NOW PLAYING: BEST FRIENDS - SOPHIA GRACE

1.2K 76 4
                                    

Sore-menjelang-malamnya,



"Tutup aja."

Olivia nyaris tersedak potongan daging kambing yang baru saja masuk mulutnya. Sambil terbatuk-batuk, cewek itu meraba-raba permukaan meja hingga ujung telunjuknya berbenturan botol air mineral dingin yang tadi dia letakkan di sana. Sensasi terbakar masih tersisa di kerongkongan bahkan setelah dia menenggak air banyak-banyak. Tapi yang membuatnya paling terluka adalah Fendi yang duduk di hadapannya itu. Bahkan Olivia sempat berhasrat untuk menghajar kepala cowok itu dengan sebelah ankle boots-nya.

"Alasan gue ngajak lo kemari sore-sore begini justru buat brainstorming—bukannya ngasih gue solusi praktis kayak gitu!" sergah Olivia dengan kesal.

Gentleman 1995 pernah ada di masa-masa jaya, meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah setiap bulan. Entah apa yang membuat omzetnya merosot terus-menerus hingga di titik sekarang. Dipotong gaji karyawan, beli bahan, dan tetek-bengek operasional, keuntungan bersihnya sudah sampe di tahap memprihatinkan.

Benar-benar memprihatinkan.

Belum lagi, butik ini memiliki tempat spesial di hati Olivia. Sesuatu yang cowok so-called sahabatnya itu pernah dikasih tahu juga. Jadi, kok tega ya segampang itu menyarankan untuk mengakhiri perjuangan Olivia selama bertahun-tahun dan menutup butiknya untuk selama-lamanya?

"Terus, lo maunya apa?" Fendi malah balik bertanya. Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan sofa beledu sambil mempertimbangkan kata-kata yang akan dia ucapkan selanjutnya. "Lo harus realistis, Liv. This is businessyou shouldn't involve sentimental feeling in it. Lo sendiri ngakuin kan, beberapa bulan terakhir butik lo susah payah mencapai break even. Heck, bahkan lo mulai mikir nggak perlu digaji juga supaya angkanya nggak sampe minus. Masa yang seperti ini mau lo pertahanin terus?"

"But I've been working hard all these years."

"I know." Cowok itu manggut-manggut. "And I adore you for that. Cuman, Liv, sebagai temen gue ngerasa harus ngingetin lo juga: kalo keadaan ini berlanjut dan semakin parah, gue pastiin butik yang sangat lo cintai ini akan balik membebani lo dengan jerat utang."

Kalimat terakhir Fendi membuat sekujur tubuh Olivia meremang ngeri. Nggak, dia nggak akan membiarkan hal itu terjadi.

Seenggaknya dalam waktu dekat.

"I know...," Olivia mendesah sedih. "Tapi gue belum rela buat nyerah sekarang. Gentleman 1995 ini adalah mimpi gue sejak zaman kuliah. Masa sih setelah berjuang selama lima setengah tahun, gue bakal segampang itu menyerah?"

Manik mata Olivia bertemu dengan Fendi, membiarkan cowok itu tahu lewat tatapan mata kalo situasi ini benar-benar membuatnya bingung dan sangat khawatir. Sesuatu yang mendorong Fendi mencondongkan tubuh untuk meremas pelan tangan cewek itu. "Sebenarnya sih, kalo penurut analisis gue, kelemahan utama brand lo karena kurang exposure aja. Langkah lo menyeriusi penjualan online memang udah tepat, tapi kurang maksimal."

"You have to up your social media game, Girl. Yang bener aja dua tahun lebih punya akun Instagram, follower-nya stuck di angka dua ribuan. Kalo diasumsikan dari follower lo itu hanya lima persen aja yang aktif belanja, berarti pembeli potensial lo cuman seratus. Seratus, Liv! Ya jelas aja omzet lo tiarap kayak sekarang."

"So, what should I do?"

"Dinaikin dong exposure-nya."

"Hmmm..., kayak masukin ke majalah gitu? Siapa tahu redaksinya tertarik buat make produk-produk Gentleman 1995 di editorialnya or something."

"What a good idea... if we're living in 2007!" Fendi geleng-geleng kepala. "Hare gene masih baca majalah cetak? Puh-leez! Orang-orang dah telanjur candu sama gadget di tangan mereka. Ngapain repot-repot nungguin majalah edisi terbaru kalo informasi yang dibutuhkan tinggal nyari di internet aja?"

Shit! Bener juga....

"Lo... punya saran?"

"Kenapa nggak terpikir buat nge-hire jasa buzzer dan selebgram? Brand-brand pakaian ngelakuin itu lho selama dua-tiga tahun terakhir."

Paid promotion, gumam Olivia. Nggak jauh beda dengan kata-kata Bill Gates entah kapan itu, bilang kalo internet adalah masa depan periklanan. Kalo bisa menjalin kerja sama promosi dengan buzzer atau influencer dengan follower mencapai jutaan, efeknya jauh lebih hebat daripada media promosi tradisional di luar sana. Sebuah artikel bisnis juga bilang, keuntungan utama menggunakan jasa influencer adalah biayanya yang lebih murah daripada, say, membeli slot sekian detik di jam prime televisi. Promosi via influencer juga nggak bakal dihambat oleh aplikasi ad blocker (kayak nasib iklan pop-up selama ini) dan bisa sangat ditargetkan. Influencer memiliki pengaruh yang sama kuatnya dengan selebritas, para follower memiliki kecenderungan untuk membeli dan menggunakan produk-produk yang mereka rekomendasikan di salah satu post Instagram atau vlog Youtube mereka.

Jujur, Olivia tertarik juga menggunakan jasa mereka seperti saran Fendi. Masalahnya—

"Gue lagi nggak ada budget buat promosi, Fen," aku cewek itu sedih. Apa perlu dia ngulang curhat lagi dari awal? Boro-boro buat nyewa jasa selebgram, sekarang bayar gaji karyawan aja udah empot-empotan."

Fendi mengempaskan tubuhnya ke sandaran sofa. Ikutan lemes. "Yah, gimana bisa ada solusi, Liv? Kalo mau gratisan sih, sekalian aja pacarin selebgram-nya. Terus, lo rayu-rayu deh buat promosiin butik lo secara gratis." Fendi ketawa ngakak, entah apa yang membuatnya berpikir seabsurd itu.

Tapi, berbeda dengan cowok itu, Olivia malah nggak tertawa sama sekali. Selain memang aslinya nggak lucu (Sori, Fen), ada kebenaran yang terselip di omongan Fendi barusan.

"Bener juga ya...." Cewek itu manggut-manggut. "Gue nyari pacar selebgram aja ah!"

Fendi mengerjap-ngerjapkan mata nggak percaya. Dia berharap besties-nya itu punya selera humor yang sama seperti dirinya tadi—but, no. Wajah Olivia berseri-seri penuh semangat ketika melirik penuh arti ke arahnya. "Lo... serius?" tanyanya hati-hati dengan ekspresi ngeri.

"Why the hell not?" Olivia mengedipkan sebelah mata. "Berarti tugas gue tinggal nyari selebgram yang masih single dan branding-nya selaras dengan Gentleman 1995. I will call it: a collaboration in the name of love."

Senyum yakin cewek itu benar-benar bikin Fendi khawatir. Sempat membuatnya bertanya-tanya, jangan-jangan turun omzet juga ikut berpengaruh ke kesehatan mentalnya?

REMUK REDAM: jatuh cintalah... tapi jangan kau sampai mencintainyaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora