4. (Part 2)

21 2 0
                                        

"Blake astaga!" Shane kaget. "Kenapa kau menangis? Aku tidak pernah melihatmu begini."

Aku hanya tersenyum pilu sekaligus bahagia, akhirnya berkata. "Shane, ini begitu sulit dipahami. Aku sebenarnya..." Aku bimbang apakah harus berterus terang apa tidak. Aku jarang sekali menangis di depan orang, apalagi di depan Shane. Sungguh memalukan, tapi aku tidak tahan lagi. 

"Sebenarnya... apa Blake?" Shane bertanya lebih pasti. 

"Aku, juga menginginkan hal yang sama. Namun sulit bagiku untuk mengutarakannya. Ini terasa seperti mimpi. Rasanya aku sedang koma di rumah sakit ya?"

Aku bisa nelihat wajah Shane memerah rona. "A-aku tidak tahu kalau perasaanmu begitu. Tanpa kau sadari, aku merasakan hal yang sama kepadamu."

Aku menggeleng tidak percaya. "Ini semua mimpi. Bisakah bangunkan aku?"

Hingga saat itu juga, Shane meraih pipi dan menyatukan bibirnya ke bibirku.

Jiwa-jiwaku yang semula begitu buram, perlahan terbangun kembali, merasakan hangatnya ciuman yang diberikan Shane padaku. Lalu, ia melepaskan ciuman tersebut, menatap lembut kearah wajahku.

"Bisa merasakannya? Karena ini nyata, Blake." ujar Shane. Aku masih membisu dan mencerna apa yang barusan terjadi. "Aku juga mencintaimu, tetangga."

Getaran terkirim ke sekujur tubuhku, dan wajahku memerah menyala, seperti api. Lalu memberikanku lagi sekecup ciuman sebagai penutupan. "Aku minta maaf bersikap seperti mengabaikanmu. Maukah kau memulainya lagi?" ujarnya, dengan tatapan yang penuh dengan pesona seorang Shane Dawson yang kutahu beberapa tahun ini.

Aku mengangguk dengan ragu, namun akhirnya menerima tawarannya, dan ia menciumku lagi. Ini adalah keajaiban yang telah kutunggu-tunggu sejak lama.

"Shane, kenapa kau tidak memberikanku tanda? Aku menunggu begitu lama tanpa kepastian. Makanya aku terharu tadi," Aku berhenti sejenak, menyeka sisa air mataku sembari cekikikan. "Sampai-sampai menangis." 

Shane tertawa. "Sudah aku berikan! Kau saja yang tidak peka. Aku selalu memperhatikanmu ketika di kafetaria. Aku selalu mengirimkanmu es kopi ke rumahmu beberapa kali karena aku tahu kau belakangan itu suka minum kopi. Ketika latihan Football, kau ada di kursi-kursi penonton, dan aku sangat senang untuk bisa mendapat perhatianmu ketika latihan. Aku melakukan yang terbaik agar terlihat keren di depanmu." 

Aku kaget. Shane mengirimku es kopi ke rumah?  "Tunggu, aku baru tahu kau mengirimkanku es kopi selama ini. Aku kira itu Savannah, kau tahu, gadis itu menyukaiku. Apalagi ditambah catatan manis yang selalu dia sisipkan berinisial 'S' " 

"Inisial S itu sebenarnya aku, Blake." ujar Shane, sembari tersenyum hangat. Membuatku ingin menciumnya lagi. "Kau tahu, aku kadang suka cari perhatian di depanmu. Ketika malam pesta dansa Junior, aku sebenarnya tidak ingin bernyanyi di depan orang-orang bersama band sekolah. Namun aku tahu kau hadir, jadi aku memastikan untuk bisa tampil agar kau bisa lihat." 

Aku tertawa cekikikan, kelakuan Shane benar-benar tidak terduga. Aku bisa merasakan kupu-kupu di dalam tubuhku. "Jadi... begitu ya. Bahkan aku ingat kau nyanyi lagu Ed Sheeran yang judulnya Thingking Out Loud. Tapi kau tidak gagal kok, kau akan selalu mendapat perhatianku." 

Shane tersenyum bangga. Aku bisa melihat dirinya telah melakukan yang hal yang benar malam ini. Akupun merasa begitu, sungguh malam yang sangat menyenangkan dan melegakan. Penantian yang begitu lama akhirnya bisa mendapat kejelasan juga. Seketika aku berpikir, akankah keadaan jadi membaik? 

"Jadi, mulai dari awal ya? Bersama?" Shane memastikan kali ini. Aku bisa melihat tatapannya yang serius sekaligus menghangatkan. 

"Yeah. Dari awal." aku tersenyum. Setelah itu, aku melihat Shane mengalihkan pandangannya ke arah panggung dan memerhatikan musisi yang tengah tampil dengan set-list lagu-lagu folk indie-nya. 

"Bagaimana New York?" Shane bertanya. 

"Seru sekali. Aku benar-benar jatuh cinta dengan kota itu. Bagaimana Boston?" tanyaku.

"Cukup baik. Aku rasa setelah merantau, aku banyak belajar akan sesuatu. Termasuk cara lebih menghargai sesuatu yang pernah ada." ujar Shane dengan tenang. 

"Aku rasa memang semua anak rantau pasti merasakan itu." 

"Yeah, pastinya." 

Shane memandangku. "Ngomong-ngomong aku punya ide untuk kencan pertama kita. Bagaimana kalau road trip ke taman nasional Henderville? Aku selalu ingin menginap di kabin sekitar situ, dan menyalakan api unggun ketika malam. Dan besoknya, membuatkanmu kopi panas dan mendayung kano di danau. Ah, rasanya begitu romantis kalau bersamamu." 

Aku tersenyum hangat. Idenya sungguh cemerlang untuk kencan pertama. "Aku setuju. Kita akan punya banyak waktu berkualitas di sana." 

"Lusa berangkat?" tanya Shane, sembari mendekatkan posisinya ke arahku. 

"Boleh." aku menjawab dengan nada yakin. Rasanya pergi dengan tetangga sendiri tidak akan susah izin kepada orang tuaku, dan liburanku masih 3 minggu lagi. 

Setelah itu, Shane mendekatkan pandangannya ke arahku, dan menciumku lagi. Kali ini terasa benar-benar nyata dan hangat. 

Better Knowing Than Not Knowing (Re-published)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora