NOW PLAYING: NO MONEY - GALANTIS

2.5K 78 2
                                    


1: fuck love, i need money

.

Yang bilang uang bukan segalanya

biasanya malah nggak pernah ngerasain punya uang banyak.

.

.

MUSIM hujan datang dua bulan lebih awal. Gerimis mengguyur Tebet sejak pagi dan belum ada tanda-tanda akan berhenti hingga siang. Aspal terlihat menggelap satu warna, genangan di sana-sini di sepanjang trotoar, dan sedari tadi orang-orang lalu lalang dengan payung menaungi tubuh mereka.

Olivia Padma Evelynn Cardinata baru saja mengganti pakaian manekennya dengan koleksi new arrival Gentleman 1995; dua kemeja hawaii yang dipakai sekaligus (salah satunya dialihfungsikan sebagai luaran), classic-style blue jeans, dan sepatu oxford beraksen tassel yang sangat dandy.

Cewek itu kemudian mundur dua langkah untuk menganalisis hasil karyanya sendiri. What do you think, Liv? tanyanya dalam hati. Udah sesuai dengan visi lo belum?

Setelah merenung lama, Olivia melilitkan neck scarf di leher maneken dan kali ini dia benar-benar tersenyum puas. Koleksi spring/summer didominasi rancangan yang tabrak warna dan motif, membuat penampilan jadi terlihat lebih eklektik dan ceria dalam waktu bersamaan.

Sayangnya, di sekitar Olivia sedang nggak ada customer yang available untuk menyaksikan (dan, kalo bisa, mengagumi juga) momen geniusnya. Suasana lengang seperti ini konsisten terjadi sejak jam buka. Kemarin juga. Dan kemarinnya lagi.

Nggak hanya bisnis yang lesu, para karyawannya pun ikut tertular efek negatifnya. Mereka terlihat bosan dan kurang fokus. Selama menangani maneken tadi, Olivia diam-diam mengawasi gerak-gerik tiga karyawannya yang sedari tadi asyik bergerombol di dekat meja kasir. Yang berdiri di tengah bertugas untuk memegang handphone dengan dua tangan, sedangkan dua yang lainnya menatap intens ke arah layar. Sesekali mereka cekikikan, hingga salah satu dari mereka menegur dengan gesture yang oh-so ah-vious.

Alih-alih menegur mereka, Olivia malah melayangkan pandangan ke balik jendela. Matanya terfokus pada sederet ruko yang berada tepat di seberang Gentleman 1995. Kesedihan membawa pikiran cewek itu melayang ke masa lalu.


<<

Bukan bermaksud sombong, Olivia adalah satu dari beberapa orang yang membeli ruko di Biton Shopping Avenue ketika masih di tahap early development. Nggak hanya harganya yang miring banget, mereka juga bisa bebas memilih ruko yang disuka.

Bertahun-tahun setelahnya, area komersial itu terbilang yang paling sibuk di daerah Tebet. Dua tahun lalu, Biton Mall dibangun tak jauh dari sini. Gentleman 1995 sendiri terletak di pusat keramaian, area parkir pun lumayan luas. Bangunan butik diapit oleh sebuah beer garden yang selalu ramai setiap malam dan sebuah restoran fine dining yang lumayan terkenal berkat reviunya yang bagus-bagus baik di Zomato maupun Instagram.

Jadi, pertanyaan satu juta dolarnya adalah: kok bisa sih butiknya sepi kayak kuburan gini?

Awalnya, Olivia bisa pura-pura menganggap masalah ini tak pernah ada. Dia malah menambah karyawan baru, yang bertanggung jawab atas penjualan online, social media Gentleman 1995, sekaligus menjadi admin website juga. Tapi, bulan berganti bulan, kondisinya bertambah parah saja. Penjualan harian menurun hingga setengahnya, sementara penjualan online nggak terlalu menggembirakan. Ternyata, dalam hal belanja pakaian secara online pun, cowok tetap nggak seimpulsif cewek.

Sebagai pemilik tunggal, Olivia sadar betul nggak bisa membiarkan butiknya terus-menerus terpuruk seperti ini. Dia tak akan memaafkan dirinya kalo usaha yang dirintisnya dengan berkorban keringat dan air mata, juga sebagian besar warisan dari almarhum kakeknya, berakhir tragis begitu saja.

>>

Olivia harus melakukan sesuatu, that's for sure. Tapi sayang seribu kali sayang, hingga sekarang, belum ada ide brilian yang sudi mampir ke kepalanya.

"Mbak...." Satu kali tepukan di bahu membuat Olivia menoleh. Susi, staf sales di butiknya, tanpa disadari sudah berdiri di belakangnya. "Mau nitip makan siang nggak? Kebetulan, saya sama Aci mau beli makanan ke luar."

Siapa yang punya selera makan di saat-saat begini? Olivia merajuk di dalam hati.

Cewek itu pun menggeleng. "Nggak usah deh, kalian aja," ujarnya sembari tersenyum tipis.

Tapi, sepuluh menit kemudian sejak Susi dan Aci berlalu, Olivia mendengar suara kruyuk-kruyuk stereo dari perutnya.

Sambil mendesah, dia lalu beranjak menuju ruangannya sendiri di belakang butik, bertetangga langsung dengan gudang stok. Kantornya itu kecil, tapi nyaman.

Awal-awal Gentleman 1995 berdiri, modalnya keburu terpakai untuk produksi dan biaya operasional. Tak banyak uang yang bisa dipakai untuk mendandani ruang kantornya sesuai visi yang dia mau—terinspirasi dekorasi kantor editor-in-chief di The Devil Wears Prada. Olivia berkeliling cukup lama di area Saharjo hingga menemukan sebuah meja kerja besi bekas dan kursi direksi dengan harga benar-benar miring. Bermodalkan video tutorial di Youtube, meja bekas itu dicat perak mengilap seperti kostum Lady Gaga di era album The Fame. Beberapa hari kemudian, Olivia menemukan lampu chandelier yang masih bagus kondisinya via aplikasi belanja online dan rak buku dari mid-year sale-nya Furnitureland. Sisanya dicicil beli ketika Olivia punya budget lagi; gorden bercorak abstrak, sofa berlapis beledu, karpet faux fur motif kulit zebra, dan wallpaper impor bergaya Queen Anne yang harganya mencapai tujuh ratus ribu rupiah per rol (itu pun setelah diskon).

But everything's so fucking worth it—paling nggak, menurut Olivia begitu. Setiap kali merasa capek atau stres karena kerjaan, dia bisa mengandalkan ruangan itu sebagai tempat 'isi ulang' energi positif ke dalam dirinya. Plus, cewek itu juga nyetok snack favoritnya di situ.

Kruyuk, kruyuk, protes perutnya lagi. Olivia pun membuka laci bawah meja kerjanya dan... melotot kaget. Harusnya ada sebungkus malkist abon sapi di sini! protesnya dalam hati. Ada yang nyolong ya? Siapa—oh, gue ternyata.

Memori otak Olivia mengingatkan tentang lemburnya mengerjakan laporan keuangan dua hari yang lalu. Ketika mendadak kelaparan seperti sekarang, cewek itu mengganyang habis malkist itu kurang dari lima belas menit saja.

Ugh!

Sambil merutuki dirinya circa masa lalu yang menurutnya sebelas-dua belas rakusnya kayak babi (Sisain barang satu-dua keping kek, omelnya), Olivia memutuskan untuk menghubungi seseorang di speed dial nomor 2. Satu-satunya cowok yang saat ini paling berarti di hidupnya.

Calling Fendi....

REMUK REDAM: jatuh cintalah... tapi jangan kau sampai mencintainyaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin