Chapter 2 - We're Leaving

69 1 0
                                    

VANIA’S POV

Pagi itu, aku sudah menunggu kedatangan sebuah helikopter yang akan menjemputku di depan rumah. Julian di sampingku, ia mendekapku erat. Air matanya sudah tak terbendung lagi, ia menangis sekali lagi untuk kepergianku. Ajudan-ajudan itu turun dari helikopter dan datang untuk menjemputku. Mereka menggunakan seragam serba putih, membawa senjata (yang menurutku mirip senjata yang digunakan di arena paint ball ._.), menggunakan helm yang menutupi seluruh wajah mereka. Mereka mengucapkan salam kepada orangtuaku, Julian, dan aku. Tanpa berbasa-basi, aku memeluk orangtuaku dan Julian secara bergantian. Aku mencoba untuk tetap tegar, namun aku tetap menitikkan air mata juga.

"Bye my little sister, I'll miss you. Fight for me." kata Julian.

"I'll miss you too my big bro. I WILL." sahutku.

Aku melangkah menuju pintu helikopter didampingi ajudan-ajudan itu. Aku tak kuat untuk menengok dan melihat wajah keluargaku. Jadi kuputuskan untuk tetap jalan ke depan tanpa melihat ke belakang.

Helikopter itu tak cukup besar, namun cukup untuk 5 orang. Di dalamnya terdapat bangku-bangku penumpang yang dilapisi kulit. Aku duduk di bangku paling pojok dekat jendela, mengenakan seat beltku tanpa berkomentar apapun, dan mendengarkan semua petunjuk yang diarahkan ajudan itu. Tak berapa lama aku terlelap sampai aku mendengar sebuah suara yang membangunkanku.

"Sebentar lagi kita akan sampai di istana negara, Anda akan makan malam bersama presiden dan bermalam di sana. Besok pagi Anda akan melanjutkan perjalanan Anda menuju Kypotripe dengan pesawat khusus. Semoga Anda beruntung kali untuk NF kali ini." salah satu ajudan berbicara padaku.

"Ya, terimakasih atas perjalanannya kali ini."

***

Tak berapa lama aku sampai di istana. Itu kunjungan pertamaku, aku tak pernah mengunjungi istana sebelumnya. Aku gugup saat harus menemui presiden.

"Selamat siang Ms. De Vizio." presiden menyapaku.

"Selamat siang Mr. Thompson." sahutku sambil memberikan hormat kepadanya. Di kursi sebelahku sudah ada laki-laki berperawakan tinggi, berbadan atletis, dan memiliki kulit berwarna cokelat. Ku akui, ia terlihat sangat manis. Jadi kusimpulkan bahwa laki-laki itu adalah Zidan Marsa, yang akan menjadi partnerku dalam NF. Aku melirik dan tersenyum kepadanya. Ia pun melemparkan senyum kepadaku.

"Okay, jadi kalian berdua akan mewakili Indonesia dalam Nation Fighter kali ini. Seperti Nation Fighter sebelumnya, selama 3 bulan sebelum kalian diturunkan ke arena, kalian akan menjalankan latihan di Krypotipe. Persiapkan diri kalian sebaik-baiknya dan selalu jaga kekompakan kalian. Mungkin kalian perlu lebih mengenal satu sama lain. Jadi silahkan kalian menuju kamar tidur masing-masing. Kamar tidur kalian terhubung dengan teras yang sama. Sampai jumpa di acara makan malam nanti."

"Terimakasih Mr. Thompson." jawabku dan Zidan hampir bersamaan.

Setelah itu aku dan Zidan diantar ke kamar oleh dayang-dayang istana. Aku menaiki lift menuju lantai 5 dan melewati banyak ruangan disitu. Rasa penasaranku kambuh dan aku bertanya kepada salah satu dayang.

"Ruangan apa saja ini?"

"Ini kamar-kamar pegawai kerajaan. Tapi setauku, beberapa diantara ruangan ini juga digunakan untuk tempat penyimpanan senjata. Aku pun tak tau yang mana. Hal itu sangat dirahasiakan."

"Oh begitu."

"Ya, ini kamarmu, dan ini kamar Zidan. Selamat beristirahat, dan apabila perlu bantuan, makanan ringan, atau apapun silahkan menghubungiku melalui telepon yang tersedia disetiap kamar dan menggunakan extension 5. Aku permisi dulu."

Nation Fighter [The Collective - The Hunger Games]Where stories live. Discover now