“ ’Oi Nate, lihat, sepertinya boneka itu maksudnya Ashton,” Walter menunjuk boneka di pelukan Sophie.

“Aww,” ejek Owen.

Tanpa Sophie sadari, Jacob sudah berdiri di belakang Sophie dan menarik salah satu kepangannya kebawah. Sophie menggigit bibir menahan tangis. Ia ingin keempat anak itu pergi sekarang juga dan ibunya cepat kembali. Sophie takut Nate akan merusak boneka Lauren.

Nate menatap boneka kecil milik Sophie dengan jijik. “Hei Sophie, kau tahu tidak? Ashton sebenarnya tidak ingin bermain denganmu, kau tahu?”

 “Bohong! Tentu saja Ashton temanku, Ashton sudah janji!” teriak Sophie.

Diluar dugaan Sophie, Nate dan kawan-kawannya tertawa terbahak-bahak.

“Ternyata dugaan kita benar! Ashton memang banci! Hahahahaha,” ucap Walter di sela-sela tawanya.

“Bayangkan mereka main boneka-boneka ini berdua! Hahaha,” tambah Jacob.

Sophie tidak kuat lagi menahan tangis. Akhirnya dia menangis sekencang-kencangnya hingga keempat berandal berhenti tertawa seketika. Nate melempar boneka Lauren ke kaki Sophie dan kabur bersama ketiga anak lainnya. Sophie terus saja menangis, mempererat pelukannya pada boneka-bonekanya.

Tak lama kemudian Mrs. Williams datang tergopoh-gopoh dan langsung menghampiri putri tunggalnya.

“Shh... what happened, baby girl?”

Sophie menjatuhkan boneka-bonekanya dan memeluk leher ibunya erat-erat, masih terus menangis, ingus meleleh dari lubang hidungnya yang kecil sementara ia membenamkan kepalanya di bahu ibunya. Ketika mengangkat kepala, Sophie melihat sosok yang ditunggunya sejak tadi: Ashton.

Ashton tersenyum miring dan mengangkat tangannya, menyapa Sophie. Tas sekolah masih tersampir di punggungnya dan rambutnya menempel di kening oleh keringat.

“Ashton…” Sophie menangis lagi. Mrs. Williams melepas Sophie dan mundur, menyaksikan Ashton memegang tangan Sophie hingga Sophie diam. Air mata membasahi mata sang ibu, membuatnya berkaca-kaca. Sungguh bersyukur dirinya karena Sophie memiliki seorang Ashton. Beliau lalu masuk kedalam rumah, memberi privasi untuk kedua anak tersebut.

“Apa yang terjadi, Sophie?” tanya Ashton lembut. Ashton menjatuhkan tas sekolahnya dan mengajak Sophie untuk duduk di rumput.

“Nate bilang… Nate bilang, Ashton nggak mau berteman denganku, Nate bilang boneka Lauren jelek!” adu Sophie berapi-api. “Nate bahkan bilang Ashton banci! Padahal aku tahu Ashton lebih berani dari anak laki-laki manapun!”

Ashton tertawa pelan, mengeluarkan sapu tangan dari tas sekolah dan membersihkan ingus Sophie, tidak menyadari tatapan ibu Sophie yang terharu atas tindakannya dari balik jendela.

“Kau tidak menyesal berteman denganku, kan, Ash?” tanya Sophie tiba-tiba.

“Tentu saja tidak!” Ashton bangkit berdiri. “Mau balap ke pohon?”

Sophie tertawa dan langsung lari.

Ashton menoleh ke arah jendela, mengejutkan Mrs. Williams yang tertangkap basah memperhatikan kedua anak kecil itu. Ashton melambaikan tangan dan Mrs. Williams mengangguk merestui, percaya bahwa Ashton akan melindungi Sophie sekuat tenaga.

Ashton lari secepatnya, matanya terpaku pada sosok Sophie yang berlari cukup jauh didepannya. Akhirnya mereka berdua sampai sambil terengah-engah.

“Aku selalu menang, kapan kau akan mengalahkanku, Ashton?” Sophie berbaring di tanah.

“Oh, suatu saat nanti aku akan,” janji Ashton.

Mereka terdiam kelelahan sehabis berlari, menikmati angin yang berhembus dan gemerisik daun-daun di atas sana. Sayup-sayup terdengar kicau burung di puncak pohon, pohon mereka.

“Ashton?” tanya Sophie sekonyong-konyong.

“Apa?”

“Janji kau akan selalu ada untukku?” Mata hijau Sophie yang memancarkan kepolosannya menatap mata hazel Ashton.

Ashton tersenyum. “Janji,” jawabnya.

“Bahkan jika kita sudah besar nanti?”

“Tentu saja.”

“Bagaimana dengan kehidupan selanjutnya?”

Ashton menertawakan Sophie hingga gadis itu cemberut. “Aku tidak tahu, Sophie, tapi kalau benar ada kehidupan selanjutnya, maka ya, aku akan selalu jadi temanmu sampai saat itu.”

“Bagus, karena aku akan jadi ratu, dan aku tidak mau Owen atau siapapun yang jadi rajanya kecuali Ashton,” ucap Sophie blak-blakan.

Ashton tidak terlalu mengerti karena, sedewasa apapun ia, ia masihlah bocah tujuh tahun yang baru saja sehilangan sosok seorang ayah.

Tapi tetap saja Ashton tertawa.

 

A/N: yoooo people. I'm sorry for taking really really really long to update it's just hard to continue ugh.

Minggu depan aku uas dan besok fisika. Yep, i'm that kind of girl who doesnt do anything except sleep eat and play with her phone FOR A WHOLE WEEK, and writes fanfiction a day before her exam just because she can and she gave up about this physics thing.

Btw alo kamu lagi ngebaca ini jangan lupa vote sama comment ya! Dan boleh banget nih kalo mau saran atau kritik, boleh comment dan boleh juga message. Aku dapet banyak kritik dan saran nih, ada yang bilang Ashton sama Sophie terlalu cepet pdkt nya dan setelah aku baca lagi emang bener, jadi nanti mau aku ganti beginningnya Replayed, tapi kapan-nya ga tau. Dan juga terlalu sedikit konfliknya, ini aku setuju banget. Aku ga tega bikin drama stuff nya :( dan gaada ide juga sih, dan aku terlalu fokus ke ending :( liat aja 30DoN super garing tapi endingnya lebay. Mungkin nanti aku bakal tambahin drama stuffnya okeee. Please jangan kapok baca =)) ada yg penasaran endingnya ga? Haha. Makasih banyak yang udah kritik dan saraaan <3 makasih juga yang udah baca, vomment. I luv ya guys.

Ah, sok asik banget aku nulis kaya gini padahal belom tentu ada yang baca wakakaka. Jadi aja kepanjangan. Oh iya lupa bilang, REPLAYED GANTI COVER LOH! Hehehe jadi rada dark-themed dan galau gitu padahal isinya mah apa. What do you think? Comment ya biar aku gak gondok udah nulis A/N sepanjang ini. Daaaah~

P.S tebak siapa yg di mulmed :3

Replayed [UNDER SERIOUS EDITING]Where stories live. Discover now