Saudara dari Nenek

169 4 2
                                    

Hanya diterangi lampu motor dan cahaya smartphone dalam genggamanku. Bintang nampak malu-malu, bahkan bulan acuhkan kami yang tenggelam dalam kegelapan. Deru motor terhenti. Aku masih sibuk menamati kotak ajaib milik kekasihku. 

"Kita sudah sampai. Jangan sibuk dengan HP-ku terus," kata Hendra.

Aku pun turun dari motor dan masih mengotak-atik HP milik Hendra. Langkahku terhenti, "ini ada pesan dari Novi. Dia siapa?"

Agak gugup Hendra menjawab dia adalah saudara dari Neneknya yang ada di Wonogiri. Akan tetapi aku sedikit bingung.

"Iya eyang," begitu balasan dari kontak bernama Novi tadi. Lantas mengapa memanggil Hendra dengan sebutan "eyang"? Ah, sudahlah! Kemarin kami sudah berjanji untuk saling setia dan percaya. Baiklah, semua akan baik-baik saja. Aku pun masuk ke dalam toko, mengambil beberapa bungkus makanan ringan dan minuman, lantas aku kembali menuju parkiran. Dari dalam kudapati Hendra asyik mengetik, seakan-akan membalas chat, tapi kembali lagi aku berusaha percaya padanya. 

Kami menyusuri jalan agak cepat, sebab ini sudah menunjukkan pukul 19:00 WIB. Sepanjang jalan Hendra lebih banyak diam. Aku pun. Ku dongakkan kepalaku, hemmmm. Bulan seperti menghela napas, betul-betul sesak tertutup mendung. Aku pun.

***

"Saudara Nenekku yang kemarin berkunjung ke rumah."

"Oh, baiklah. Tidak apa."

"Kamu bisa kan berangkat sendiri? Kasihan dia sudah jauh-ja...."

Peeett! Telepon sudah putus, tepatnya ku putus. Hatiku jengkel, tapi bisa apa? Bisa apa selain mematikan telepon dan berangkat ke kampus dengan naik bus, sendirian. Kami sudah sepakat esok berangkat bersama, namun sekonyong-konyong ia membatalkan sepihak hanya demi saudara dari Neneknya itu. Oh, aku lupa. Mereka bersaudara. 

Tarik napas, tahan, dan keluarkan. Satu kali, dua kali, hingga ke-10 kalinya, hatiku masih sesak. Menunggunya reda hanya akan menghabiskan waktu, maka kakiku mulai geram lalu berjalan. Pelan, agak cepat, dan makin cepat. Ternyata pagi ini tidak terlalu buruk, belum sempat menunggu bus aku sudah bisa menaikinya dan duduk di pojok belakang ruang bus. Lantas ku biarkan mataku terpejam, sejenak melupakan Hendra dan saudara barunya itu.

Sesampainya di kampus, pikiranku tetap berkutat pada Hendra. Sialnya, semua pekerjaanku menjadi terganggu. Bagaimana wajah saudaranya itu, dan aaah... aku ingin menangis sekarang juga. Perasaan ini memaksaku untuk pulang, segera. Di rumah pun aku masih terpikirkan olehnya. Jemariku sejujurnya telah gatal, sepucuk pesan ku layangkan ke nomor WA lelaki itu.

"Yang, aku sudah balik. Kita bisa ketemu? Nanti aku ke rumahmu, ya?"

Belum juga reda sesak setadi pagi, sekarang bertambah. Hendra hanya membaca pesanku tanpa membalasnya. Dahiku mengernyit, apa yang terjadi padanya? Sesakku bertambah dengan khawatir. Terus saja aku hendak menambah pesan lagi, tapi jemariku terhenti, ada satu pesan masuk.

"Ndhuk, Hendra kecelakaan. Ini Ibu, Hendra sekarang di Puskesmas."

Jantungku, otakku, mataku, semuanya berhenti berfungsi. Hendra kecelakaan? Inikah mimpi? Sontak aku langsung menuju Puskesmas, tanpa peduli meski di luar mulai turun rintikan hujan. Aku berlari sekencang mungkin menuju tempat pemberhentian bus yang berjarak satu kilometer dari rumahku. Terengah-engah dan seakan ingin mati membayangkan keadaan orang terkasihku sedang dalam musibah. Ternyata kali ini waktu begitu kejam, aku menunggu bus sudah hampir 15 menit. Ia tak kunjung datang. Sabar tak berhasil mengalahkan khawatir yang ada. Aku pun berjalan menuju Puskesmas, sembari menunggu bus yang mungkin lewat. Tampaknya aku harus terus berjalan sebab di jalan yang biasa aku lewati sekarang sedang diperbaiki dan kendaraan dialihkan ke jalan yang lain. Sampai pada aku mengetahui hal itu, peluhku mengucur deras, berkawan dengan rintikkan hujan yang membesar, pun air mataku yang tak mampu kubendung.

"Ya Allah. Mengapa hari ini Engkau timpakan musibah padaku? Mengapa sulit sekali aku ingin mendekap orang yang aku cinta? Ya Allah, akulah hamba-Mu yang teraniaya waktu-Mu. Izinkan aku cepat sampai di tujuanku, dan lindungi Hendraku. Aamiin."

Tiba-tiba tetanggaku berhenti tepat di depanku. Ia menawariku tumpangan sampai ke Puskesmas, sebab tujuan kami sama. Tanpa keraguan sedikitpun aku naik ke dalam mobil miliknya. Dalam hati aku sangat bersyukur, ternyata doaku diijabah langsung oleh Allah. Meski masih cemas, hatiku sedikit lega, setidaknya aku akan segera sampai dan melihat kekasihku.

Sesampainya di depan Puskesmas, aku langsung berterimakasih dan menuju ruangan milik Hendra. Di sana aku temui Ibu terduduk lesu. Jantungku berdebar, langkah kakiku terhenti. Perlahan hati ini kupersiapkan, air mata ku seka, ketika aku benar-benar siap ku pegang pundak wanita paruh baya ini. 

"Ndhuk ..." kulihat dengan jelas, derai air mata membasahi pipi Ibu. Baru kali pertama aku melihatnya dan hanya sekejap karna ia langsung mendekapku, erat. Dalam pundakku, Beliau menangis sejadinya, aku pun. Pikiranku tidak karuhan, tapi tetap kucoba berdiri menemani Ibu, mendengarkan tangisannya. Setelah cukup lama, pelukannya mengendur. Kami duduk di kursi tunggu. 

"Ibu ada apa? Bagaimana keadaan Mas Hendra? Dia baik-baik saja, kan?"

Jangankan jawaban, sekadar menggeleng atau menganggukpun tak dilakukannya. Ia hanya menangis. Hatiku makin hancur, lantas ku putuskan untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangan yang disinyinyalir menjadi kamar rawat Hendra. Terkejut, tanganku ditarik oleh Ibu, seakan mencegah aku masuk. Hatiku lebih hancur, dan kulepas pelan tangan Beliau. Langkahku berlanjut dengan senyum tipis. Maka ia lepas sepenuhnya jemariku. 

Kala aku membuka pintu, aku bahkan tak yakin dengan apa yang kulihat. Inikah kiamat? Ataukah malaikat Izroil sedang berada di depanku? Ha! Mengapa jantungku seakan berdebar cepat lalu berhenti begitu saja? Mengapa kakiku melemas, apakah karena aku terlalu kencang berlari? Mengapa di sini mendadak dingin, betulkah nyawaku telah memisahkan diri dari ragaku? Apa Allah pun telah mengambil kebenaran dari penglihatanku? Ha! Mulutku, kaku. Mataku mengapa kau tak berkedip?

Hendra, bukan, lelaki dalam ruangan itu kudapati tengah mendekap erat wanita di depannya. Ia memang berbalut perban di kepalanya, namun nampaknya wanita itu terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan dan selang infus. Lebih parah agaknya. Lelaki itu tertunduk, seperti sedang menangis.

"Sayang, bangun! Jangan tinggalkan aku!"

Lirih, namun jelas ku dengar itu keluar dari mulut sang lelaki. Bahkan di jari manis mereka terlihat cincin emas melingkar pas. Sesegera mungkin aku mengumpulkan nyawa, aku mendekati ia. Benar, itu Hendra, yang beberapa menit lalu kekasihku, yang beberapa menit lalu menjadi kekhawatiranku. Bahkan dia tak sadar akan kehadiranku. Hujan di luar sana makin deras, gemuruh petir bersahutan. Namun di ruang ini hanya menyisakan isakan tangis Hendra, dan batinku.

Dengan sisa nyawa, aku berbalik arah. Aku meninggalkan mereka, berdua. Yakin, itulah saudara dari Nenek yang berkunjung tadi pagi. Yakin, itulah wanita yang menjadi pelabuhan akhir dermagaku. Dermagaku yang ternyata bukan lagi dermaga bagiku, melainkan dermaga bagi wanita itu. Pintu kamar tadi sempat terbanting, dan ku tinggalkan Ibu sendirian. Entah bagaimana tangisan Ibu dan bujukannya agar aku tetap tinggal, tak sedikitpun ku gubris. Aku menjauh, jauh dan semakin jauh dari Puskesmas, dari mereka. Entah nyawa ini akan bertahan sampai kapan, sebab aku paham betul ini hanyalah sisa. Bagaimana kapal yang hanya memiliki sedikit bahan bakar dan tetap nekat meninggalkan dermaga? Adakah yang lebih baik dari tertelan badai?

Hujan di sini teramat deras, pun dalam hatiku. Bukan. Hatiku sudah luluh lantak. Melebur, bersama hujan. Akulah kapal yang meninggalkan dermaga itu, dengan sedikit bahan bakar. Akulah kapal itu, yang tertelan badai kemudian.


Izinkan Dia KembaliWhere stories live. Discover now