1st

11 0 0
                                    

Keluarga adalah sekumpulan manusia yang paling berharga, mereka bisa menjadi apapun dalam setiap keadaan. Merekalah pelengkap kehidupan. Tempat mengadu ketika gundah, serta tempat berpulang ketika resah.

Terlahir dari keluarga sederhana, Arkahfi Pramuna Dirga, bungsu dari dua bersaudara ini tumbuh dengan limpahan kasih sayang dari kedua orang tua dan seorang kakak laki-lakinya. Semua berjalan harmonis, ia tumbuh seperti anak laki-laki pada umumnya, bermain dan bertengkar selayaknya anak pada usianya dulu. Hingga hari itu tiba, hari yang mengubah seluruh keharmonisan hidupnya. Tak ada lagi kehangatan di keluarga itu, senyuman mulai langka, tawa riang juga hampir tak terdengar.

Siang itu Arka sedang bermain dengan teman-temannya di halaman sekolah seperti biasa, tiba-tiba seorang guru berlari ke arahnya dan langsung memeluknya. Entah apa yang ada dalam pikiran Arka saat itu, hanya kebingungan yang jelas terlihat dari raut wajah kusamnya. Bu Maria, wali kelas Arka saat itu, memboyong Arka masuk ke ruang guru dan menyampaikan kabar dari keluarganya. Bagai petir di siang hari, bukan main kagetnya Arka kala itu. Tanpa memperdulikan sekitar, ia berlari sekencang mungkin menuju rumahnya, ya, menuju keluarganya. Beberapa guru mencoba menahannya namun tak berhasil, akhirnya mereka ikut berlari bersama Arka, tepat di belakang Arka. Sesampainya dirumah, kabar yang semula ia anggap lelucon kini terbukti benar adanya. Rumahnya ramai dan banyak kursi-kursi tersusun di luar, ada mobil ambulance di halaman rumahnya. Seketika semua menjadi silau, Arka tak sanggup menahan beban tubuhnya lagi.

Isak tangis dan lantunan ayat-ayat suci membangunkan Arka dari tidur pulasnya. Dengan menguatkan hati dan memohon pertolongan-Nya, ia keluar melihat keluarganya. Lelaki tegap yang kemarin masih menemaninya bermain di tepi pantai, kini tengah terbujur kaku berbalut kain putih di sekujur tubuhnya. Disampingnya terlihat seorang wanita yang tengah melampiaskan kesedihannya dengan menangis di samping pembaringan lelaki tadi, yang adalah suaminya. Ya, ayah Arka meninggal sangat mendadak, serangan jantung katanya. Arka di usia yang masih terbilang belia, harus menyaksikan ayahnya yang sudah tak bernyawa lagi dan juga ibunya yang harus berulang kali pingsan karena tak mempercayai takdir. Abang semata wayangnya hanya duduk diam memandang wajah sang ayah diiringi dengan deraian air mata tanpa isakan. Sementara Arka masih harus mencoba merangkai peristiwa ini menjadi sebuah kepercayaan dan keikhlasan. Sungguh sikap yang berat yang harus ditunjukkan oleh remaja seusianya.

Berat rasanya melepas sang ayah yang selama ini menjadi sosok panutan bagi Arka untuk selama lamanya. Emosi dan air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah di pusara sang ayah. Arka menangis dan mengumpat sejadi-jadinya, melepaskan kekecewaan pada sang pemilik hidup. Ingin rasanya ia memaki siapa saja yang menyentuhnya kala itu, beberapa orang berusaha menenangkannya namun dihadang oleh sang ibu. “Biarkan” hanya sepatah kata yang membawa langkah mundur para kerabat dari jangkauan bungsunya. Sampai lelah mengumpat, Arka menarik nafas panjang dan terjatuh tepat di samping pusara ayahnya. “Arka mau ikut ayah” kalimat singkat sebelum akhirnya Arka diangkat oleh abangnya menuju mobil dan kembali ke rumah duka.

Sungguh berat hari-hari yang harus dilalui Arka kala itu. Semangat belajar dan bermain seorang Arka hilang, nafsu makannya menurun drastis, emosi dan kondisi kejiwaannya tidak stabil, ia lebih suka mengurung diri di kamarnya, memandangi foto keluarga kecilnya yang masih utuh. Arka kecil yang tak perlu ragu untuk tertawa dan menangis, yang selalu bertengkar dengan abang, yang akan dengan bebas berlari ke pelukan sang ibu mencari perlindungan ketika ia dikejar oleh sang ayah, semua sangat dirindukannya, sangat. Ia tak mau berfikir kedepannya akan seperti apa hidupnya, esok akan seperti apa harinya, yang ingin dia fikirkan hanya, ia sangat merindukan ayahnya, ia ingin bertemu sang ayah walau hanya dalam mimpi.

Beberapa minggu berselang, Arka mulai bisa menerima kepergian sang ayah dan kembali ke rutinitasnya sebagai seorang pelajar. Tak ada banyak perubahan dalam diri Arka, hanya sikapnya yang menjadi dingin dan tertutup, mengejutkan banyak teman-teman dan orang di sekitarnya. Namun sepertinya ketenangan belum berpihak pada remaja itu. Sang ibu yang selama ini menjadi satu-satunya pelipur dan semangat hidup baginya, mengalami guncangan mental yang cukup dahsyat dan berhasil sekali lagi meruntuhkan pertahanan jiwanya.

Hari-hari baru yang penuh dengan tekanan dan hujatan menantinya di depan. Perjalanan panjang kembali menghadang, ramalan cobaan dan rintangan mulai menghantui. Seorang Arka yang kemarin masih egois, yang hanya mementingkan perasaannya, kini ia harus berbagi tanggung jawab yang besar bersama sang abang demi ibu tercinta. Satu-satunya tempat Arka mengabdi dan menggantungkan masa depannya. Menjaga titipan paling berharga dari sang ayah yang secara tidak langsung di titipkan padanya.

MASTERPIECEWhere stories live. Discover now