Part 6

1.5K 8 2
                                    

Aku mengatur nafasku, keringat mengucur melewati pipiku.

Pukul 6 pagi. Aku sedang berlari pada sebuah taman di perumahanku. Hari Sabtu pertama yang aku lewati tanpa Dewa. Selama 2 tahun terakhir, semua yang aku jalani terasa biasa saja hingga hari ini. Rasanya seperti aku berjalan melewati lorong gelap sendirian. Tanpa adanya Dewa untuk menuntunku ataupun sekedar menggenggam tangaku. 

Kuputuskan untuk duduk di bangku kayu yang berjarak tidak jauh ditempatku sekarang. Aku mendengarkan lagu sambil membuka beberapa media sosial, berharap Dewa akan mengabariku.

Berharap ia mengucapkan selamat pagi. Berharap ia akan bertanya bagaimana kabarku selama satu minggu tanpanya.

Akan tetapi, tidak ada kabar apapun darinya. Tidak ada pesan singkat dan tidak ada ucapan selamat pagi. 

Aku menghela nafas panjang, merasakan tiap oksigen yang kuhirup. Bagaimana jika Dewa benar-benar pergi?

Aku membuka galeri foto pada handphone. Menggeser ke kanan dan kiri untuk melihat beberapa foto yang kuambil secara tidak sengaja maupun sengaja. Fotoku bersama Dewa. Foto Dewa sedang tertawa sambil menatap kamera secara tidak sengaja adalah foto kesukaanku. Aku menekan layar 2 kali untuk membesarkan ukuran foto. Aku melihat betapa indah matanya saat ia tertawa, lesung pipinya yang tidak terlalu terlihat, dan  betapa indah tawanya saat bersamaku.

Aku takut kalau aku bukan lagi alasannya untuk tertawa. Karena aku sangat menyukai tawanya, apalagi melodi tawanya.

Aku takut kalau aku bukan lagi alasannya untuk tersenyum. Karena senyumnya adalah hal terindah yang pernah kulihat dan melihat senyumnya adalah zat aditif bagi tubuhku, percayalah. Dewa adalah laki-laki hebat yang membuatku sadar kalau cinta bukan hanya soal fisik.

Dewa membuatku sadar kalau aku bisa jatuh cinta hanya karena kedipan matanya. Dewa menyadariku kalau cintaku bisa tumbuh hanya karena mendengar tawanya pada pagi hari.

Aku benar-benar jatuh cinta dengan hal kecil yang dimiliki Dewa.

I had this whole idea of what my life was gonna be.

Tapi Dewa datang, seakan-akan menyerahkan seluruh hidupnya, seluruh cintanya untukku. Lalu aku dengan kebodohanku percaya begitu saja padanya dan menyerahkan seluruh hatiku untuknya.

I gave him everything . I give him my best but,  lately i know i wasn't good enough for him.

Dewa membawaku ke dunia asing dimana hanya ada aku, dia, dan perasaan kami. Perlahan, lambat namun pasti. 

Aku tahu perasaannya perlahan meninggalkan dunia asing itu. Menghilang dan disana hanya ada aku, Dewa, dan perasaanku.

Lalu, entah berapa lama lagi aku harus menunggu. Mungkin besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan atau kapanpun itu, ia akan pergi seperti perasaannya padaku.

Aku hanya menunggu waktu untuk melepaskannya. 

Aku hanya menunggu waktu untuk merelakannya yang sudah mengukir tinta permanen dalam tubuhku.

Aku hanya menunggu waktu untuk kembali membiasakan diri ini tanpanya di setiap langkahku.

Apapun yang Dewa pilih nantinya, apapun keputusannya, satu hal yang aku tahu pasti kebenarannya dari semua ini.



Aku akan menjadi satu-satunya yang terluka dengan setiap keputusan yang ia buat.



Aku sadar, aku sadar dengan pasti bahwa aku dengan sungguh  mempercayainya. Dengan sungguh juga ia merusak kepercayaanku.

Terkadang, saat aku tebangun pukul 1 dini hari setelah tertidur selama 4 jam. Aku terbangun sendirian dan mulai memikirkan sesuatu secara berlebihan.

Aku memikirkan bagaimana jadinya dirku jika Dewa meninggalkanku. Pagi hari aku akan terbangun sambil memeluk bantalku sambil menangis menyadari aku bukan lagi prioritasnya.

Atau pernahkan aku menjadi prioritasnya? 

Saat matahri menyinari dunia ini aku akan menjaga Dewa agar ia tidak terbang terlalu dekat mendekati matahari kaena walaupun matahari terlihat indah dari sini, Matahari akan membakarnya hidup-hidup saat ia mendekat.

Saat dewa terlihat begitu indah di mataku, aku tahu dengan sungguh kalau ia juga akan melukaiku saat aku mendekat.

Aku tumbuh menduduki gelapnya hidup dan menapakkan kaki ku diatas hitamnya tanah dengan perasaan yang sudah mati. Aku tetap menduduki kegelapan, aku tetap manapakkan kakiku pada hitamnya tanah walaupun aku tahu kalau semua itu tidak ada artinya. Bahwa aku hanya akan menghancurkan diriku sendiri.

Aku tetap bersama dengan Dewa, aku tetap mencintainya, meunggu kabarnya, memberikan ruang di ranjangku untuknya walaupun aku  tak tahu pasti kapan ia akan pulang padaku.

Aku hanya melakukan hal-hal itu karena aku masih berharap kalau aku salah. Kalau Dewa akan pulang secepat yang ia bisa karena ia tidak mau aku khawatir. 

Aku percaya kalau ia berharap akan terbangun di pagi hari sambil melihat wajahku yang sedang menatapnya sambil mengganggu kenyamanan tidurnya.

Aku berharap kalau aku selalu bangun terlebih dahulu sebelumnya, agar aku bisa menatap wajahnya sebelum bayangan-bayangan istrinya terpampang di benakku.

Aku  mengecilkan volume lagu. Aku  menarik nafas panjang. Dengan ragu aku langsung menoleh ke belakang karena mendengar namaku dipanggil oleh seseorang.

"...." Aku terkejut. 

Masih terkejut aku juga menatap setiap sudut wajah dan raut wajah peremuan yang sedang berdiri di hadapanku. 

"Nat?"

.........





Aku Bukanlah Wanita PenggodaWhere stories live. Discover now