"Kau tahu aku mengikutimu. Jadi katakan kenapa kau membawaku kesini?" tanya Singto langsung. Singto tak tahu caranya bertele-tele dalam bicara, sehingga kadang ucapannya yang terlalu langsung itu malah membuat orang lain kehilangan kata-kata untuk membalasnya.

"Kau mengikutiku, jadi ku pikir ada yang ingin dibicarakan" balas Krist sedikit ragu.

Singto tampak berpikir, "Aku hanya sekedar mengikutimu, tidak ada yang ingin ku bicarakan"

"H-huh?"Krist mengerjapkan matanya beberapa kali dengan wajah polosnya.

"Iya.. sekedar mengikutimu, tidak ada maksud lain" ujarnya lagi.

Krist menggaruk keningnya mirip orang bodoh. Kenapa Singto bisa mengatakan 'hanya mengikutimu' dengan nada sedatar itu?? Padahal Krist deg-degan setengah mati saat menyadari Singto mengikutinya.

"Ohh.. maaf kalau begitu, ku kira ada yang perlu kau sampaikan.. kalau begitu ayo kembali—" begitu Krist akan melangkah keluar, Singto memotong bicaranya.

"Jangan buru-buru!"

Krist yang sudah berada disisi kanan Singto karena hendak masuk kembali lewat pintu— melirik Singto penasaran, "Apa?"

Pria itu menoleh, menatap Krist intens, "Kau sudah membuatku kesini, apa kau akan kembali begitu saja??"

"Kan tidak ada yang perlu dibicarakan"

"Iya! Tapi aku masih mau disini"

"kalau begitu aku dulu—" Krist melanjutkan langkahnya yang tertunda, tapi lagi-lagi Singto menahannya. Kali ini lengannya ditahan pemuda itu.

"—denganmu!" titahnya dengan mata yang masih memandang tajam Krist.

"Maaf??" Krist melirik lingkaran jari-jari Singto di lengannya, mengerat seiring usahanya untuk melepaskan genggaman itu.

"kau disini saja dulu" kata Singto halus, menelan nada penuh perintah yang ia dengar tadi.

Anehnya, Krist dapat melihat Singto tatapan Singto yang penuh harap kepadanya. Kemana sikap angkuhnya yang tadi?? Tak pernah sebelumnya dia melihat jenis tatapan berharap dari seorang Singto, mau tak mau Krist menuruti kemauan pria itu untuk tetap tinggal.

Singto melepas jaket yang ia kenakan, lalu membentangnya di lantai rooftop dekat dengan pagar jaring. Tidak ada tempat duduk di rooftop membuat Singto harus rela jaketnya kotor terkena debu.

Awalnya Krist tidak setuju dengan tindakan Singto menggunakan jaketnya sendiri sebagai alas duduk keduanya, tapi balasan Singto membuatnya kehilangan kata-kata: ini jaketku, kenapa kau jadi mempermasalahkannya.

Karena jaket tak selebar karpet piknik, karena jaket juga tak seluas permadani terbang aladin, Krist dan Singto harus duduk berdekatan. Bahkan lengan mereka bersentuhan.

Tak ingin mati perlahan akibat kinerja jantungnya yang menggila, Krist sedikit menggeser duduknya. Persetan celananya harus kotor karena menduduki lantai semen, yang penting dia baik-baik saja setelah ini.

Namun, debaran ini menyenangkan.

Suasana senja memang semenyenangkan ini, atau karena kehadiran Singto yang membuatnya bahagia? Krist melirik pria di sebelahnya, Singto terlihat sangat tenang, raut wajahnya begitu damai dengan bibir yang membentuk seulas senyum. Degupan jantung Krist semakin menjadi, ia juga bisa merasakan wajahnya memanas dan dia harus menahan dalam-dalam keinginan kuatnya untuk tersenyum menikmati pemandangan wajah Singto.

Tiba-tiba Singto seulas senyum itu berubah menjadi senyum yang lebih lebar membuat Krist terperanjat melihatnya. Senyum Singto sangat sempurna, Krist telah melewatkan banyak waktu untuk menikmati pemandangan ini.

Im Not Popular [COMPLETE]Where stories live. Discover now