CHAPTER 12

4.3K 272 13
                                    

Hujan turun diminggu pagi. Memaksa warga Tegal Sari untuk beristirahat dirumah, menghentikan pekerjaannya diladang untuk sementara. Kecuali mungkin bagi warga yang bekerja di perkebunan kakao, mereka harus tetap pergi atau bulan depan tidak gajihan. Saya sedang menyaksikan berita di televisi, bapak sedang menikmati kopinya diteras depan. Sedangkan ibu dia sibuk dengan cuciannya di kamar mandi.

Hujan turun dengan lebatnya. Dari arah luar terdengar percakapan. Ketika saya menengok kearah jedela kaca, saya melihat bang Burhan sedang berbincang dengan bapak. Tubuh bang Burhan terbalut jas hujan, dari wajahnya tampak dia sedang tergesa-gesa, seperti sedang mengabarkan sesuatu yang sangat darurat.

Setelah itu bang burhan kembali pergi, lalu bapak dengan terburu-buru masuk kedalam rumah. Saya tidak bertanya karena melihat raut wajah bapak yang tampak serius. Bapak mengambil jas hujan dan sepatu karetnya. Tanpa sepatah katapun bapak pergi dengan langkah kaki terburu-buru.

"Mau kemana bapakmu ?" Tanya ibu.
Saya hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban, lalu ibu kembali kekamar mandi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan saya larut kembali tenggelam dalam acara televisi.

..................................................................

Mungkin saya tertidur ketika menonton televisi tadi, saat saya bangun hujan sudah reda. Dan saya lihat dirumah tidak ada siapa-siapa. Mungkin bapak belum pulang, tapi kemanakah ibu pergi. Saat saya keluar rumah, diluar sudah sangat ramai. Banyak orang-orang yang sedang berkumpul dijalan. Mereka tampak berbisik-bisik, namun saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Belum sempat saya keluar dari teras dan bertanya, dari kejauhan terdengar sirine mobil polisi terdengar. rombongan yang terdiri dari tiga mobil itu lewat begitu saja dijalan. Kemudian warga bersorak meneriaki mobil tersebut. Saya semakin tidak mengerti saja.

Setelah mobil itu pergi, tampak rombongan pak lurah dan warga termasuk bapak sedang berjalan. Warga mulai riuh menghampiri mereka, lalu pertanyaan-pertanyaanpun terlontar dari mulut para warga.

"Selama ini saya memang sudah curiga"

Saya semakin tidak mengerti, lalu pelan-pelan saya mencoba mendekati kerumunan warga yang sedang berbincang tersebut. Barulah saya tahu perihal semua penyebab keramaian ini. Bang Ratmo ditangkap oleh polisi, katanya dia diduga membunuh teh Ratmi, hanya itu kabar yang saya dengar, tidak ada lagi kelanjutannya.
Hujan kembali turun dengan tiba-tiba dan memaksa warga membubarkan diri dan pulang kerumahnya masing-masing.

"Itu baru dugaan." Kata bapak setelah sampai dirumah dan berbincang dengan ibu.

"Soalnya tidak ada orang yang dicurigai polisi selain suaminya. Memang kasus pembunuhan itu pelakunya tidak akan jauh-jauh dari disekeliling korban katanya. Alasan Ratmo pun yang mengatakan bahwa malam itu Ratmi pergi dari rumah, tidak ada saksi yang bisa membenarkannya." Lanjut Bapak.

"Terus kalau kematian nenek Isur pak ?"

"Kalau itu Bapak juga tidak tahu, tapi polisi sedang menyelidikinya. Mungkin saja nenek Isur juga dibunuh. Tapi kalau mengingat dia itu ibunya, mana mungkin Ratmo melakukannya juga."

"Dunia ini sudah gila pak, memang bapak ga pernah liat berita. Antar keluarga saling membunuh bukan hal yang aneh lagi sekarang ini." Kata ibu.

"Ratmo ditangkap polisi tanpa perlawanan, dia Nampak seperti orang kebingungan. Entahlah bapak juga tidak tahu, apa itu bentuk kesedihan karena kehilangan semua orang terdekatnya atau itu bentuk penyesalan akan perbuatannya."

"Lalu apa motif bang Ratmo membunuh istrinya pak ?" ibu mungkin penasaran.

"Dugaan polisi katanya ketika ia meminta ijin pak lurah untuk melakukan penangkapan. Malam itu mungkin saja Ratmo bertengkar hebat dengan Ratmi."

"Tapi bukankah kalau mereka bertengkar ada tetangganya yang mendengar Pak ? tapi menurut orang-orang yang tinggal disekitar rumahnya bukankah keluarga mereka harmonis-harmonis saja."

Bapak tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Terlalu banyak kejanggalan yang belum ia mengerti.

"Mungkin karena kejadiannya malam, jadi tetangganya sudah pada tidur bu." Aku mencoba asal jawab.

"Lalu alasan Ratmo melakukannya ? dan bagaimana kejadiannya ?" Tanya Ibu.

"Mungkin nanti kita akan mendapatkan jawabannya, setelah Ratmo mengakui semua perbuatannya. Biarkan Polisi bekerja bu, kita harus percaya sama mereka."

.....................................................................................

Malam hari setelah penangkapan bang Ratmo, warga Tegal Sari kembali dibuat geger. Teh Dewi hilang, ia kabur dari rumah lagi. Terpaksa malam itu bapak kembali menemui pak Lurah. namun saya tidak bisa ikut, mengingat malam itu hujan masih deras saya harus menemani ibu dirumah.

"Kok teh Dewi bisa kabur lagi bu, bukannya waktu kita kesana dia itu diikat dikamar sama ibunya ?"

"Tidak tahu, mungkin saja dia berhasil melepaskan ikatannya."

"Sebenarnya penyebab dia gila kenapa sih bu ? kalau Cuma diganggu hantunya teh Ratmi, bukannya banyak orang lain juga diganggu. Tapi tidak sampai gila."

Ibu tidak bisa menjawab pertanyaan saya, dia hanya menggelengkan kepala. Diluar hujan masih lebat, sesekali terdengar suara gemuruh halilintar.

Menjelang jam dua belas malam bapak belum juga pulang. Saya masih asik menikmati acara televisi, sedangkan ibu sudah terlelap dikamarnya. Hujan juga sudah mulai reda namun tidak sepenuhnya berhenti, masih terdengar suara rintik-rintik air diatas genteng. Namun suara petir tak henti-hentinya menggelegar.

Dari berisiknya suara hujan terdengar samar-samar suara teriakan perempuan. saya sempat menduga itu hanya telinga saya saja yang tidak beres, namun suara itu kembali terdengar. saya hendak keluar untuk mengeceknya namun saya urungkan, mengingat ini sudah jam dua belas malam.

Keesokan harinya gosip-gosip dari warga mulai hangat. Ternyata yang mendengar suara jeritan wanita semalam bukan Cuma saya, tapi juga banyak warga lainnya. banyak orang yang tidak bisa tidur juga seperti saya setelah mendengar suara tersebut.

Bapak semalam pulang jam 4 pagi, namun teh Dewi belum ditemukan. Hingga sekarang pencarian masih dilakukan, warga bergantian, menyisir setiap bagian kampung untuk mencari informasi, semua tukang ojek di introgasi, kalau-kalau mereka pernah mengantar seorang perempuan keluar kampung.

Sehabis pulang sekolah, dengan mata sembab karena semalam kurang tidur saya ikut mencari membantu keberadaan teh Dewi bersama bapak dan beberapa warga lainnya. kami mencari ke perkebunan kakao yang luasnya entah berapa hektar saya tidak bisa memastikan. Semalam ditemukan sandal yang diduga milik teh dewi diperkebunan ini katanya. Makanya pencarian fokus disekitar sini.

"Kok ikatan si dewi bisa lepas ?"

"Kata ibunya, semalem dewi terus menangis. dia terus meminta maaf pada ibunya, dia berjanji akan menceritakan penyebab semua ketakutan yang dialaminya selama ini. Karena tidak tega ibu si Dewi melepaskan ikatan tangan dan kakinya. Setelah dilepaskan dewi meminta makan karena lapar. Eh.. pas ditinggal sebentar ke dapur dia kabur lewat jendela."

"Jam berapa kejadiannya kang ?"

"Kata ibunya jam 9 maleman atau sepuluh, sekitar jam segituan." Jawab bapak.

Dalam pencarian ini kami ditemani seorang mandor perkebunan, karena kami takut tersesat saking luasnya perkebunan ini. Si mandor dengan sabar mangajak kami menyusuri setiap bagian sudut yang tersembunyi yang sangat strategis untuk dijadikan tempat persembunyian, dia bukan asli warga Tegal Sari. Dia berasal dari luar kecamatan.

"Mungkin si Dewi kabur lagi ke kabupaten."

"Mana mungkin, dia tidak bawa apa-apa seperti waktu itu. Bahkan tukang ojek yang ditanyaipun ga ada yang tahu. Tapi kalau jalan kaki, bisa jadi sih.. tapi ga kebayang aja kalau dia jalan kaki malam-malam."

"hiyyy merinding saya membayangkannya, apalagi kalau dia ketemu si Ratmi dijalan."

"Tapi saya takut kang, jangan-jangan si dewi nanti Ditemukan gantung diri. Ingat, sudah dua warga kita yang meninggal tidak wajar. Mungkin kampung kita memang sudah kena kutukan."

"huss kamu jangan ngomong sembarangan." Kata bapak.

"Yahh pasti kang, kan tahu sendiri sebelum kematian nenek Isur, ada beberapa warga yang melihat bola api berekor bereliaran dikampung."

"Wah, bola api ?" Tanya si Mandor yang sedari tadi diam, akhirnya tertarik untuk ikut ngobrol.

"Kenapa ?"

"Saya ini dari daerah jawa bapak-bapak, kalau bunuh diri dan bola api itu mirip kejadian yang sempat heboh disalah satu daerah saya, namanya pulung gantung. Bunuh diri selama ini diduga karena si pelaku mengalami depresi atau tekanan mental. tapi banyak dari warga saya yang mempercayai bahwa penyebab gantung diri itu ya si bola api itu, katanya itu seperti kutukan atau ketiban sial, orang yang rumahnya kejatuhan dengan tidak sadar akan melakukan gantung diri. Dan itu bisa menular kalau hawa negatifnya tidak ditangani dengan baik."

"Tapi mana mungkin kejadian didaerah bapak terjadi juga di daerah saya pak." Bantah bapak.

"Mungkin saja kang, kan sudah dua orang yang meninggal dengan cara yang sama." Jawab bapak-bapak, mereka setuju dengan si mandor.

"Tapi si Ratmo kan sudah ditangkap, dia pelakunya. Ya walaupun Cuma baru sekedar dugaan." Jawab Bapak.

Obrolanpun tidak berhenti sampai disitu dan nampaknya semakin seru saja. si mandor mulai bercerita beberapa kasus gantung diri yang tidak masuk akal menurutnya yang pernah terjadi didaerahnya dulu. Namun ditengah obrolan mereka, saya merasa khawatir, bagaimana kalau ucapan salah satu warga tadi benar bahwa teh Dewi gantung diri.

Tidak terasa pencarian yang malah diisi dengan obrolan ini telah membunuh waktu dengan cepat. Ketika si mandor melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukan jam lima sore. Karena ini jadwal si mandor pulang, dia meminta kepada bapak-bapak sebaiknya untuk sementara menghentikan pencarian, kalau besok mau dilanjutkan dia bersedia untuk membantu lagi katanya.

...........................................................................

"Dari arah sana.. iya dari arah sana" teriak bang Burhan.

"Astagfirulloh ayoo cepet kesana, kamu lapor pa lurah sambil kasih tahu bapak-bapak lainnya." perintah bapak.
Saya segera berlari menuju rumah pak Lurah.

Malam itu ketika saya pulang ngaji kemudian nongkrong sebentar dipos ronda bersama bapak, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita. Suaranya sangat membahana, suara itu persis seperti kemarin malam. Bapak-bapak yang yang sedang berkumpul sontak kaget dan berhenti dari obrolannya. Kemudian suara itu terdengar lagi, seperti orang kesakitan.

Ketika bapak-bapak ini keluar pos dan melihat-lihat disekitar jalanan untuk memastikan suara tersebut, dari kejauhan tampak sesosok tubuh terbang. Warga yang kaget langsung menunjuk-nunjuk sambil berteriak.

"Itu ada yang terbang kang."

"Astagfiruloh..Astagfiruloh.."

Tubuh tersebut tampak seperti sosok wanita, karena warga bisa melihat rambutnya yang tergerai panjang. Tubuh itu melayang dikegelapan entah menuju kemana, diikuti suara teriakan.

"Itu si dewi." Teriak seorang ibu sambil berlari dari arah jasad itu terbang.

"Ayo cepat kejar, malah bengong." Perintah bapak.

Setelah itu saya tidak tahu lagi apa yang terjadi, karena saya disuruh bapak untuk memberitahukan kejadian ini sama pak Lurah. namun ketika saya berlari menuju rumahnya, kami berpapasan dijalan, rupanya pak Lurah juga mendengar suara teriakan itu, dan hendak menuju pos ronda untuk bertanya.

"Tadi yang lain menuju kesana pak Lurah, kayanya ke lapangan desa." Kata saya sambil menunjuk arah.
Kami berdua berjalan tergesa-gesa, saya jalan setengah berlari meninggalkan pak lurah dibelakang yang tampak kecapean.

Setelah kami hampir sampai di lapangan desa, ternyata disana sudah ramai banyak warga, entah ada apa, tampaknya warga sedang mengelilingi sesuatu.

"Itu pak lurah disana." Teriak saya.

Ketika saya sampai disana didepan para warga tampak teh dewi sedang duduk tersungkur. rambutnya berantakan, penampilannya sangat berbeda, yang biasanya selalu terlihat cantik dengan solekan bedak dan lipstik tapi malam ini begitu dekil. suara isak tangis terus terdengar, namun tidak ada satupun warga yang berani mendekatinya. Kenapa ? karena disampingnya terlihat sosok wanita mengenakan daster merah dengan motif kembang-kembang, wajahnya terlihat pucat dengan hiasan urat-urat biru disekeliling wajahnya. Matanya tampak cekung dengan bulatan hitam disisinya. Bibirnya tampak kering dan hitam. Namun yang paling jelas, bekas jeratan dilehernya terlihat. Semua orang tampak familiar dengan sosok itu.

"Jangan mencoba kabur lagi, ceritakan semuanya pada mereka Dewi." Kata sosok disamping teh Dewi tersebut.

Semua warga terdiam, bersiap mendengarkan kata yang akan keluar dari mulut teh Dewi. Sambil mencoba menahan tangisannya, teh Dewi mencoba berbicara. Tapi terlihat tangan dan kakinya gemetar, mungkin dia sedang ketakutan.

"Ceritakan !!!"

Gantung DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang