Zinnia

14 2 0
                                    

Hujan selalu menyimpan sebuah kisah. Romantisme dan luka.

Zinnia memggertakkan giginya, menunggu hujan reda. Ia lupa membawa payung karena cuaca siang tadi sangat terik. Ia tidak pernah berpikir akan turun hujan begitu lebatnya di malam hari.

Pikirannya melayang-layang. Otaknya memutar rekaman kejadian setahun lalu dimana ia berdiri di tempat yang sama. Bukan. Kejadian itu sepenuhnya berbeda dari kisahnya hari ini.

Satu tahun lalu...

Zinnia telah duduk di halte selama satu jam, bukan menunggu hujan reda. Ia tidak pernah lupa membawa payung. Ibunya akan mengomel habis habisan bila ia pulang ke rumah basah kuyup. Ia bukannya tidak ingin pulang dengan payung lipat magentanya yang tertenteng di dalam tas ransel. Ia tengah menanti seseorang. Penantian yang entah kapan akan berakhir.

Sesekali ia gusar dan melirik jam tangan, pukul 7 malam. Ia yakin seseorang yang dinantinya akan segera datang, entah dalam berapa jam lagi.

Seorang lelaki bertubuh jangkung menghampiri Zinnia dan duduk di sebelahnya. Ia datang entah dari sisi mana. Senyum Zinnia merekah. Seseorang yang ia tunggu sudah datang. Ia ragu apakah penantian panjangnya hanya akan berakhir dalam beberapa menit saja mengingat lelaki di sebelahnya juga terlihat gusar.

"Jadi kamu mau ngomong apa Zi? Katanya ada hal penting yang mau kamu katakan padaku, " tanya lelaki di sebelahnya terus terang. Zinnia gelagapan. Ia tidak menyangka akan dihujani pertanyaan secara tiba tiba.
"Eh, itu, jadi, aku bingung mau ngomong dari mana." Zinnia mengutuk dirinya sendiri yang begitu bodoh dalam memberikan jawaban. Tentu saja lelaki di sampingnya keheranan. Ia sesekali melirik jam tangan hitamnya dan mengetuk-ketuk ujung payungnya dengan bahu trotoar.

"Zi, bisakah kamu berterus terang? Aku merasa tidak punya banyak waktu lag—" ucapan lelaki itu terhenti. Zinnia mengecup pipi lelaki itu dengan setengah berjinjit. Ia membuka mata setelah menyadari hal bodoh kedua yang telah ia lakukan. "Bisakah kamu tidak pergi, Fir?" kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir kecil Zinnia yang mulai membiru kedinginan.

Lelaki itu memegang kedua bahu Zinnia dan merapatkan ke tubuhnya.
"Zi, aku tahu ini berat buat kita. Kamu juga tahu ini keputusan yang berat buatku. Tidak bisakah kamu menerima?"
"Fir, aku tidak ingin menghalangi mimpimu. Tapi Swiss— itu tempat yang tak bisa kugapai." Zinnia menundukkan kepalanya. Kelopak matanya terasa panas. Lelaki itu mendekap Zinnia dalam diam. Ia menangkup pipi Zinnia dan mengecupnya lembut. Zinnia merasa tak dapat lagi membendung air mata. Ia menangis dalam buaian lembut bibir Fir. "Sssttt.. Zi, kumohon jangan menangis. Aku tidak sanggup pergi jika kamu seperti ini."
"Maka jangan pergi, Fir. Aku harus apa?" Lelaki itu terus menyeka air mata Zinnia yang makin tersedu-sedu.
"Berjanjilah padaku kamu akan segera kembali, Fir. Hmm?" Zinnia menatap kedua mata lelaki di hadapannya.
"Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang aku sendiri tidak dapat menepatinya, Zi. Kumohon. Kita masih bisa bertukar pesan, saling mengirim email, memandang satu sama lain lewat video call." Lelaki itu terus membujuk. Menawarkan berbagai solusi atas kepergiannya.
"Jadi kamu lebih memilih pergi dan meninggalkan aku, Fir?" Zinnia terdengar putus asa, suaranya melemah.
"Ini bukan tentang pilihan Zi. Ini tentang prioritas. Aku ingin membangun masa depanku melalui capaian mimpi mimpiku. Aku ingin sukses." Suara lelaki itu tegas, tidak bisa dibantah lagi.
"Kalau kamu tetap seperti ini lebih baik kita akhiri semuanya saja, Zi."
Zinnia tidak bersuara. Ia juga tidak lagi menangis. Hanya saja matanya memerah, entah marah atau keputusasaan yang terlalu dalam.

Pelan-pelan lelaki itu menjauhkan tubuhnya dari Zinnia. Ia mengambil payung dan tanpa ragu berbalik pergi menerjang hujan. Ia sama sekali tidak menoleh yang membuat hati Zinnia semakin terluka.
Dalam hatinya, lelaki itu sebenarnya juga berat meninggalkan wanita yang sudah bersamanya sejak kecil itu. Namun, ego mengalahkan segalanya. Ambisi yang begitu besar mampu merubah siapa saja, tak terkecuali Fir. Ia sudah memantapkan hatinya untuk pergi, meninggalkan Zinnia demi dongeng mimpi-mimpinya.

Terdengar bunyi decitan yang begitu keras di belakang lelaki itu. Namun, ia tak juga menoleh kebelakang. Ia percaya keputusan yang diambilnya sudah tepat.

Tubuh Zinnia terasa kaku, menggigil. Ia memandang Fir yang berjalan semakin jauh, menghilang dibalik derasnya hujan. Jemari tangannya terkepal, lalu perlahan melemas diiringi desingan suara ambulans yang samar-samar semakin kabur.

———————

Zinnia yang tengah menunggu hujan reda tidak terlalu terkejut saat seseorang datang dan duduk di sampingnya. Ia tersenyum. Lelaki itu datang sesekali walau hanya untuk berteduh di halte yang sama dengan Zinnia. Barangkali lelaki itu tidak hanya sekadar berteduh, namun tengah menunggu sang kekasih yang tak kunjung tiba.
Beberapa menit menunggu, seorang perempuan berlari lari kecil menghampiri kekasihnya itu. Mereka bercumbu sebagai salam atas kerinduan yang telah mereka pendam. Setelah hujan sedikit mereda, keduanya nekad untuk pergi. Di bawah payung yang sama mereka bergandeng tangan. Berbincang kecil tentang aktivitas yang dijalani selama seharian. Lelah dan penat seolah terhapuskan setelah melihat wajah satu sama lain.

Zinnia tersenyum lagi. Ia mengingat Fir. Ia bisa merasakan bagaimana saat Fir datang menerobos hujan demi menemui dirinya. Dengan sedikit omelan karena mengganggu waktu belajarnya, Fir tetap akan menjemput Zinnia yang memang sengaja tidak membawa payung untuk pulang. Tatapannya tetap sama seperti yang dulu—gusar dan penuh ambisi.

Setahun berlalu sejak hari kepergian Fir, Zinnia tidak satu hari pun melewatkan waktunya untuk mengunjungi halte itu. Tempat kali terakhir ia dan Fir benar-benar saling mencintai. Meskipun Fir tidak pernah datang ke tempat itu, Zinnia tahu di suatu tempat di sudut dunia yang lain Fir sedang merindukannya. Keyakinan seperti itulah yang membuatnya tidak benar-benar bisa pergi dari dunia. Jiwa Zinnia yang abadi tak pernah bisa pergi ke surga karena cintanya yang sulit ia tinggalkan. Mungkin ia baru bisa pergi saat Fir telah kembali, menepati janji yang Zinnia buat tanpa kesanggupan dari Fir. Bahkan mungkin Zinnia akan terus mengingat-ingat masa lalunya dengan Fir, hingga waktu-waktu di masa depan terlampaui dan dunia semakin menua. Begitulah ia mengharapkan Fir akan menemuinya dan datang di dunia Zinnia saat ini. Dunia yang lebih jauh dari Swiss, yang tidak pernah Zinnia pikirkan sebelumnya.

Fir adalah pohon, tegas seperti waktu. Waktu yang tidak akan memutar dirinya ke belakang sekalipun ia ingin. Ia akan terus berjalan ke depan. Tak pernah sekalipun berhenti untuk sekadar menoleh ke masa lalu. Ia mungkin berputar menyusuri kembali detik dan menit yang sama. Namun, kehadirannya hanya sebagai pejalan kaki saja, lewat kemudian pergi lagi—tak pernah ia singgah. Fir dan Zinnia bukanlah sepasang manusia yang tidak dapat bersatu. Hanya saja mereka tak pernah sejalan. Fir dengan masa depannya dan Zinnia dengan masa lalunya.

Zinnia adalah sekuntum bunga. Ia sering dianggap melambangkan kenangan, kesetiaan, dan kasih sayang yang abadi. Begitupun Zinnia, ia terlalu banyak mengenang. Ia tak bisa melupakan kejadian lalu begitu saja seperti pertemuannya dengan Fir. Kini Fir telah pergi, namun kasih sayang Zinnia tetap dibawa sampai mati.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 02, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ZinniaWhere stories live. Discover now