Prolog

211 22 0
                                    

Prolog

Sejujurnya, Sienna tidak percaya yang namanya cinta pada pandangan pertama.

Menurutnya, cinta bukan kata yang tepat untuk mendefinisikan binar-binar pada pandangan pertama.

Melainkan, kagum.

Kagum dengan parasnya, fisiknya, dan juga sikapnya.

Cinta hanya ada jika dibiasakan dengan pertemuan.

Itu yang selalu Sienna catat dalam pikirannya.

Awalnya, Sienna hanya kagum pada paras dan fisik Ezra. Kagum pada keahliannya dalam bermain gitar. Kagum dengan kekonyolannya.  Namun semakin sering ia memerhatikan Ezra, Sienna jadi semakin mengenal Ezra luar dalam. Dan itulah yang membuatnya semakin cepat mengubah rasa kagumnya menjadi rasa sayang.

Bahkan, rasa sayangnya sudah sampai pada tahap dimana, tidak peduli seberapa sakit hatinya melihat Ezra bergonta-ganti pacar—asalkan dia bahagia—Sienna pasti ikut bahagia. 

Kebahagiaan Ezra adalah salah satu hal terpenting dalam hidupnya. 

Salah satu contohnya adalah saat ini.

Sienna merasa hatinya menghangat dengan kebahagiaan yang meluap saat menyaksikan penampilan band Ezra yang diberi nama The Sixth Sense. Ia tidak pernah meragukan keahlian Ezra dalam bermain gitar. Ezra bermain bak gitarist profesional yang tidak pernah berhenti memukau semua penontonnya termasuk Sienna sendiri. Ketampanan dan pesonanya terpancar saat jari-jarinya berdansa diatas senar gitar dengan lihai.

Oh, jangan lupakan senyumnya.

Ezra selalu tampak bahagia ketika kedua tangannya sudah menyentuh senar gitar, seolah benda itu sudah menjadi bagian dari dirinya. Sienna tahu itu, kalau menjadi gitarist adalah impian Ezra sejak kecil. Dan Sienna akan selalu mendukungnya, asal itu membuat Ezra bahagia. 

"Gila! Ganteng parah cowok lo, Si! Nggak boong gue!" seru Nata tiba-tiba, satu-satunya sahabat Sienna yang masih setia menemaninya dari kelas satu.

Sienna kontan menyikut Nata. "Ih, Nata, dia bukan cowok gue."

"Lah, diaminin dong! Gimana, sih?" sahut Nata optimis.

Tanpa bisa dicegah, seulas senyum pelan-pelan mengembang di wajah Sienna. Amin. "Iya, iya. Udah gue aminin dalam hati."

"Nah, gitu dong." Nata kembali memusatkan perhatiannya kedepan. Begitu juga dengan Sienna.

Ternyata, lagu pertama sudah selesai dinyanyikan entah sejak kapan—keduanya tidak menyadari. The Sixth Sense sedang mempersiapkan diri untuk menyanyikan lagu selanjutnya, sementara suasana di lapangan masih ramai dengan gadis-gadis remaja penggila cogan yang tidak sabar menanti untuk penampilan selanjutnya.

Termasuk Sienna dan Nata yang berdiri tepat ditengah kerumunan.

"Sebenarnya gue nggak abis pikir, deh," Nata berujar tiba-tiba. Sienna menoleh. "Kenapa sih lo susah banget buat ajak obrol dia?" tanya Nata tidak habis pikir. "Secara lo itu rumahnya sebelahan, orang tua lo sama dia sahabatan, dan dari sd sampai sma lo selalu satu sekolah sama dia. Aneh aja gitu, kalau kalian nggak pernah berinteraksi."

Sienna lantas tersenyum masam, kemudian melayangkan pandangannya ke Ezra. "Lo pasti tahu kan kalau gue orangnya pemalu akut. Jadi mana mungkin gue ajak obrol dia duluan. Dan Ezra," ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "mungkin memang selama ini dia gak pernah tertarik sama gue, Nat. Even ngelirik gue aja gak pernah. Di mata dia gue itu invisible. Gak keliatan."

Your Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang