BAB 16 Purnama

6.1K 467 54
                                    

Senyum sumringahku telah kembali sebab Purnamaku sudah bersinar lagi. Bahkan hingga subuh hari menjelang pagi. Secuap kata rindu menyapa hati meskipun hanya via telepon dari sang pujaan hati. Masih sangat pagi untuk sekedar mendengar kata manis.

"Bismillah untuk hari ini, By. Semoga lancar segala urusannya." Yang di seberang sudah siap mengakhiri. "Aku sudah dipanggil untuk mengecek persiapan apel pagi. Ingat, jangan bawa sepeda motor atau mobil ke kantor. Nanti sore aku jemput, sudah kuatur semuanya dengan Shandi."

Aku mengangguk, padahal ia tak bisa melihat anggukanku. "Siap, Letnan. Aku diantar Bang Raka hari ini."

"Ya asal bukan diantar Satria." Memulai lagi hal-hal yang sudah terselesaikan.

"Hishh..." Desahku langsung menutup telepon. Lelah sudah jika setiap saat harus mendebatkan soal Satria.

Bersiap lagi mematut diri. Harus datang lebih awal hari ini. Akan ada apel dan pekerjaan yang telah menanti.

"Dik, tadi Bu Shinta telepon katanya kamu habis berantem sama Sada? Iyakah? Kenapa kamu tidak cerita sama Mama? Terus sekarang gimana? Kalian enggak putus kan? Sudah baikan kan? Gara-gara polisi bernama Satria itu ya? Kamu beneran goyah, Dik? Kok kamu ngecewain Mama sih!" Cerocos Mama yang baru saja melihatku keluar dari kamar.

Semua orang yang sedang bersiap dengan aktivitasnya masing-masing seketika membatu seiring dengan kalimat yang dilontarkan Mama. Termasuk Mbak Anna yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Kalian putus? Setelah semua hari gila yang kalian lewati?" Bang Raka ikut bertanya padahal aku belum sempat menjawab berondongan pertanyaan dari Mama.

Mbak Anna menatapku tajam seolah dia sedang memintaku untuk segera menjawab.

Aku menghela napas panjang. "Tante Shinta bilangnya aku dan Sada habis berantem kan, Ma? Coba deh pahami kalimatnya. Mbak Anna harusnya mengerti juga, percuma dong lulus cumlaude dari pendidikan Bahasa Indonesia." Jelasku sambil memakai sepatu kerja berwarna hitamku.

"Habis..." Gumam Mbak Anna. "Berarti sudah selesai, Ma." Lanjutnya duduk di sebelah Bang Raka. Membawakan dasi yang belum sempat dipakainya.

"Ah, jadi bagaimana? Jangan memaksa otak tua Mama berpikir terlalu keras!" Seru Mama sudah tidak sabar.

"Mama tuh takut banget ya aku putus sama Sada?" Sambil tertawa, bukannya kasian sama Mama-nya yang begitu mendamba jawaban yang bisa membuat hatinya melega.

Mama memukul punggungku ringan. "Dasar anak nakal! Iyalah! Mama sudah menemukan yang terbaik selain Cesa! Kamu pikir mudah buat Mama beradaptasi lagi dengan Satria-Satria itu? Tidak akan mudah!" Seru Mama begitu emosional.

Aku langsung berdiri. Memeluk Mama dengan erat, penuh kasih sayang. "Kanya masih sama Sada kok, Ma. Barusan telepon kok, masih sayang-sayangan juga. Mama yang tenang ya? Kanya tidak akan meninggalkan Sada kok. Kecuali Satria memang bisa meluluhkan Kanya." Kataku diiringi kalimat menyebalkan bagi Mama.

"Kamu ya!" Memukulku lagi.

Hanya cekikikan dalam pelukan Mama.

Semua berjalan seperti hari biasanya, berkutat dengan komputer untuk persiapan penyuluhan di sekolah-sekolah. Pertama akan dimulai dari sekolah yang paling antusias, SMA Negeri 1 Karanganyar. Tempat Shandi menuntut ilmu saat ini. Namun acara masih dilaksanakan beberapa hari lagi. Materiku dan Satria juga belum begitu sempurna.

Waktu yang berjalan tidak akan sia-sia di hari ini, sebab aku benar-benar bekerja di depan komputer tanpa harus berlari-lari kecil menuju Mapolres yang sering kali hanya sekedar ngobrol dengan Satria. Inilah aku yang sebenarnya, manusia di balik layar monitor.

Purnama (#2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang