"Hey!" Sapaku dengan kikuk. "How are you doing Shane?" Astaga. Dia jelas terlihat makin tampan dengan brewok tipisnya.

"Uh, kabarku baik. Bagaimana dengamu?" Shane bertanya kembali.

"Tidak terlalu buruk, sangat baik justru."

Shane tersenyum hangat. "Ahh, senang mendengarnya kalau begitu. Tunggu sebentar, aku mau mengambil Beer. Vivian, Dylan, senang berjumpa dengan kalian." Katanya sembari tersenyum, lalu dia beranjak untuk mengantri bersama orang-orang. Viv dan Dyl mengangguk dan membalas sapaannya.

"Wow. Shane si pemain Football terlihat makin tampan saja ya?" Vivian berkata kepada aku dan Dylan. "Mirip-mirip seperti... Chris Hemsworth."

Dylan tertawa meledek. "Chris Hemsworth jauh lebih mirip denganku."

Vivian menepuk lengan Dylan dengan keras secara bercanda, lalu ikut tertawa. "Mohon maaf, tapi kau bagaikan langit dan bulan dengan Chris."

Lalu Shane kembali dan sudah membawa satu gelas Beer di tangannya. "Hey ngomong-ngomong, Blake, bisakah aku berbicara padamu?"

Ketika sedang minum aku tetiba tergelak. "Oh, denganku? Ada apa memangnya?" Aku bisa merasakan ketegangan di perutku. Suara musik yang keras dari panggung mendadak berbunyi aneh di telingaku. Suasana mendadak berubah begitu suram.

"Yeah. Sini, ikut aku." Shane menginstruksikan. Aku dengan ragu berpamitan dengan Viv dan Dylan dan sepertinya fokus mereka mengarah ke panggung, aku tidak begitu dihiraukannya.

Aku berjalan membuntuti Shane menuju ke area yang lebih sepi dan agak jauh dari posisi panggung. Tidak banyak orang di sini, dan aku merasa perutku makin tegang. Aku tidak mengerti kenapa setelah sekian lama tidak mengobrol dan berjumpa, bahkan di area rumah kami, tiba-tiba saja dia muncul di festival ini, berjalan ke arahku dan mengajakku ngobrol.

"Sebelumnya, maaf aku merepotkan begini..." Shane terlihat gugup, mengapa dia terlihat gugup? Justru tambah kelihatan imut! Duh, aku jadi gagal fokus. "Sebenarnya, ada yang harus aku bicarakan denganmu. Secara serius." Shane berkata.

Aku menelan ludah, benar-benar takut. "M-maksudmu? Tentang apa? Apakah aku pernah buat salah denganmu?"

Melihat aku begitu tegang, Shane langsung tertawa kecil dan berusaha menenangkanku. "Oh tidak-tidak. Ini lebih ke masalah... personal."

Keparat. Aku benar-benar merasa pusing seketika. Apa yang dia maksud tentang masalah personal? Apakah dia sakit? Apakah dia berhenti kuliah? Apakah keluarganya bercerai? Apakah keluarganya membutuhkan bantuan hukum ke orang tuaku? Entahlah, ini membuatku berspekulasi berlebihan.

"Oh okay. Shane, kau membuatku takut. Ayo duduk saja di bawah."

Akhirnya kami memutuskan untuk duduk di rumput-rumput. Aku menaruh gelas Beerku tepat di sebelah kiriku, dan Shane duduk di sebelah kananku. Dirinya menghela nafas berat.

"Blake, ingatkah ketika kita sedang di kelas Sejarah Amerika pada kelas 11 lalu, dan ternyata ada kuis dadakan dari Madam Elliot?"

Aku mencoba mengingat-ngingat. Ah, rasanya ketika aku membantu Shane dalam beberapa pertanyaan yang ia tidak bisa jawab. Dan sebagai info, kuis itu tidak dadakan. Shane lupa bahwa ada ulangan pada hari itu.

"Lebih tepatnya, sepertinya kau lupa hari itu ada kuis. Yeah, aku ingat kok." Balasku sambil tertawa.

Shane membalas tertawa. Keparat, benar-benar ingin kucium dirinya. "Yeah! Terus kau membantuku dalam kuis? Hari itu aku benar-benar merasa terselamatkan olehmu. Aku tidak ingin mengulang kelasnya lagi karena semester lalu aku dapat nilai D. Aku selalu benci hafalan."

"Aku selalu tahu kau pandai dalam hitung-hitungan." Balasku, tersenyum hangat.

"Dan ketika dulu aku pernah titip absen padamu di kelas Kimia dan akhirnya ketahuan Mr. Worf, dan akhirnya kau mengaku kalau kau yang membuat tanda tangan itukan? Akhirnya kita sama-sama menghadap ke bagian kemahasiswaan?"

Aku tentu ingat betul momen tersebut. Sebenarnya cukup menegangkan pada hari itu. Orang tua kami hampir dipanggil, karena itu merupakan pemalsuan tanda tangan. Cuman demi Shane, kau tahu lah. Aku merasa aneh kenapa Shane melakukan semacam nostalgia dadakan.

"Tentu saja aku ingat. Shane, mengapa kita semacam bernostalgia ya?" Aku penasaran dan bingung.

"Itu poin intinya! Aku sadar kau sudah menjadi penyelamat di beberapa momen sekolah. Sepertinya tidak terhitung, banyak sekali kau memberikan bantuan padaku. Bahkan orang tuamu, menyelamatkan orang tuaku hingga mereka bebas dari sengketa bisnisnya."

Aku tak menyangka Shane ingat begitu banyak, aku bahkan sudah memilih untuk melupakan memori yang dulu-dulu. Aku juga sebenarnya tahu orang tua Shane adalah klien orang tuaku.

Aku tak kuasa namun merasa tersanjung dan bahagia. "Itu momen yang cukup lama Shane, aku bahkan sudah hampir melupakannya. Tapi, sama-sama. Aku senang bisa membantumu."

Shane tersenyum hangat, sekaligus aku bisa melihatnya tambah gugup. "Justru itu, aku merasa bersalah karena kita tidak pernah punya waktu seperti dulu. Padahal kalau ditelaah, memang kau yang selalu ada untukku. Aku berniat untuk mengembalikannya padamu, dengan menghabiskan waktu lebih banyak denganmu, jika kau... mau."

Seketika aku merasa heran dan kaget. Entah kalimat-kalimat yang dilontarkan Shane agak sulit dicerna. Hatiku tiba-tiba saja terisi oleh sebongkah kupu-kupu, dan berdebar sangat kencang.

Mata biru lautnya menatap sempurna kearahku. Rambut pirangnya terlihat mempesona jika dipandang. Seketika itu pula ia tersenyum ramah dan terlihat lebih percaya diri. "Jadi, bagaimana?"

Ada keheningan sejenak diantara kita, dan ia mengalihkan pandangannya kearah langit untuk menatapi bintang-bintang. Ia terlihat, menakjubkan.

Tiba-tiba keheningan ini membuatku tersadar. Tentu saja aku harus terima. Shane temanku juga, aku tidak ingin kami renggang lagi. "Tentu saja Shane. Tapi sungguh, aku itu membantumu dengan tulus, kau tidak usah merasa bersalah gitu seharusnya. Aku justru merasa jadi tidak enak." Ujarku.

Shane tersenyum. "Tidak apa-apa. Lagipula aku sudah menginginkan kencan denganmu sejak lama."

Mataku melotot, tubuhku spontan tergelak. Apakah baru saja aku mendengar 'kencan'

Maka dari itu, aku coba memastikan. "Hah? Maksudmu kencan apa?"

Shane langsung salah tingkah. Ada keheningan sejenak di antara kita. "M-memangnya aku bilang kencan kah? Kau salah dengar tadi."

Aku tertawa besar, rasanya menggemaskan sekali melihat Shane salah tingkah begini. Jujur, aku jadi merasa jatuh cinta lebih dalam padanya. "Iya Shane. Aku mendengarnya dengan jelas."

Shane menunduk, menghela nafas berat. "Yah, sepertinya itu yang aku harapkan..." dia berhenti sejenak. "Dari beberapa momen itu, aku tahu kau akan selalu membantuku, dan menjagaku. Entah kenapa, aku jadi merasa aman di dekatmu. Aku tidak pernah berterus terang akan perasaanku karena sulit sekali, oleh karena itu aku memilih untuk menjauhimu, supaya perasaanku memudar."

Aku membisu, seakan merasa ini mimpi. Leherku berasa begitu tegang sampai-sampai aku merasa sesak. Rasanya sesak sekali, lalu tiba-tiba saja air mata mengalir di pipiku. Aku merasa seperti beban yang aku rangkul rasanya lepas secara damai. Semua menjadi begitu jelas.

Better Knowing Than Not Knowing (Re-published)Where stories live. Discover now