Saat Takdir Berucap

908 67 1
                                    

No one can guess what will happen next

Gede menghampiri Arjuna yang sedang asyik membuat rundown acara untuk pengarungan besok lusa. Sepertinya Arjuna tidak menyadari kehadiran Gede. Karena dia sempat terlonjak kaget saat Gede menepuk bahunya.

“Ngopo, De? Jan kowe ki ngageti wae.” Arjuna mengelus dadanya.

“Haha… rasah serius-serius cah. Arep nyileh hape.” Gede mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya.

“Bajigur, rokok mung siji digondol pisan!”

Gede pura-pura tidak mendengar. Dia bangkit. Mengamati arsip Akasia yang tersusun rapi di lemari kaca.
Akhirnya, Arjuna memilih untuk mendengarkan musik untuk menghilangkan kesal. Dicari handphone-nya di saku jaket, tapi tak kunjung ditemukan. Beberapa menit kemudian dia menepuk keningnya.

“Astaga!”

“Ngopo we?”

“HP-ku masih di Rinjani, De.”

Gede tersenyum simpul. “Sepertinya kalian memang berjodoh,” ujarnya sambil menepuk bahu Arjuna.

“Ngomong apa sih, De? Udahlah nggak usah ngaco.”

“Ada yang lagi jatuh cinta!” seru Gede membahana.

Buru-buru dibungkamnya mulut Gede dengan tangan. “Kowe ki ngajak ribut po piye?”

Gede memberontak lalu menjitak kepala Arjuna. Akhirnya terjadilah perkelahian kecil diantara mereka. Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena mereka sudah kelelahan. Tawa mereka menghiasi ruangan itu. Masih saja diselingi ejekan satu sama lain.

Mereka sudah bersahabat sejak SMP. Namun, saat menginjak SMA mereka terpisah. Gede pindah ke Bogor, sementara Arjuna ke Wonosobo. Hingga takdir mempertemukan mereka kembali di Universitas yang sama. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk ikut Mapala. Usia memang bertambah, tapi beberapa kebiasaan konyol masih melekat pada diri mereka. Itulah yang terkadang dirindukan ketika mereka tidak bersama.

Di tengah canda tawa Gede dan Arjuna, ada sepasang telinga yang sedari tadi mendengarkan perbincangan mereka. Tanpa terasa, setitik air mata mengalir dari mata gadis itu.

“Kamu lagi ngapain, Sil?” tanya seseorang di belakang Silva. Rupanya Mbak Aya.

Silva terlonjak kaget. “Habis ngambil kunci gudang, Mbak,” dalihnya. “Ya udah, aku mau ambil barang di gudang dulu ya!”

Setelah itu Silva segera melesat pergi. Mbak Aya hanya mengangkat bahu melihat sikap Silva yang dirasa tidak seperti biasa itu.

***

Gaya Baru Malam bergerak lambat. Kepalanya perlahan memasuki Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Disusul badan, kemudian ekor. Rinjani menyalami teman-temannya satu per satu.

“Ati-ati ya, Dek,” kata Mbak Wilis dan Mas Agung bersamaan.

“Iya. Kalian semua juga ati-ati ya!” jawab Rinjani.

“Kalau udah sampai, jangan lupa kasih kabar!” Pawitra mengingatkan.

Rinjani mengacungkan jempolnya.

“Sip!”

Kerinci menghampiri Rinjani lalu berbisik, “Jangan lupa oleh-olehnya ya, Ni! Ntar duitnya aku transfer ke rekeningmu.”

Rinjani menjitak kepala Kerinci. “Dasar Miss Shopaholic!”

“Biarin,” Kerinci menjulurkan lidahnya.

Jangan Bermain Cinta dengan MapalaWhere stories live. Discover now