Prolog

37 7 3
                                    

Melupakan masa lalu tidak selamanya baik, karena kita belajar dari masa lalu. Tapi mengungkitnya juga bukan hal yang baik, terlebih bila meninggalkan bekas luka yang menganga.
-----------------------------------

Pagi itu Maya, Aya, dan Fira kebingungan setengah mati. Okta yang merasa di permainkan oleh teman-temannya mendadak ngambek. Biasanya omongan orang tidak ia pedulikan. Tapi ini beda. Ia merasa privasinya terusik.

"Maapin kite-kite dong neng. Jangan ngambek napa" bujuk Aya sambil menoel-noel pipi Okta. Namun pertahan Okta tak goyah. Ia tetap merajuk.

"Entar gue traktir mie ayam bang udin deh, tapi yang bayar Fira, gimana?" kata Maya, yang langsung di sambut jutek sama Fira. "Kok gue? Emang temen tukang meres ya lo." seketika Fira mendengus sebal.

Aya yang melihat langsung angkat bicara, "Eh kupret, lo pada tau diri dong. Temen sedih malah sibuk sendiri".

Ketiganya sadar bahwa bercanda mereka kali ini kelewat batas. Mereka tak sengaja menyentuh titik terlemah Okta.

Fira tak sengaja berkata, "Lah makanya punya bapak di sayang neng, biar ga pergi". Padahal mereka tahu bahwa ayah Okta telah meninggalkan ia dan ibunya sejak Okta berumur 9 tahun. Ayahnya memilih menceraikan ibunya dan menikah dengan wanita lain.

"Gue ga bakalan mau punya jalan hidup gini." Okta sudah terlanjur emosi dengan perkataan Fira. Ia langsung pergi ke toilet samping kelas. Ketiga temannya tahu, dalam keadaan seperti ini, Okta pasti sedang menangis di kamar mandi.

"Elu sih"

"Ga sengaja, sumpah. Gue nyesel"

"Kita kasih waktu buat okta sendiri dulu, baru kita bicarain baik-baik" kata Aya yang paling bijak menasehati Fira dan Maya. Ketiganya mencari cara agar Okta memaafkan mereka. Mereka tak sengaja.

Tak sengaja.
...
Bel berbunyi, tanda pelajaran hari ini sudah selesai. Pak Uki langsung keluar tanpa basa basi.

"Tuh guru gimana yaa, kaga ada etikanya" rutuk Arko yang di sambut gelak tawa oleh seisi kelas.

Tapi tidak dengan Okta.

"Maaf dong ta, ga sengaja. Sumpah!"

"Iya ta, kita janji ga bakalan gitu lagi"

Okta memandang ketiganya dengan malas, "Gue ga marah sama takdir gue, gue udah ga marah sama kalian, cuma please, gue ga mau kalian bawa-bawa dia lagi". Maya refleks mencubit pipi Okta, "Gitu dong dari tadi, janji deh ga gitu lagi. Kita tanpa lo, bagaikan serpihan upil neng".

Hii dalam keadaan dramatis sekalipun, Maya tetap terlihat jorok.

"Pulang bareng ya?" ajak Aya sambil tersenyum. Sumpah demi apapun, kalo Aya senyum gitu, cowok yang liat pasti jantungnya pada ngacir entah kemana. Dia itu bisa di bilang most wantednya SMA TUNAS BANGSA. Semua cowok dikelas aja ngaku pacarnya. Eh gak semua deng.

Di jalan, mereka berempat bertemu Tama. "Ta, pulang bareng gue yuk". Okta bingung harus menerima atau menolaknya. Dia ingin pulang bersama temen-temennya. Tapi dia tidak rela menolak tawaran Tama.

"Ih kutil onta, jawab napa. Mulut lo fungsi kan?" desak Maya. "Uhmm ng, gimana yaa" Okta benar-benar bingung harus memilih yang mana. "Mending lo terima, itung-itung ngirit ongkos, hehe" pikiran Fira mah gitu. Kalo bisa irit, ngapain ngeluarin duit.

"Iya iya, yaudah gue duluan ya. Bye ibu-ibu rempong"

"Tumben ngajak pulang bareng tam? "

"Pengen aja, mampir makan dulu ya"

"Gausah, gue ga laper"

"Yang mau makan tu gue, lo gausah kepedean gue mau traktir lo"

Sontak Okta terkejut, ia mengerucutkan bibirnya sambil ngomel ga jelas. Sebenarnya Okta menaruh hati pada Tama.

Menurutnya Tama itu unik. Ia selalu kacau bila berangkat sekolah. Tidur saat jam pelajaran. Selalu jahil pada guru yang tak di sukanya. Namun ia selalu bertengger dengan gelar ranking 1 paralel. Aneh. Padahal banyak yang ngejar-ngejar Tama di sekolahan tapi ia acuh.

"Lo beneran makan sendiri aja tam?" tanya Okta sambil mengangkat kedua alisnya. Tama terus menyendok nasi goreng itu ke mulutnya tanpa memperdulikan Okta yang terus mengoceh. "Nyebelin, kayak ngomong sama patung yang kelaperan" dengus Okta jengkel sambil mengunyah permen yupi nya. "Patung itu diem bego" akhirnya Tama angkat bicara. "Ohh, gue kira lo bisu" jawab Okta.

Spontan Tama mencubit hidung Okta sampai merah, mengakibatkan Okta jengkel dan mencak-mencak sambil mengumpat tak jelas.

"Yuk pulang" ajak Tama. Okta mengikutinya dengan tatapan sebal. Tama pun memasangkan helm ke kepala Okta. "Naik, jangan lupa pegangan. Gue mau ngebut" tatap Tama jahil. "Bodo amat" jawab Okta ngasal sambil naik ke motor sport Tama.

Tama menuntun tangan Okta untuk melingkar di perutnya, "Gini, biar ga jatuh". Okta tak sadar bahwa Tama melihat pipinya bersemu merah dari kaca spion. Dia tahu Okta tidak benar-benar marah padanya.
🐛🐛🐛
Akhirnya nge-post juga. Lega deh. Maafin kalo ceritanya belum nge-feel. Ini juga singkat banget yaa.  Maklumin author amatir yang kece ini ya, hehe. 😘😘

NOT todayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang