BAB 6 Purnama

6.1K 516 11
                                    

Matahari terpaku sempurna di tengah-tengah langit Kabupaten Karanganyar. Sinarnya menghitamkan kulit putihku. Apalagi di tepi jalan di emperan toko semacam ini. Panas sekali.

Menunggu seseorang yang katanya ingin menemuiku. Bukan Sada, dia jelas belum kembali dari medan tugasnya. Bukan juga IPDA Ksatria atau Satria tanpa K itu yang akan melaporkan beberapa akun provokator, dia jelas sedang sibuk menjadi juri lomba polisi cilik antar sekolah dasar di GOR RM Said sekarang.

Ya, hari ini aku akan menemui Shandi. Adik kandung Sada yang jauh-jauh datang dari Semarang. Katanya ada hal yang harus dia urus dan butuh bantuanku.

Lama sekali aku menunggunya, hingga pegal rasa kaki berdiri di atas sepatu berhak 5 cm ini. Apalagi dengan seragam khas pegawai negeri juga rok semacam ini. Memang ya, antara kakak dan adik itu mirip. Sama-sama suka telat kalau janjian.

"Mbak Kanya." Panggil suara dari sisi kanan.  Berjalan begitu semangat ala anak ABG alay dengan menenteng tas ransel di tangan kanannya. Kucing nakal plus aneh. Bukannya tas ransel berada di punggung justru di tenteng.

"Sudah jam berapa coba?" Seruku kesal ketika dia sampai di hadapanku sambil terengah-engah.

"I'm so sorry, Kakak Ipar." Serunya santai sekali. Memang kata-katanya menunjukkan rasa bersalah, tapi lagaknya tidak. "Jalanan Surakarta macet parah." Keluhnya meletakkan tas ransel besar secara sembarangan.

"Jalanan Surakarta yang mana?" Tantangku.

"Slamet Riyadi lah!" Jawabnya cepat. Sayang sekali jawabannya sedikit tidak masuk akal.

Aku tertawa terbahak-bahak ketika mendengar jawabannya. "Slamet Riyadi? Haha." Masih mentertawakannya.

"Iyalah!" Jawabnya dengan percaya diri.

"Kamu dari Terminal Tirtonadi kan ya?" Tanyaku menahan tawa.

Shandi mengangguk.

"Kamu di perjalanan enggak sambil main mobile legend kan, ya? Kalau kamu lewat Slamet Riyadi ya kamu muterlah namanya. Gini, kamu tinggal lurus ke timur aja sampai tapi kamu pilih ke barat dulu, ke selatan terus ke timur lagi lurus terus. Muter enggak tuh?"

Kebingungan. "Perasaan sih tadi lurus terus, Mbak. Ya tahulah jalan apa itu, kan setahuku jalanan di Surakarta itu cuma Slamet Riyadi. Asal nyeplos aja ternyata salah." Menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Dasar!" Mengacak-acak rambut hitamnya. "Lain kali kalau mau buat alibi keterlambatan dipersiapkan dengan baik ya, Dik!" Semakin gemas.

Shandi hanya tertawa manis layaknya anak kecil yang diusap gemas oleh orang dewasa kesayangannya. Ya, kucing nakal ini terkadang memang menggemaskan sama seperti Kakaknya yang selalu bertingkah lucu dan menggemaskan. Aduh, rindunya aku akan Sada. Sudah berapa lama dia tidak memberiku kabar dan membiarkan aku setiap malam menahan tangisku.

"Mama sudah bilang kan sama Mbak?" Tanya Shandi membuyarkan kegemasanku padanya. "Maksudnya biar aku tidak perlu lagi menjelaskan ulang. Mulutku pegal sekali dari tadi diajak ngobrol sopir taksinya." Sambil memijat sisi mulutnya.

Shandi memang bukan anak yang banyak bicara kecuali dengan mereka yang sudah sangat dekat dengannya. Dia lebih banyak diam di dalam kamar, menikmati WiFi atau sekedar bermain game online.

"Iya, Mama sudah menjelaskan semuanya kok. Mbak juga sudah cari-cari kos-kosan yang cocok buat kamu. Ya, enggak sebagus kamar kamu sih, tapi nyaman lah." Ucapku merangkulnya, mengajak dia berjalan mendekati mobilku di area parkir tepi jalan Lawu Karanganyar.

"Asal ada WiFi-nya pasti nyaman, Mbak." Candanya.

Menggelengkan kepalaku heran. Anak zaman now banget ini mah. Apa-apa WiFi. Jadi lupa segalanya karena WiFi.

Purnama (#2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang