Destiny of Game ...

9 8 7
                                    

"Pokoknya aku tidak mau tahu, anak itu harus ada di tanganku nanti malam! Kalau kamu tidak bisa menjalankan tugas ini sekali lagi, nyawamu sebagai gantinya!!!"

"B-b-baik, Nona ..." aku tergagap menjawab panggilan dari Nona melalui gawai menelepon saat aku sedang pusing memikirkan cara untuk mendapatkan anak itu.

"Akuakan usahakan sebaik mungkin, dan kali ini tidak akan ga---gal lagi Nona." Belum selesai aku menyelesaikan ucapanku, dia menutup pembicaraan yang ia mulai dengan seenak hati. Selalu seperti itu.

***

Dimas Anggara, aku biasa dipanggil Dimas. Aku berbeda dengan anak remaja sepantaranku. Aku tidak suka keramaian, aku tidak suka ibu dan ayahku, bahkan aku juga tidak menyukai kehadiranku ke dunia ini. Karena aku, menyukai darah. Ya, darah yang aku nikmati setiap tetesnya saat berceceran dari tubuh orang-orang yang telah menyakiti aku. Bahkan saat mendengar erangan dan jeritan yang keluar dari tenggorokan mereka yang kusebut teman, adalah hal terindah yang masuk ke telingaku. Masih kalah indah dengan lagu-lagu bangs*t yang setiap hari mereka dengar.

Entah sejak kapan aku menikmati semua itu, dan yang pasti aku ingat akan satu kenangan dimana tidak akan pernah aku lupakan. Aku menguliti Cicio, kucing kesayangan Mamah.

"Cicio ... puss, kitti kitti kitti," Mamah memanggil Cicio dengan muka gelisah dan khawatir yang berlebihan menurutku. Betapa tidak, Cicio yang hanya seekor kucing lebih berharganya daripada aku anak kandung sematawayangnya.

"Dimas!!! Kamu lihat Cicio gak?" bentak Mamah bertanya padaku yang saat itu sedang bermain dengan Sisi, burung kenari yang selalu setia mendengar curhatku. Tidak kugubris pertanyaannya. Aku tetap asyik memberi makan Sisi yang berada di dalam sangkarnya bercorak emas.

Tidak ingin pusing denganku yang tidak menjawab pertanyaannya, Mamah meninggalkan aku kembali. Ia menutup pintu kamar dengan menggebraknya hingga terdengar begitu lantang tertutup. Sudah biasa. Baginya aku memang tidak pernah ada, aku bertahan di rumah ini bukan karenanya. Melainkan mendiang Omah yang menginginkan aku hadir di dunia, meski aku terlahir karena terpaksa kedunia ini.

Melihat Mamah yang sudah menggebrak pintu kamarku, aku berjalan menuju kamar mandi, tempat dimana Cicio berada.

"Kasian, ternyata nyawamu hanya satu yah Cicio? Aku kira kau memiliki nyawa 7 seperti cerita orang-orang, ternyata hanya segini saja nyawamu?" ucapku pada Cicio yang tengah mengambang di dalam bathup, matanya yang melotot seakan-akan meminta keluar dari rongganya. Aku puas. Rasa puas yang tiada tara. Untuk pertama kalinya aku merasakan kebahagiaan, bahagia yang ternyata sangat mudah aku dapatkan. Kenikmatan yang sebelumnya tidak pernah aku dapatkan, kini aku dapatkan saat bermain-main dengan Cicio. Aku nikmati setiap prosesnya. Saat ia meronta dan meraung mengharapkan belas kasihku, dan saat ia mencakar lenganku yang kini penuh dengan goresan luka dan darah segar yang terus bergelinjangan membentuk garis-garis horizontal buatan anak-anak TK.

***

Sandra atau Nona, adalah teman terbaik yang sebelumnya tidak pernah aku miliki setelah 17 tahu aku hidup di dunia. Tidak ada keistimewaan padanya, hanya satu yang membuat aku dapat bertahan berteman dengannya. Kami memiliki satu persamaan, bahagia saat mendengar kicauan orang-orang kesakitan meronta meminta belas kasih kami untuk berhenti bermain bersama dengan mereka. Ya, mereka yang sudah menghakimi kami sebagai anak-anak penyakitan. Padahal kami tidak memiliki penyakit apapun, postur tubuh dan segala macam pada diri kami masih sama dengan mereka. Hanya diam kami, yang mereka anggap sebagai penyakit.

"T-tolong maafkan aku Dim-mas," ringkih Thomas meminta ampunanku. Mungkin dia lupa, bagaimana dulu saat kelas 4 SD aku harus menerima segala macam bentuk ledekkan darinya, atau mungkin dia juga lupa, saat aku meronta dan menangis meminta belas kasihnya saat kelas 6 dulu ia dengan sebebasnya melayangkan bogem ke muka dan perutku.

Aku tidak menghiraukan ringkihnya, aku menikmati setiap tetes cairan merah yang terjun perlahan di sekujur tubuhnya. Begitupun dengan Nona, yang dulu pernah di nodai olehnya.

"Dimas, kayaknya aku mulai bosen deh. Bagaimana kalau kita cari permainan baru yuk," ajak Nona yang terlihat jenuh dengan permainan ini.

"Kamu ingin bermain apa lagi sih? Aku sudah susah payah loh menculik anak ini, setelah mendengar ancamanmu kemarin malam."

Buagh ....

Aku melampiaskan amarahku pada Thomas dengan sekuat tenaga. Tidak menerima keputusan Nona, yang sudah membuatku memikirkan banyak cara untuk mendapatkan Thomas anak seorang pengusaha ternama. Untuk dapat menculiknya seperti ini pun tidak mudah, karena aku harus berhadapan dengan tiga orang pengawalnya. Setelah sebelumnya aku gagal menculiknya akibat kelakuan Nona sendiri yang semena-mena. Membuat aku seolah-olah adalah layaknya kacung baginya.

"Dimas ..., apa yang sudah kamu lakukan? Lihat, sekarang kita sudah tidak punya mainan lagi kan?" teriaknya yang tidak menerima aku membuat jatuh Thomas hingga tak bernyawa.

"Apa kau sudah puas, Nona?" Aku menaikkan bibir bawahku hingga nampak senyum simpul, aku berjalan mendekati dirinya yang tengah berjongkok di depan jenazah Thomas. Aku selipkan telapak kananku ke lengan kiri Nona, aku membantunya untuk berdiri. Ku peluk ia dengan penuh kehangatan, ia pun membalas pelukkan yang aku berikan. Kulingkarkan kedua tanganku sampai belakang panggulnya, begitupun dengan dirinya yang melingkari belakang leherku. Tak lama ...

"A-apa yang k-kau lakukan?"

"Kita me-mang berjodoh sa-sayang, akhirnya Tu-tuhan menyatukan kita seperti ini."

Aku dan Sandra alias Nona, akhirnya sama-sama meninggalkan dunia ini dengan cara yang tidak pernah kami tahu sebelumnya. Aku menghunuskan pisau tepat belakang jantungnya, dan ia menancapkan pisau kecil yang sama denganku tepat di belakang leher. Aku bahagia menikmati moment ini, moment dimana aku mati tidak sebagai pembunuh, melainkan sebagai pemain yang mati karena permainannya.


#BASAGITACOMMUNITY

#BASAGITAMINICHALLENGE1.O

BASAGITA MINI CHALLENGE 1.0Onde histórias criam vida. Descubra agora