dan Rezvan benar-benar sangat minim.

"Makanya, saya bilang saya tertarik sama kamu, Audiar."

Audi memalingkan wajahnya karena malu. Bisa-bisa ia dikira melakukan tindakan tidak senonoh dengan Rezvan.

"Bapak jauh-jauh dari saya. Kalau engga, saya bakal teriak dan mecahin kaca mobil bapak. Saya gak peduli!" ancam Audi.

Rezvan terkikik kemudian kembali ke tempatnya semula. Ia masih betah memandangi Audi seakan Audi adalah objek paling menarik di mobilnya. Padahal, saat ini tampang Audi tidak kalah sangarnya dengan ibu-ibu yang kalah rebutan barang diskonan.

Dosen PembimbingOnde as histórias ganham vida. Descobre agora