Where am I?

59 10 0
                                    

"In order to save myself I must destroy first the me I was told to be"

Kupeluk kedua lenganku erat-erat. Dedaunan semanggi empat tampak memenuhi jalanan Brooklyn Street. Angin musim gugur mulai menyapu setiap inci persimpangan Edelwyn. Kutangkupkan kedua telapak tangan. Sesekali kuhembuskan nafas pada sarung tanganberwarna putih kecokelatan itu.

"I thought I bought the cream one," pikirku sambil memerhatikan jari-jariku yang terbalut anyaman wol.

Lampu merah pejalan kaki telah padam, digantikan dengan kuning, lalu beranjak ke warna hijau. Tanpa pikir panjang aku melintasi garis putih-hitam yang terbentang memanjang di depanku. Begitu pula dengan kerumunan di seberang jalan.

Sheny Fashion Store, Music Academy, Electronics Convention berbaris teratur di samping trotoar, tak jauh dari tempatku berdiri. Kuamati bangunan tersebut satu per satu. Dinding kaca yang tingginya dua kali dari ukuran tubuh orang dewasa tampak dihiasi guyuran air di baliknya. Pohon palem serta beberapa tumbuhan merambat kian menjuntai di kedua samping pintu, menambah keelokan dari bangunan putih yang kini telah ramai dikunjungi muda-mudi. Ditambah dengan lengkungan setengah bundar, lengkap dengan ornamen kayu jati yang melingkari atap ketiga tempat itu. Kuakui, bangunan modern ala timur tengah itu sempat mencuri perhatian, sebelum akhirnya aku mencium aroma vanilla dan adonan tepung dari kejauhan.

"Hungry," batinku disambut gemuruh kecil yang berasal dari perut. Sudah lebih dari dua belas jam perut ini kosong, tidak terisi. Seharusnya cacing di perutku tidak perlu meronta, apalagi berteriak, jika saja udara dingin pesawat tidak membuatku tertidur, hingga akhirnya melewatkan makan malam dan sarapan pagiku. Kuratapi etalase pada sebuah toko kecil tepat di bibir pertigaan jalan Pensylvania Evenue. Croissant memenuhi rak pertama. Tepat di bawahnya terdapat beberapa kue brownies dan red velvet cake. Diantaranya dilumuri cokelat, dibalut remahan cornflakes, dan ditaburi butiran sprinkles di atasnya. Di rak terakhir, berjejer rapi lima kue bundar berlapis-lapis, tujuh tepatnya. Mulai dari merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu.

"Mungkin ini yang dinamakan rainbow cake," pikirku.

Aku mendekati tempat itu. Memiringkan wajah, dengan sedikit mencondongkan tubuh ke arah etalase. Sejenak berpikir apakah aku harus membeli beberapa potong kue, hanya untuk menyumpal mulut cacing-cacing di perut ini agar diam, tak menggeliat. Atau mencoba untuk bereksperiman, membuat maha karya, yang dikenal sebagai hidangan-tak-layak-makan oleh teman-temanku. Hampir lima menit aku tak bergeming, diam di tempat. Sedetik kemudian, aku melangkahkan kaki, melewati toko bertuliskan William's Bakery itu selama beberapa ratus meter, lalu belok kanan menyusuri Peacock Street yang tengah dalam rekonstruksi jalan di sana-sini.

Empat puluh lima menit. Itu waktu yang kuhabiskan untuk menyusuri jalan penuh debu, kerikil, dan bebatuan, hingga akhirnya tiba pada halaman luar flat, yang akan kutinggali dalam beberapa hari ke depan. Kurasa aku dapat sampai tiga puluh menit lebih cepat, jika saja pencuri tadi tidak berlari ke arahku, menabrak hingga terpental, meninggalkan rona merah kebiruan pada pergelangan kaki kanan, lalu meninggalkanku bersama dua polisi berkumis tebal yang terus menggempur dengan berbagai pertanyaan.

"Ada hal yang kau ingat dari pencuri tadi? Seperti apa rupanya? Apakah kau melihat wajahnya?" tanya polisi-polisi itu berulang kali menggunakan aksen Inggris yang begitu kental.

"Ya mana aku tau!" seruku dalam hati. Mencoba untuk bersikap baik dan lemah lebut.

"Jelas-jelas pencuri itu menggunakan penutup kepala," gerutuku dalam hati, mengingat-ingat kejadian tadi, sambil mengamati bangunan yang berdiri kokoh di depanku. Dinding kaca besar tampak melindungi setiap sisi pentagon bangunan itu. Berjarak seratus meter dari pintu, air mancur bertatahkan sejoli malaikat menghiasi padang rerumputan, lengkap dengan kilauan matahari di atasnya. Kicauan burung sayup-sayup terdengar di balik keriuhan jalan. Suara bor yang beradu dengan aspal jalan masih berdengung sedari tadi, menambah kebisingan. Kuamati jam di tangan.

"08.45 AM," ucapku lirih.

Masih terlalu pagi untuk mendengarkan beberapa lagu. Tapi tidak untukku. Aku sangat menyukai musik, apapun alat musiknya, apapun aransemennya, apapun genre-nya. Hanya dengan mendengarkan musik, perasaan bercampur padu menjadi satu. Sedih, senang, kesal, maupun kecewa menyatu. Lalu hilang begitu saja. Digantikan dengan alunan nada yang menghangatkan hari-hariku. Kucari headset di dalam tas genggam. Dengan satu tangan, aku mengobrak-abrik isi tas. Sejumlah uang, charger, handphone, paspor, dan barang lainnya terguncang tidak beraturan.

"Argh, benar-benar berantakan," sesalku.

Cukup lama menemukan headset putih pada tas mini Louis Valton yang kubeli beberapa hari lalu saat diskon besar-besaran di Indonesia Centre Mall.

DUK! Seseorang menabrakku dari belakang.

Come Back to ManhattanWhere stories live. Discover now