1

8.2K 562 29
                                    

Saat berdiri di depan pintu gerbang rumah Gideon. Mau tak mau Meg harus mengutuk dirinya sendiri. Dia tidak tahu kalau Gideon telah membeli mansion tua yang sudah berdiri di kotanya sejak ratusan tahun lalu. Meg sudah banyak mendengar cerita mengerikan tentang rumah dua lantai itu. Tentang sosok yang menghantui rumah itu dari generasi ke generasi, hingga tak ada lagi yang mau menempatinya. Tapi tetap saja, pada akhirnya Meg tetap melangkah masuk ke dalam pekarangan mansion tua itu.

Saat Meg sampai di beranda depan rumah itu, ia merasa seperti sedang diawasi. Seperti ada sepasang mata yang mengintainya dan bersiap untuk menyergapnya. Tapi ia menepis perasaan itu dan membunyikan bel yang terpasang di samping pintu.

Tak lama pintu ganda dari kayu mahogany itu mengayun terbuka, menampilkan sosok Gideon yang hanya mengenakan kaos putih polos yang menempel ketat ke tubuhnya dan celana olahraganya yang menggantung di pinggulnya. Rambutnya yang panjang saat ini basah dan tubuhnya juga dibanjiri oleh keringat.

"Hai," sapa Meg dengan gugup saat melihat penampilan Gideon.

"Akhirnya kau sampai. Kukira kau tidak jadi datang," balas Gideon dan ia memiringkan tubuhnya, memberi jalan untuk Meg masuk.

"Aku tidak tahu kalau kau membeli rumah ini."

"Ini rumah yang bagus," jawab Gideon.

"Benar," sambung Meg. Ia mengamati ruangan tempat dia berdiri.

Ruangan itu sudah bersih dan tertata rapi. Hampir tidak ada yang dapat dilakukan Meg untuk membuatnya lebih baik lagi.

"Jadi jika kau sudah membereskan semuanya apa yang bisa aku lakukan?" Meg bertanya sambil membetulkan letak tali tas ranselnya yang berat.

"Pertama aku bisa tunjukkan kamarmu, kemudian kau mungkin bisa mulai memasak sarapan," jawab Gideon.

"Oke."

Meg mengikuti Gideon, membiarkan pria itu menuntunnya ke lantai atas. Dan dalam pikirannya, Meg merasa ada hal yang janggal dari Gideon. Bukan hanya fisiknya tapi juga semua sifatnya. Dulu Gideon merupakan sosok yang hangat, dia suka bicara dan cenderung dapat membuat orang nyaman berada di dekatnya. Tapi sekarang ia sangat pendiam, hanya berbicara ketika itu memang dibutuhkan.

"Jadi, sekarang kau benar-benar jadi produser?" Meg memulai percakapan di antara mereka.

"Begitulah," jawab Gideon.

"Lalu bagaimana pekerjaanmu jika kau tinggal di sini?"

"Aku sekarang berencana hanya akan menulis naskah. Aku ingin kembali ke sini." Gideon terdiam, terlihat menerawang dan larut dalam pikirannya. "Aku harus kembali ke sini."

Meg menoleh ke arah Gideon dengan alis yang saling bertautan. "Harus? Kenapa?"

"Aku punya semacam perjanjian." Akhirnya mereka tiba di depan pintu kayu bercat putih. Dan Gideon mendorongnya hingga terbuka. "Ini kamarmu, dan kamarku ada di lorong sebelah kiri."

"Oke." Meg masuk dan berbalik untuk melihat Gideon lagi. "Dan terima kasih Gideon."

"Aku senang bisa membantumu, Meg," jawab Gideon.

Dia membelai helai rambut merah Meg. Membuat Meg terpaku atas tindakannya, kemudian Gideon tersenyum dan pergi, meninggalkan Meg yang masih tak dapat bergerak.

***

Satu minggu pertama Meg tinggal di rumah itu, ia selalu merasa sedang diawasi. Dan tiap malam ia selalu mendengar suara aneh dari arah kamar Gideon. Seperti suara dua pria yang bertengkar. Tapi Meg pikir itu hanya suara Gideon yang sedang berdebat dengan seseorang di ujung telepon. Sehingga ia hanya mengabaikan hal itu.

Tapi malam ini saat ia mengetuk pintu kamar Gideon untuk mengajaknya makan malam. Ia mengernyitkan dahinya. Pintu itu sedikit terbuka sehingga dia dapat melihat apa yang ada di baliknya.

Awalnya Meg pikir Gideon sedang merapikan penampilannya di depan cermin. Tapi kemudian Gideon mulai berteriak pada bayangannya sendiri. Seperti orang kesetanan dan ia bahkan menghantamkan kepalan tangannya ke cermin. Dan yang membuat Meg makin bingung adalah, apa yang diucapkan oleh Gideon.

"Jangan pernah menyentuhnya!" teriak Gideon.

"Kau tidak bisa menahanku lebih lama lagi," ucap suara serak yang juga berasal dari mulut Gideon.

"Tidak! Bukan seperti ini kesepakatannya! Jangan sentuh Meg!" teriak Gideon lagi.

"Kau juga menginginkannya, Gideon Mark. Dan kau sudah menjual jiwamu padaku." Suara serak itu kembali keluar dari mulut Gideon.

"Aku menjanjikan berbagi raga denganmu. Tapi tidak dengan Meg!" balas Gideon.

Dan detik itu juga Meg menyeruak masuk ke dalam ruangan. Gideon berbalik dan menatap Meg dengan mata keemasannya. "Megan?"

"Kau baik Gideon?" Meg bertanya dan melangkah mendekat. Matanya terus terpaku pada tatapan Gideon.

Kemudian dalam satu gerakan cepat Gideon sudah berada tepat di depan Meg dan menariknya ke dalam pelukannya.

"Kau milikku!" ucap suara serak yang keluar dari mulut Gideon.

"Apa yang kau lakukan, Gideon?" Meg berusaha melepaskan diri dari dekapan erat itu. Tapi Gideon malah mendorongnya ke dinding, mengurungnya dengan kedua lengannya dan bibir Gideon mulai menginvasi bibirnya dengan kasar. Meg meronta dan mendorong Gideon, meski semua itu percuma. Gideon lebih kuat dari dirinya.

"Gideon," Meg mengucapkan nama itu dengan lirih dan air mata menggenang di pelupuk matanya.

Seperti tersentak dari trance, Gideon melepaskan Meg dan melangkah mundur. Matanya menatap Meg dengan ketakutan. "Maafkan aku."

"Apa yang terjadi padamu, Gideon?" tanya Meg pelan dan ia masih merapat ke dinding, masih mengamati Gideon dengan waspada.

"Maafkan aku," ucap Gideon lagi.

Kali ini Meg bertanya dengan berteriak, "Katakan! Apa yang terjadi padamu, sialan!"

Gideon mendesah dan menunduk, merasa benar-benar malu dan bersalah. "Aku menjual jiwaku."

"Apa?" Meg sungguh tidak mengerti dengan apa yang dikatakan pria yang berdiri di depannya saat ini.

"Aku menjual jiwaku pada Iblis yang ada di rumah ini. Aku berjanji akan membagi ragaku dengannya dan ia akan membantuku membangun hidupku. Tapi semuanya berakhir buruk, kau harus pergi, Meg," ucap Gideon dengan nada yang menyiratkan rasa sakit.

"Kenapa kau melakukan itu?" ucap Meg pelan.

"Karena aku mencintaimu! Aku ingin kau melihatku!" balas Gideon frustasi dan mengacak-acak rambutnya.

Meg tertegun dan jutaan perasaan tak bernama berputar di benaknya. Ia semakin mengamati wajah Gideon dan mulai mendekat ke arahnya, memeluk pria itu dan Meg membiarkan Gideon menguburkan wajahnya ke lehernya.

"Kau harus pergi," gumam Gideon.

"Aku tak akan meninggalkanmu. Kita akan mencari cara untuk membereskan semua ini," balas Meg dan ia menyapukan bibirnya ke bibir Gideon. Kali ini Gideon membalas ciuman Meg dengan lembut. Menyimpan dan menyerap semua rasa yang selama ini terus ia dambakan.

Contract With the Devil [COMPLETED]Where stories live. Discover now