The End

577 79 77
                                    

Jihoon rasa sulit untuk bernafas saat memberanikan diri menengok wajah Guanlin. Tidak ada senyum lebar atau wajah polosnya, Guanlin seperti kehilangan jiwanya.

Tatapan kosong dan rona kemerahan menghiasi kantung matanya. Jihoon terperangah sekaligus menahan diri untuk tidak memeluk Guanlin. Ada kejanggalan yang memasung Jihoon untuk bertahan.

Jihoon semakin muak ketika tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Para penduduk golongan bawah dipaksa menyaksikan drama picisan dalam balutan rasa perih yang nyata dan menginjak harga diri mereka.

Pria menyebalkan itu berbicara pada pengeras suara. "Jangan buang waktu Park Jihoon. Kami masih banyak urusan." persetan dengan urusan kalian karena Jihoon paham hidup mereka hanya penuh dengan pesta dan tontonan tak berperikemanusiaan semacam ini.

Tidak ada jalan kembali bagi Jihoon, pilihan tak satu pun berpihak padanya. Jika ia tak menyakiti Guanlin maka mereka lah yang akan menyiksa Daniel.

Jihoon menjambak rambut coklatnya yang sudah kusut, melirik pada Daniel yang menggeleng pelan dengan tatapan mata penuh pesan mendalam.

Ia tak menyadari langkah panjang Guanlin dan pukulan pertama mendarat di pipi kanan Jihoon. Begitu kuat hingga ia merasa pusing dan terhuyung beberapa langkah.

Jihoon tak ingat Guanlin pernah belajar bertarung, pemuda yang pernah mengatakan bahwa ia tak mampu bahkan hanya gerakan push up itu menjadi seratus kali lebih kuat.

Guanlin tak mengucapkan apapun atau sekedar berbasa basi pada Jihoon.

Tidak ada sosok manis Guanlin yang tersenyum hingga gusinya terlihat, tidak ada sosok polos yang terkadang mengumbar kalimat hinaan kecil sebagai bahan lelucon.

Guanlin seperti robot dan Jihoon mencuri beberapa detik untuk mendapati sebuah luka kecil di lipatan dalam siku kiri Guanlin, tersisa jejak keunguan disana dan sebuah pukulan lain mendarat di perut dan dada Jihoon.

Tak ada jeda, Guanlin membuang kesempatan Jihoon untuk bertahan. Beberapa sisi tubuhnya mulai kebas dan nyeri bersamaan. Daniel tanpa sadar merangkak ke depan dengan tatapan nanar, tak berkutik dan tak punya kuasa apapun. Bahkan ketika ia memohon pun hanya membuahkan sebuah tendangan, Daniel terjungkal, jatuh bersama seluruh perasaannya.

"Guanlin...kau dengar aku?" ucapan Jihoon hampir menyerupai bisikan angin diantara sorakan yang menggema.

Guanlin seolah melampiaskan semua amarah hingga titik tertinggi. Seorang wanita berpakaian kumal yang sobek pada bagian lengannya menangis dan memalingkan wajahnya. Ia menolak keras ketika seorang lelaki mendekat dan memaksanya menatap ke depan. Sumpah serapah meluncur deras dan sebuah pukulan membungkam setiap orang. Tentu saja golongan atas tak peduli.

Seperti ada tombol otomatis ketika Guanlin berhenti dan memunggungi Jihoon, menunduk dalam menatap lantai arena dan berkedip tanpa rasa.

Jihoon terseok mencoba meraih Guanlin. Wajahnya penuh luka dan lebam, berkas darah terlukis tragis menghapus wajah elok pemuda itu.

"Guanlin....kumohon...." satu usaha lain tetapi Guanlin tetap bertahan seperti patung. Jihoon menangis hampir menguras seluruh air matanya.

Dengung pengeras suara membuyarkan akal sehat Jihoon. Alarm bahaya berkelip di kepalanya yang pusing.

"Waktumu habis Park Jihoon. Tontonan yang menjemukan." ucap pria itu sambil berkaca pada cermin kecil berbentuk bulat. Cermin berpindah tangan dan berganti dengan sebilah pisau berkilau.

Jihoon menggeleng keras, merangkak susah payah dan lagi-lagi pagar kawat terkutuk dan laknat itu memberi benteng baginya.

Dengan bodohnya, Daniel tersenyum sepenuh hati pada Jihoon, mengangguk pelan seolah menyampaikan pemikiran yang sesuai seperti tindakan Jihoon.

Outside The Red LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang