Kepingan Tujuh Part [2]

1.5K 116 7
                                    

Bunyi ketukan pintu terdengar

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Bunyi ketukan pintu terdengar. Tiba-tiba. Rishi yang tengah tertidur langsung menatap jam di ponselnya. Pukul 21.40. Keningnya berkerut. Siapa yang mengetuk pintu! Tak mungkin Petty pulang secepat ini. Buru-buru Rishi bangkit dari kasur dan beranjak keluar.

Mendekati pintu suara ketukan berhenti. Rishi membuka kunci lalu menarik handle. Pria itu terperanjat saat pintu melebar. Tepat di depannya, dia menyaksikan Petty yang sudah tertidur di atas keset. Sekujur tubuh wanita itu menggigil. Kemeja dan gaunnya sudah basah. Rambut wanita itu lepek. Sepatunya pun sudah tak ada. Dengan panik Rishi membungkuk, Petty kelihatan setengah tak sadar.

Pria itu menepuk-nepuk pipi Petty. "Kau kenapa?" tanya Rishi. Pria itu meletakkan tangan di jidat Petty. "Astaga kau panas." Tanpa pikir panjang, Rishi membopong tubuh Petty.

Susah payah Rishi membawa Petty ke dalam kamar. Pria itu hati-hati merebahkan Petty di atas ranjang.

"Tolong ambil baju tebal di lemari," pinta Petty, suaranya lemas.

Rishi beralih ke lemari. Dia mengacak-acak isinya. Mencari baju yang dimaksud. Setelah dapat pria itu menyerahkan.

"Bisa tolong aku lagi?" minta Petty berikutnya.

Rishi mengangguk.

"Carikan aku obat flu." Petty menatap Rishi penuh harap.

"Akan kucarikan."

---

Malam itu juga Rishi bergegas. Buru-buru dia membungkus tubuh menggunakan jaket. Tak ada payung yang dapat melindunginya dari sisa-sisa hujan, selain baju tebal.

Di luar Rishi melihat ke langit. Sebelum hujan lebat lagi, Rishi cepat-cepat menyusuri jalan. Di sini tak ada rumah sakit, sementara puskesmas yang mungkin dapat membantu pasti sudah tutup. Apotek pun tak pernah dia temui di sini. Jalan satu-satunya ya harus ke warung warga.

Warung pertama yang dikunjungi Rishi sudah tutup. Tak sudi kembali dengan tangan kosong, Rishi menyambangi warung lain. Hal yang sama pun terjadi. Tak ingin gagal dia ke warung ketiga. Sayang, dewi fortuna tak berpihak padanya. Ini sudah jam sepuluh malam, warga desa pasti memilih untuk lelap daripada membuka warung. Rishi meninggalkan warung terakhir dengan separuh kecewa.

Tak ingin perjuangannya sia-sia, pria itu memilih tak kembali. Dia menuju rumah kepala desa, satu-satunya orang yang dikenalnya ketika menyewa hunian yang mereka tinggali. Tentu saja sebagai kepala desa, beliau pasti welcome kepada siapa pun yang datang. Dengan sangat berani Rishi mengetuk-ngetuk pintu. Badannya mulai kedinginan.

Kebetulan yang membuka pintu kepala desa. "Pak Rishi?" kaget kepala desa. "Ada keperluan apa, Pak?"

"Maaf mengganggu malam-malam. Istri saya sakit!" Rishi menyebut kata istri karena begitulah pengakuannya dulu bareng Petty ketika membeberkan status mereka. "Dia flu. Badannya demam dan sesekali bersin-bersin. Semua warung sudah tutup. Aku butuh obat."

"Masuk dulu. Di luar dingin."

Setelah menyilakan Rishi, kepala desa menuju lorong di tengah rumah. Di sofa Rishi duduk dikekang cemas. Pikirannya kerap melayang ke kamar Petty. Beberapa kali matanya terarah ke televisi yang belum dimatikan.

Lima menit berikutnya kepala desa kembali. Di tangannya terdapat kantong plastik. Dari luar tampak seperti rempah-rempah dan daun-daunan.

"Ini ada serai, jeruk nipis, daun sirih, jahe dan biji cengkih. Ini baik untuk penderita flu," sebut Kepala Desa sembari menyerahkan kantong. "Caranya bahan-bahan itu direbus, uapnya bisa dijadikan untuk penguapan wajah, sementara airnya bisa dikonsumsi."

"Terima kasih banyak Pak."

Akhirnya Rishi pulang membawa hasil. Mudah-mudahan rempah-rempah ini bisa memberi efek sembuh pada Petty. Menuju rumah, pria itu setengah berlari.

---

Rishi mengarahkan segenap perhatian ketika meracik rempah-rempah di dapur.

Pertama-tama, pria itu mencuci semua rempah kecuali biji cengkih. Serai dan jahe kemudian dia memarkan. Rishi membelah jeruk nipis menjadi empat bagian. Lekas-lekas dia menyalakan kompor, dan meletakkan panci yang berisi air. Semua bahan dia masukkan termasuk daun sirih.

Rishi bersandar di meja. Kakinya mengentak-entak cemas. Tak sabar menunggu ramuan mendidih.

Beberapa menit rebusan mendidih. Rishi menyiapkan cawan. Hati-hati dia menuangkan rebusan air ke dalam cawan.

Merasa beres, Rishi menemui Petty di kamar. Pria itu melihat gaun dan kemeja miliknya sudah berada di lantai. Sepertinya Petty menggantinya saat dia keluar tadi. Di ranjang wanita itu terlelap, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya sayu.

Rishi mendekati ranjang. Pria itu menggerakkan pundak Petty. "Pet, Petty, bangun Pet."

Bunyi desah terdengar lemah dari mulut Petty. Mata wanita itu melebar perlahan.

"Ini, aku sudah buatkan minuman herbal. Minuman ini bagus untuk flu." Rishi menyodorkan cawan.

Petty setengah bangun. "Ini obat apa?"

"Tak usah banyak bertanya. Hirup uapnya selagi masih panas. Kalau sudah sedikit dingin, kau bisa meminumnya."

Petty meraih cawan. Tak ada pilihan lain demi mengobati flunya. Wanita itu saksama menatap cawan. Sejenak ada keragu-raguan, namun mustahil jika Rishi ingin meracuninya. Petty kemudian perlahan-lahan menekuk leher sekian derajat di depan cawan. Uap air langsung menyerang wajahnya. Rasanya seperti menghirup aromaterapi. Lumayan segar. "Apa aku harus meminumnya?" tanya Petty begitu cawan di pegangan berkurang suhu.

Rishi mengangguk.

Petty lantas meneguk minum. Mukanya mengerut. "Rasanya aneh."

"Apakah kau mau air putih?" tawar Rishi.

"Tidak. Tidak perlu."

Rishi mengambil cawan dari genggaman Petty. Dia membantu membaringkan kembali tubuh Petty. Rishi menyelimuti wanita itu. "Istirahatlah."

.....bersambung

Hello You [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora