NOW PLAYING: TILL IT'S GONE - KENNY CHESNEY

1.6K 78 0
                                    

"What's up, Bitch?"

"Sopan banget nyapanya," sindir Olivia. "Nggak disekolahin ya, Fen, mulutnya?"

"Puh-leez! Pertanyaan lo tadi ah-viously retoris kan? Karena sejak awal kenalan pun gue emang dasarnya udah nggak sophisticated." Terdengar suara ngakak semi-semi nenek sihir di seberang sana. "But that makes me down to earth and approachable to you, right? Coba bayangin kalo selain ganteng, gue juga high class—boro-boro temenan, mau ngajak gue kenalan aja lutut lo dah gemetaran."

"Najis!" Olivia tertawa terbahak-bahak.

Fendi Omarion Widyasmoro, nama lengkap cowok itu. Dia pasti nyahut kalo dipanggil 'Fendi', 'Fen Fen', atau 'si Ganteng'—khusus pas orangnya lagi ngambek berat. Seperti pengakuannya tadi, di awal pertemuan pun Fendi nggak ada sophisticated-sophisticated-nya barang secuil ujung kuku pun. Gahar banget malah.

<<

Fendi dan Olivia dipertemukan oleh topi Philip Treacy yang dulunya adalah bagian dari kostum Melly Goeslaw saat konser tunggal beberapa tahun silam. Topi itu adalah salah satu highlight acara bazaar barang-barang preloved artis di Modern Mall, sekaligus incaran keduanya juga.

Tangan mereka bersentuhan seperti adegan klise di film-film romcom Sandra Bullock. Bedanya, tak lama setelah momen itu, keduanya saling melotot galak.

"I want to buy this hat."

"Sori ya, gue yang liat ini duluan," balas Fendi. "Jadi, gue yang lebih berhak."

"But why?" Olivia menatap cowok di hadapannya itu dari kepala hingga ujung kaki. Kesan pertama, memang ganteng. Berwajah oriental, cute kayak personel boyband K-Pop, dan atletis. Sebagai orang yang menyeriusi desain pakaian cowok selama bertahun-tahun, bahkan jauh sebelum Gentleman 1995 berdiri, Olivia tahu pasti kemeja slim fit itu terlihat paling bagus hanya saat dipakai oleh yang berpostur tubuh ideal. Begitu juga dengan skinny jeans yang mencetak jelas bokong seksi dan kaki jenjang cowok itu.

"You don't need this. You're a man!"

"So?" Fendi mendelik defensif. "I can wear whatever the hell what I want. That's none of your fucking business!"

Perubahan air muka cowok itu pun membuat Olivia langsung menyadari kesalahannya. "Sori, sori. Maksud gue bukan gitu—"

"Whatever!" Fendi tersenyum penuh kemenangan. Philip Treacy itu kini ada di tangannya. "Snooze, you lose!"

"What the—"

Yeah, Fendi was an asshole. Banget, malah. Tapi setelah membayar topi itu di meja kasir, Fendi kembali lagi khusus untuk bertemu Olivia. Ngajak ngopi, katanya. Dia sih mau-mau aja, meskipun sempat khawatir karena ini kali pertama menerima ajakan orang asing.

Seperti bisa membaca pikiran, Fendi memakai pillbox hat beraksen bulu itu di kepalanya, kemudian berkata, "See? Sekarang lo yakin kan gue nggak ngajak lo ngopi karena tertarik secara seksual sama lo. Dan kapan juga lo pernah denger ada pembunuh berantai yang make topi se-fabulous ini?"

Olivia tertawa. "Never."

Keduanya pun menjatuhkan pilihan buat ngopi di Cangkir. Sambil menikmati secangkir cappuccino, Olivia dan Fendi bertukar cerita tentang diri masing-masing. Tentang butik milik cewek itu dan profesi Fendi selama tiga tahun lebih sebagai window displayer untuk Furnitureland, toko perabotan franchise asal Swedia. Fendi bertanggung jawab atas desain mock room yang jadi etalase untuk produk-produk furniture produksi perusahaan tempat dia bekerja. Sesekali, pergi ke luar kota juga untuk mengerjakan desain mock room toko Furnitureland di sana.

Secangkir bertambah jadi dua cangkir. Tadinya nggak pesen makanan apa-apa, tiba-tiba tergoda untuk nge-order red velvet cake (untuk Olivia) dan salted caramel éclair (untuk Fendi). Percakapan santai di kafe berlanjut jadi ajakan makan malam di restoran sushi lantai tiga—dan janjian nonton film Sandra Bullock pas weekend. Minggu depannya, keduanya sepakat shopping bareng di Haute & Co. Beberapa hari kemudian, nyobain anti-gravity yoga yang lagi banyak diomongin orang-orang ketika itu. Terus, ikut workshop melukis dengan teknik gouache di Kelas Dewasa. And so on, and so on.

They fell in love with each other, instantly and also platonically. Fendi senang mencoba hal-hal baru dan teman mengobrol yang seru juga. Dia adalah kandidat pacar impian seandainya aja nggak sama-sama suka cowok juga. Sesuatu yang sebenarnya Olivia sudah tahu lama karena, say, topi Philip Treacy?

Nggak ada cowok straight yang bisa nyaingin passionate-nya Fendi sama topi couture.

>>

"Lagi hectic nggak lo?"

Terdengar hmmm yang panjang di seberang sana. "Nggak terlalu sih," kata cowok itu.

"Good. Berarti bisa mampir dong ke butik entar sore."

"Are you out of your mind?!" seru Fendi. "Gils aja lo sore-sore nyuruh gue ke Tebet! Waktu yang gue habisin bermacet-macet ria di jalan bisa dipake buat berkali-kali quickie sama Jake Shears, Bitch!"

"Dih, kek Jake mau aja sama lo! Kenal juga kagak." Jake Shears adalah personel Scissor Sisters a.k.a. band pop favorit Fendi sepanjang masa (runner ups: The Ting Tings dan Pet Shop Boys). Cowok itu juga bilang, dia ngebayangin Jake saat—ehem—mimpi basah. Momen penting dalam hidup yang bikin Fendi semakin yakin kalo dia—ehem lagi—nggak tertarik sama cewek dan va-jay-jay yang di-built in bersamanya.

"This gay boy can only dream," kata cowok itu ngeles.

"Dasar!" Olivia kembali teringat misinya membujuk Fendi datang ke Tebet. "Ayolah, Fendi Darling.... Masa lo nggak kangen sih sama gue?"

"Ada yang penting nggak, mau lo omongin sama gue? Kalo cuman buat ngobrol ngalor-ngidul gitu doang sih, mending pas weekend aja. Sekalian brunch."

"But I need you now!" Olivia pura-pura merajuk. "And to answer your question, yes. Gue sekalian mau tukar pikiran sama lo soal sesuatu. Mau ya, pleaseeee? Gue traktir makan malam deh."

Fendi menghela napas. "Pizza delivery ya?"

"Kemahalan! Traktir nasi goreng gila Bang Kumis aja gimana?"

Helaan napas cowok itu terdengar lebih dramatis dari sebelumnya. "Udahlah ngerepotin, pelit pula. Coba ingetin gue sekali lagi, kenapa gue mau-maunya terus temenan sama orang kayak lo?"

"Because I'm the only friend you're not interested to fuck?" Olivia tertawa karena leluconnya sendiri.

"Idih!" Fendi terkekeh. "So fucking true, but still... idih." Sejurus kemudian, cowok itu berkata lagi, "Oke, oke, nanti gue tenggo dari kantor."

"YOU'RE THE BEST!" pekik Olivia senang. "THANKIES BANGET, BEBS!"

Fendi mendengus. "Muji kalo ada maunya aja...."

Klik.

Setelah obrolan berakhir, Olivia menaruh kembali handphone-nya di atas meja. Tak sadar tangannya menyenggol wireless mouse, yang menyebabkan layar laptop yang tadinya gelap kini kembali menampilkan dokumen yang kali terakhir dibuka oleh cewek itu sebelum meninggalkan ruangan.

Laporan keuangan enam bulan terakhir Gentleman 1995.

Olivia menelan ludah. Matanya menyelusuri deretan angka-angka yang tertera di sana, juga angka yang tertera di kolom paling terakhir. Angka yang membuat telapak tangannya berkeringat dingin. Angka yang membuatnya kembali dirundung sedih.

Sambil mengelus-elus perutnya yang masih keroncongan, Olivia berharap pertemuannya nanti dengan Fendi bisa menginspirasinya menemukan solusi yang terbaik untuk Gentleman 1995. Percuma aja dong itu cowok lulusan marketing communication kalo nggak bisa ngasih barang satu-dua tips untuk nyelametin Gentleman 1995 dari ambang kebangkrutan, gumamnya.

REMUK REDAM: jatuh cintalah... tapi jangan kau sampai mencintainyaWhere stories live. Discover now