Bab 1

39 0 0
                                    

Udara dingin menyeruak di sela-sela pagi yang mulai menjelang. Sesosok pria, dibalut mantel tipis berwarna hitam, tertelungkup di sebuah jalanan kecil berbatu. Lelaki itu tak bergerak. Rambut panjang menutupi sebagian wajah. Tubuh kakunya menarik perhatian beberapa orang yang lewat namun tak ada yang memiliki keberanian untuk mendekat. Seorang ibu yang hendak berdagang ke pasar bahkan lari terbirit-birit mendapati lelaki itu terbujur diam bak mayat. Sekelompok pelajar SMU berjengit menjauh sementara seorang pria setengah baya tampak ragu – hendak menolong atau membiarkan saja si lelaki misterius terkapar tak tentu nasibnya.

"Sopo wong iki?" (siapa ini?)

Terdengar logat Jawa yang kental dari salah seorang pria.

"Ndak tau. Mungkin orang gila? Atau jangan-jangan sudah mati?"

Salah seorang pria berwajah keriput, menyurukkan sapu lidinya ke tubuh yang dimaksud. Tak ada reaksi. Lelaki asing itu tetap bergeming.

"Mati!" seru beberapa orang dengan was-was. Kasak-kusuk penuh prasangka beredar di udara. Desas-desus menyebar dengan cepat: 'Ada mayat tak dikenal di desa mereka!'

"Kita kuburkan?" tanya seorang warga.

"Lapor polisi!" usul yang lain.

"Nanti urusannya jadi panjang. Kita bisa repot kalau ditanyai macam-macam!" bantah yang pertama.

Si pembawa sapu lidi sudah berjongkok. Tangan keriputnya diarahkan ke kantong-kantong jaket. Tak menemukan apa yang dicari, ia merogoh ke dalam saku belakang si pria asing dan menemukan sebuah dompet. Namun belum sempat memeriksa isinya, tubuh kaku itu tiba-tiba bangkit dan mengagetkan semua orang.

"Masya Allah!" pria lanjut usia itu terjengkang ke belakang. "Kau masih hidup, toh?"

"Sial kalian semua!" umpat si pria dengan geram. Matanya menatap nyalang sementara tinjunya teracung – siap untuk memukul.

Beberapa warga bergegas melerai perkelahian.

"Mas! Tenang, Mas! Ojo nesu!" seru beberapa orang. (Jangan emosi!)

"Dia mabuk," ujar si pria lanjut usia sambil membersihkan kain sarungnya yang kotor oleh tanah. "Napasnya bau alkohol."

Lelaki beruban itu membuka dompet yang masih digenggamnya dan mengeluarkan tanda pengenal si pria asing.

"Ferry Sudjarwo," ujar si lelaki lanjut usia, "Itu namamu?"

"Hei! Kembalikan!" hardik Ferry dengan garang.

"Kau seorang sarjana hukum?"

"Apa urusannya denganmu?"

Ferry menyerang si pria lanjut. Suasana ricuh seketika.

Sang kakek berseru-seru minta tolong. Para wanita menjerit histeris sementara yang pria berusaha menyelamatkan korban dari amukan Ferry.

Kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat.

Seseorang memukul tengkuk Ferry dengan keras. Tak cukup disitu, tangan lain merenggut tubuhnya hingga jatuh lalu mengantukkan dahinya ke tanah kasar berbatu. Ferry bisa merasakan aliran darah menetes dari puncak kepala sementara kedua sisi tulang rusuknya tak luput dari amarah orang-orang yang bergantian menendangnya. Lelaki itu hampir saja berteriak kesakitan saat seseorang menyikut tulang punggungnya dengan keras. Dan ia hampir kalap saat beberapa orang mencemoohnya. Namun sedikit akal sehat di sudut otaknya mengatakan semua itu tak akan berguna. Perlawanan hanya akan membuat orang-orang ini lebih beringas.

Ferry Sudjarwo tampak seperti sebuah boneka kayu saat seseorang menarik tubuhnya. Ia berdiri dengan kaki dan tangan terkulai tanpa tenaga. Kepalanya tertunduk lunglai.

The Perfect EnemyWhere stories live. Discover now