Hujan Prasangka

299 4 11
                                    

Di sini, ku menanti jawabmu. Kala hati yang gundah mulai gelisah, karena tak sedikit pun rasa takut kehilangan ini tertidur. Perlahan ia mencekik tewas kepercayaanku. Di sini, masih ku nanti jawabmu. Ku pinta sejuta ketenangan, bukan kebenaran dari prasangka.

"Tiada realisasi dari kata "cinta dan sayang" milikmu itu! Lalu apa mungkin, anjing tiba-tiba menjilat orang asing tanpa diberi secuil daging?"

"Kami hanya bercakap seperlunya, lagi pula ini hanya emoticon, apa salahnya?"

"Hanya? Kau bisa menjamin itu "hanya" emoticon baginya, Mas? Wanita itu peka juga pengharap, kau pikir ini hal sepele?"

"Kami hanya membicarakan tentang pekerjaan, tidak lebih," lelaki itu terus mengelak.

"Pekerjaan? Apa wajar membicarakan pekerjaan setelah lepas Isya', bahkan hingga saling melempar emoticon?" aku hampir setengah menjerit. Sedangkan Hendra memilih diam.

"Kami hanya, kami hanya! Tak sadarkah Anda telah menyebut kata 'kami' untuk Anda dan wanita itu! Dasar wanita tidak tahu malu, harusnya dia menghargai Anda bila Anda telah memiliki pacar, dan itu adalah Saya!"

"OK, aku minta maaf," lelaki ini hampir putus asa. Akhirnya, diraihlah kedua telapak tangan gadis di depannya itu. Mendadak hening, rumah itu hanya berisikan mereka berdua. Rintikan hujan di luar rumah makin deras. 

"Aku tidak yakin bila dia akan menganggap ini hal sepele. Pastilah perhatianmu akan menghantui makannya, mandinya, bahkan tidurnya hingga terbawa mimpi. Harusnya kamu lebih menghargaiku, Mas!" sepasang tangan Hendra dilepas begitu saja. Lalu bibir itu tak berhenti mengoceh, tanpa menghiraukan lawan bicaranya. 

Brakk!

"Bisakah kau diam?! Bila ingin aku pergi, aku akan pulang sekarang," selepas menggebrak meja dan tanpa menunggu jawaban dariku, ia melangkah menuju pintu. Terengah dan setengah mendengus pun tiada salam terucap, punggungnya raib di antara rintikan hujan.

Sudah ku duga, akhirnya aku akan menangis. Inginku hanyalah dia tahu akan sesaknya dadaku, lalu apa yang ku dapat? Alih-alih peduli, dia justru pergi. Lantas aku mengejarnya? Ya, tentu. Layangan kata maaf menghujani WhatsAppnya sederas rintikan hujan yang menderu di balik jendela. Penyesalan, kini sudah waktunya terbit. Berjuta prasangka tentang wanita lain itu hadir kembali. Sejatinya memang aku yang salah, kataku lirih. Selebihnya tangisanku makin menjadi, sederas rintikan hujan yang menderu di balik jendela. Rasa takut kehilangan ini amat menyiksa, sungguh.

Laksana udara, Hendralah yang membuat jantungku terus berdetak. Tak peduli berpuluh kali teleponku yang ia reject, aku terus mengejarnya. Aku selalu ketakutan, membayangkannya pergi meninggalkan aku sendiri. Maka biarlah kulakukan apapun asal dia tetap bersamaku. Trauma 24 bulan lalu, membuatku tak berpikir ulang mengejar orang terkasihku. Lelaki yang 24 bulan silam mengisi hari-hariku pergi begitu saja karena keegoisanku, juga aku yang tidak memperjuangkannya. Manusia hendaknya selalu belajar dari kesalahan, begitulah kataku. Sebisanya aku menggenggam Hendra, lelaki yang jua 24 bulan silam datang mengulurkan tangannya, ialah yang membasuh luka serta menyeka sudut tangisku. Segalanya berubah, pelangi mampu Hendra datangkan hanya demi menghanyutkan kekelabuan memoriku. Pun aku hanyut dalam gelombang cinta yang selalu kami senandungkan, janji-janji setia yang kami ikrarkan, hingga komintmen membangun hidup bahagia bersama. Sekarang aku telah menyakiti hati seseorang yang telah menyembuhkan hatiku.

Hatiku sesak, prasangka tengah menggedor-gedor pintunya hendak keluar. Ketakutan yang menderu tiada reda, meski telepon ke-20 yang aku layangkan telah berbuah kalimat, "iya, aku maafkan". Silih berganti, bayangan wanita itu terbit. Dadaku makin sesak dibuatnya, air mukaku berubah merah. Dengan cepat ku raih layar 5 inchi canggih milikku, lantas dengan bantuan internet aku mengakses biodata lengkap dirinya. Kudapati salah satu akun pribadinya dalam sosial media. Bukannya puas, aku makin menyelami linimasa milik wanita itu. Nyatanya aku hanya mendapat luka baru, mataku sakit karna beresidu kurang lebih 3 jam. Di sisi lain hatiku makin sesak, dan kebencian pada wanita itu tiada mampu ku bendung. 

Entahlah, seluruhnya terasa rumit. Maka izinkan mataku terpejam barang sebentar, agar aku mampu kembali bersama Hendra. Ya. Azkya dan Hendra, tanpa ada campur tangan wanita itu. Hanyutlah asaku pada gelapnya malam, ku taruhkan sakit dan prasangkaku pada rintikan hujan yang belum jua mereda. Esok ia akan reda, pun jarak antara aku dan Hendra. Semoga.

Naluri seorang wanita, sekali dia bahagia maka hatinya akan melambung tinggi. Sedangkan suatu saat hatinya terjatuh, ia akan mengaduh, dan menunggu tangan lembut lain menyentuh. 



Izinkan Dia KembaliWhere stories live. Discover now