CHAPTER 1

11K 435 19
                                    

Pagi hari didesa tegalsari tempat dimana saya tinggal, sekitar jam setengah tujuh, warga desa digegerkan oleh penemuan sesosok mayat perempuaan di perkebunan kakao milik pemerintah. Saya yang waktu itu berniat ingin berangkat sekolah, malah ikut rombongan warga yang berbondong-bondong untuk melihat kejadiannya. Dijalan tampak mobil polisi dan suara sirine ambulan yang meraung-raung melewati kami.

Benar saja ketika sampai disana, mayat seorang perempuan yang menggunakan daster motif kembang-kembang tergantung dengan leher terikat seutas tali plastik disalah satu pohon rambutan, persis didepan pintu masuk menuju perkebunan. Untuk pertama kalinya saya melihat adegan tersebut, membuat saya merinding dan memalingkan muka.

Untunglah saya tidak sempat melihat wajah mayat perempuan itu, karena saya melihatnya dari arah samping, dimana wajahnya tertutup rambut yang tebal dan panjang.

"siapa, siapa, siapa ?"

"astagfirulloh, itu si Ratmi" ucap salah satu warga menjawab riuhnya pertanyaan warga yang datang.

Ternyata mayat itu teh Ratmi. rumahnya masih satu RT sama saya, ketika pulang ngaji saya selalu lewat depan rumahnya.

"pa kasian ini diturunkan saja." Kata salah satu warga

Tapi rupanya warga yang ingin menurunkan mayat teh Ratmi dilarang oleh pak polisi, entah apa alasannya saya belum terlalu mengerti. Hanya terlihat beberapa orang berjaket kulit tampak sibuk, ada yang mengambil foto mayat teh Ratmi, ada juga yang menyisir disekitar tempat kejadian.

Setelah sekitar 5 menit, mayat baru diturunkan polisi dibantu beberapa warga. Begitu mayat diletakan diatas tanah. Dari jauh terdengar suara raungan seorang laki-laki dan perempuan.

Rupanya itu bang Ratmo suaminya dan nenek isur mertuanya. Mereka berdua berlari menyibak kerumunan, kemudian memeluk tubuh teh Ratmi yang sudah membiru dan terbujur kaku. Suasana ngeri sekaligus haru langsung menyelimuti.

Sempat terjadi perdebatan ketika mayat Teh Ratmi hendak dimasukan ke kantong mayat oleh polisi, bang Ratmo menolak mayat istrinya dibawa kerumah sakit untuk di otopsi, beberapa orang yang dianggap tetua didesa kami juga ikut membela bang ratmo.

Otopsi atau memperlakukan tubuh orang mati dengan menyayatnya hanya akan menyakiti arwahnya dialam sana, begitulah kepercayaan warga desa kami. Bukankah dalam agamapun otopsi itu sebenarnya tidak diperbolehkan. Lagian otopsi akan membutuhkan banyak biaya, bang Ratmo tentu saja tidak punya uang untuk membayarnya.

Setelah berunding dan kedua belah pihak sepakat, akhirnya mayat Teh Ratmi polisi serahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga tanpa melewati proses, dengan dugaan murni bunuh diri. Tubuhnya dibungkus oleh beberapa kain samping (selembar kain bermotif batik berukuran panjang). Dibantu 2 orang warga mayat itu kemudian dibawa pulang untuk dimakamkan.

Kerumunan warga masih belum sepi, malah datang tambah banyak, obrolan-obrolan warga yang berpotensi menjadi gosip kacanganpun mulai terdengar. Dan sial, ketika melihat jam tangan waktu sudah menunjukan jam setengah delapan, saya terlambat sekolah.
....................

Waktu dimalam hari ketika saya selesai pulang ngaji sekitar jam 8 dan ikut nimbrung dipos ronda bersama bapak-bapak, disana ada bang Usman orang yang pertama kali menemukan tubuh teh Ratmi. bersama anak-anak lainnya saya jongkok dengan seksama mendengarkan obrolan.

Menurut cerita kang Usman, dini hari menjelang jam 2 malam ia terbangun untuk sholat tahajud. Dalam keadaan yang masih setengah sadar, dia menyalakan sebatang roko kretek untuk mengusir kantuk.

Ketika bang Usman menuju dapur untuk membuat kopi, sayup – sayup dari arah luar terdengar suara langkah kaki. Menurut Bang Usman waktu itu dia sempat heran, mendengar suara orang jalan ditengah malam seperti itu, dia sempat berasumsi bahwa itu maling dan hendak mengeceknya.

Namun niatnya ia urungkan, karena ingat waktu itu adalah malam jumat kliwon. Menurut selentingan cerita-cerita warga bahwa di perkebunan kakao itu banyak hantunya. Memang katanya ada bagian dari perkebunan kakao ini yang dulu adalah bekas kuburan orang-orang yang tidak dikenal korban pembantaian dijaman pak harto. Kebetulan rumah bang Usman berada persis disebrang jalan pintu masuk perkebunan.

Mungkin karena saking takutnya, bang Usman malah kembali ke tempat tidur dan sholat tahajud yang ia rencanakan sebelumnyapun batal. Sekitar jam 4 pagi dia kembali dibangunkan oleh suara adzan. Walaupun sisa-sisa ketakutan masih ada, dengan masih mengenakan sarung dia hendak membuka-bukakan gorden dan jendela rumahnya.

Ketika membuka gorden rumah, sesuatu yang ganji terlihat disebrang jalan. Seperti setumpuk karung yang tergantung, menurut kang Usman waktu itu. Penglihatannya masih belum sempurna karena keadaan masih benar-benar gelap gulita.

Entah atas dorongan apa, waktu itu bang Usman malah mengambil senter dan memutuskan untuk mengeceknya. Dari depan terasnya ia arahkan senter kearah perkebunan, dan alangkah kagetnya ketika lampu senter yang ia sorotkan persis kearah sesosok wajah yang tampak mengerikan, mata yang melotot sempurna dengan biji mata menonjol dengan lidah yang terjulur keluar. Bahkan urat-urat kecil berwarna birupun menghiasi wajah mengerikan itu.

Sontak bang Usman gelagapan setelah menyadari bahwa pemandangan yang sedang diamatinya adalah sesosok tubuh perempuan yang sedang tergantung. Dia sempat berteriak memanggil-manggil istrinya namun suaranya tidak keluar.

"tubuh saya keringetan, jantung berdegup sangat kencang sampai saya kira mau pecah waktu itu..hihhh. sampai sekarang saya masih terbayang wajah Ratmi dikepala saya.. hihh." ucap bang Usman kepada kami yang mendengarkan.

Menurut bang Usman, yang saat itu dalam keadaan setengah sadar karena ketakutan setengah mati dia mencoba berlari menuju rumahnya untuk memanggil sang istri. tanpa diberi tahu kepada si istri apa yang terjadi, dengan setengah berteriak ia memerintahkan istrinya untuk memanggil pak lurah datang kerumah.

"emang sekarang situ ga takut man, biasanya arwah yang mati disuatu tempat jadi hantu penunggu. Apalagi itu persis disebrang rumah kamu..hiyy merinding saya" Ucap salah satu teman bang Usman.

"takutlah, makanya saya sama istri untuk sementara nginep dirumah mertua."

Begitulah obrolan digardu pos ronda, hingga akhirnya kami semua bubar setelah mendengarkan kang Usman. Tentunya dengan wajah-wajah yang pucat setelah mendengar cerita seram tadi, mungkin semua orang yang mendengar cerita kang usman malam ini akan bermimpi buruk.
...........................

Sesampainya dirumah ibu dan bapak masih menceritakan perihal teh Ratmi, sungguh saya dibuat gelisah, antara takut mendengarkan dan penasaran. Akhirnya saya ikut nimbrung juga bersama mereka, mau tak mau pengantar tidur malam ini akan sangat menyeramkan.

Kata bapak yang ikut datang melayat kerumah teh Ratmi. mayat yang ditemukan pagi hari tidak langsung dikuburkan, karena harus menunggu keluarga teh Ratmi datang. ibu teh Ratmi ada diluar kota, dan celakanya lagi keluarga teh Ratmi termasuk ibunya baru dikabari setelah tengah hari.

Warga termasuk kepala desa tak bisa mengambil keputusan, karena dari suara telpon terdengar suara isak tangis ibu teh Ratmi yang memohon untuk tidak dikebumikan dulu sebelum dia datang, katanya ia ingin melihat wajah anaknya itu untuk yang terakhir kalinya.

Menjelang sore, ibu teh Ratmi belum juga datang. padahal langit di desa tegal sari sudah mulai gelap tertutup awan. Tanda-tanda hujan sudah mulai terlihat, gerimis-gerimis kecil dari tadi turun kemudian berhenti, terus seperti itu.

"sebenarnya semua warga merasa kasian pada jasad Ratmi, tapi lebih kasian lagi kalau seandainya ibunya tidak bisa melihat wajah anaknya untuk yang terakhir kali." Begitu ucap bapak.

Sekitar jam setengah enam sore, dimana gerimis mulai membesar rombongan keluarga teh Ratmi baru datang. kemudian suara isak tangispun kembali terdengar riuh diantara suara hujan. Setelah sepakat dengan bang Ratmo, jasab teh Ratmi akan dikebumikan setelah sholat magrib.

Hujan masih belum berhenti, tapi tidak mungkin membiarkan jasad teh Ratmi dikuburkan esok hari begitu menurut bapak. Perjalanan menuju pemakaman umumpun cukup jauh harus melewati sawah dan menyebrangi sungai. Apalagi menurut laporan orang yang tadi siang menggali kubur katanya liang lahat itu kini terendam air.
Baru menjelang jam setengah tujuh hujan mulai reda walaupun tidak sepenuhnya berhenti karena masih gerimis. Akhirnya bang Ratmo mengusulkan agar istrinya dikubur dikebun miliknya saja yang letaknya tidak terlalu jauh. Karena katanya air sungai meluap akibat hujan dan sulit untuk disebrangi.

Maka malam itu, dimana bapak saya juga ikut mengantarkan, mayat teh Ratmi dibawa diatas keranda, dengan diterangi lampu petromax menuju kebun untuk dikuburkan. Liang lahatpun dipersiapkan secara dadakan, baru digali setelah mayat datang.

Menurut bapak itu proses penguburan terlama yang pernah ia datangi sebelumnya. Akhirnya malam itu penguburan selesai, kini tubuh teh Ratmi telah terbenam dibawah tanah. Namun suara tangisan ibunya terus terdengar, entah menangisi kepergian anaknya atau menangisi nasib anaknya yang harus mati mengenaskan.

Setelah kematian teh Ratmi, mungkin memunculkan banyak pertanyaan dihati para warga, bagaimana kronologis kematiannya ? dan tentu saja apa alasan dia nekat mengakhiri hidupnya.


Gantung DiriWhere stories live. Discover now