Note 7: Data Layer

Start from the beginning
                                        

Hari ini memang jadwal dia untuk checking mesin operasi. Itulah alasan kenapa dia datang ketempatku sekarang. Ia masuk lalu menelisik satu persatu baut yang mungkin sudah longar. Setelah dia masuk, kita hanya terfokus pada pekerjaan masing-masing tanpa melanjutkan percakapan awal tadi. Meskipun ada musik yang menemani namun terasa dingin tanpa percakapan. Kini yang terdengar ditelinga hanya kombinasi antara irama ketukan palu dan lagu havana milik Camela yang beriringan. Sebenarnya aku tidak terlalu begitu terganggu dengan suara ketukan itu, karena kita juga punya fokus pekerjaan masing-masing. Aku dengan komputerku dia dengan perkakasnya. Namun jika terdapat dua orang di dalam satu ruangan, apakah tidak canggung jika hanya terdiam saja? Aku bukanlah seseorang yang pandai memulai suatu percakapan, makannya sedari tadi aku hanya diam saja.

Sadar akan hal ini, Lukman menengok kearahku "Bagaimana progress pekerjaanmu zal?" suasana yang tadi dingin mendadak bersuara kembali setelah dia bertanya. "Ahh thanks god, dia nanya duluan!" pikirku girang.

"Entahlah, berkembang sedikit" ku ambil satu keripik snack lalu memasukannya kedalam mulut "Mungkin..."

Lukman hanya menaikan bahu lalu melanjutkan mengencangkan baut dihadapannya. "Semua memang perlu usaha keras, kau tau? hampir lima tahun aku belum bisa menyeselaikan alat ini hingga sekarang"

"Benarkah? selama itu kau tinggal di ruangan bawah tanah ini?" tanyaku.

"Sesekali aku keluar, tapi percuma" jawabnya tanpa melihatku kali ini.

"Percuma yah?" tanyaku kembali keheranan.

"Persetan dengan semuanya, apa yang bisa kau lakukan di luar rumah dengan kondisi Indonesia sekarang? main di taman? berenang di pantai? it's bullshit" kali ini nadanya sedikit meninggi, mungkin dia sangat kesal.
"really fucking bullshit" lanjutnya menggerutu pelan.

Indonesia yah, sejenak aku berpikir bagaimana suasana saat aku masih kecil. Orang-orang bebas main dimanapun mereka mau. Dulu masih banyak hamparan luas dan lahan kosong tempat kita bermain. Aku ingat permainan yang sangat aku senangi, dimana semua anak mengumpulkan semua sandal yang mereka pakai dalam satu lingkaran, lalu dijaga ketat oleh satu orang yang disebut 'kucing'.

Kini gedung tinggi tersebar dimana-mana menggusur lahan hijau tempat pengolahan oksigen berlangsung. Pasti yang orang lain pikir adalah gedung-gedung tinggi mewah seperti kota metropolitan pada umumnya. Namun imajinasi itu harus ditarik kembali, karena faktanya investor tidak mau menanam modalnya lagi dengan kondisi gas karbon monoksida dimana-mana seperti ini.

"Ohh iyah, apakah kau tau sesuatu tentang wizard, harajuku?" Tanyaku mengalihkan topik agar membuatnya tak kesal.

"Tau, tapi apakah aku boleh meminta sesuatu?"

"Benarkah? apa?" karena penasaran sontak aku memutar kursi berbalik ke arahnya.

"Bisa kau berhenti memanggilku harajuku? maaf itu seperti terdengar sedikit... rasis" sautnya meminta.

"Oowhh oke" jawabku salah tingkah
"Sorry, tapi aku lebih suka memangilmu seperti itu" bodoh, kenapa aku menambahkan!

"Huh sudahlah..." dia menghela nafas "Coba kau lihat ini sejenak"

Kulihat kini ia memegang obeng kecilnya kembali, lalu diarahkan pada sebuah baut yang sudah slek. Dia mencoba untuk mengencangkan baut slek itu. Namun setelah berulang kali ia putar baut itu tidak kunjung kencang juga.

"Permainan bodoh macam apa ini" pikirku.

Lukman hanya tersenyum melihatku yang sangat khusu melihat tangannya yang sedang berusaha memutar baut.

"Kau mau coba?" tawarnya.

"Sepertinya kau benar-benar harus pergi keluar dari sini sejenak. Keluar kota mungkin. Kau harus menghirup udara segar. Lima tahun berada disini membuat sistem sarap otakmu rusak" ketusku sinis

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 03, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hacker Vs WizardWhere stories live. Discover now