Rutinitas

12 2 0
                                    

Pagiku selalu disambut oleh sang mentari. Kini aku tidak takut lagi, mimpi buruk itu mulai berhenti, karena ada dia yang selalu kunanti. Hanya dengan kehadirannya, hidupku terasa berubah 180 derajad. Dia adalah hadiah terindah dari Tuhan yang pernah kudapatkan.

Setiap langkah kaki aku tak henti-hentinya mengucap syukur. Terimakasih karena sudah memudahkanku masuk ke kampus ini, terimakasih sudah menempatkan aku pada jurusan yang tepat, terimakasih telah mempertemukan aku dengan teman-teman yang sungguh ajaib, dan terimakasih untuk kehadiran sosoknya yang penuh dengan kejutan. Terimakasih.

Setelah mengenal Langit selama seminggu, banyak hal yang berubah pada diriku. Tak ada lagi perasaan ragu saat akan memasuki lobi kampus. Senyum selalu terukir di wajahku, bahkan aku kembali menantikan hari esok. Pintu lift terbuka, aku berjalan menuju kelasku yang berada di pojok ruangan. Rasanya seperti disambut, pada deretan kursi paling depan, dengan jelas aku melihat punggung yang dibalut dengan kemeja putih. Aku membuka pintu kelas lebih lebar lagi hingga menimbulkan suara berdecit. Langit berpaling melihat kearahku, lalu tersenyum.

Aku menghampirinya yang ternyata sedang fokus bermain game di hp nya. Aku menaruh tasku tepat disebelah kursi tempatnya duduk, sebenarnya deretan kursi terdepan di bagian kiri adalah tempat biasa aku duduk. Apa dia menungguku datang? Bolehkan aku berpikir begitu? Ah ayolah sadar wahai diriku, langit tidak mungkin melakukan hal itu. Dia pasti datang pagi hanya karena ingin menghindari anak BEM dari bagian pertahanan untuk pemeriksaan atribut di lobi, itu lebih masuk akal. Tapi tetap saja, mendapati dirinya selalu datang pagi dan menyapaku, atau bahkan sering kali menghampiriku tentu membuatku berharap.

Aku selalu mengingatnya. Bagaimana cara langit menatap mataku dengan mata coklatnya yang menenangkan, bagaimana hangat tangannya saat mengenggam dan memainkan jemariku, caranya memanggilku dengan kata-kata sayang, dan tangannya yang tidak pernah bisa diam. Sering kali langit mencubit gemas pipiku, entah karena alasan apa. Sesekali ia juga merangkulku dan menggiringku kesana kemari, kadang menyebalkan, tapi tetap saja tidak bisa marah.

Langit selalu memperkenalkan aku pada semua orang yang dikenalnya. Dia juga sangat ramah, selalu menegur siapa saja yang melewatinya. Pernah sekali aku bertanya padanya ketika kami sedang turun tangga untuk menuju lantai lima usai membeli beberapa jajanan dari koperasi kampus, saat itu ada seorang kakak tingkat yang kebetulan berpapasan dengan kami dan langit menyapanya dengan riang. Kakak tingkat itu sepertinya kenal dengan Langit, meski agak ragu aku pun bertanya "Siapa? lo kenal?" dengan tidak disangka, Langit menoleh ke arahku dan tertawa kecil sembari menjawab "Enggak." melihatnya tertawa membuatku ikut tersenyum, "Lah kok? Tapi tadi kayaknya akrab gitu? Kan lo yang nyapa duluan?" Langit masih mempertahankan senyumnya dan menjelaskan dengan tenang "Emangnya kenapa? Kan cuman nyapa doang, lagian kita tuh harus baik sama sesama. Lo gak diajarin begitu?" Aku terdiam, mencerna kata-kata yang baru saja kudengar. Timbul sedikit rasa malu saat ditanya seperti itu, aku selalu mendengar istilah 'baik pada sesama' saat belajar ataupun saat dinasehati oleh ibuku. Hanya saja aku jarang mempraktekkannya.

Bagi teman-teman yang lain, Langit adalah seorang yang menyebalkan, bermulut besar, sok kenal, dan hal-hal buruk lainnya. Tapi sepertinya dia tidak terlalu buruk, iyakan?

Hanya karena hal sekecil itu, mungkin Langit pun tidak menyadarinya. Namun sepertinya mampu menyentuh hatiku. Hampir setiap hari aku mendengar keluhan teman-teman sekelasku tentang dirinya, khususnya dari kubu cewek. Langit dengan suaranya yang besar-lah, Langit dan tingkahnya selalu mencari perhatian-lah, Langit dengan segudang sifat menyebalkannya-lah, dan lain sebagainya. Kadang aku berpikir, apa hanya aku yang memandangnya dari segi yang berbeda? Apa hanya padaku dia menunjukkan sisinya yang lain? Atau hanya aku sendiri yang menganggapnya begitu?

Pernah sekali ada seorang teman yang menegurku karena kedekatanku dengan Langit. Aku sempat merasa tidak terima, tapi kata-kata yang diucapkannya juga tidak salah. Aku bingung, juga sedikit merasa takut, akhirnya aku memutuskan untuk sedikit menjaga jarak dan tingkah laku saat bersamanya. Rasanya sedih harus menahan semua yang ingin aku lakukan saat bertemu dengannya, aku yakin Langit tahu perubahan sikapku yang tiba-tiba. Namun anehnya, Langit tetap tersenyum padaku, dia tetap bertingkah seperti biasa. Langit bahkan tetap mencariku, merangkulku, dan tetap menggiringku kesana kemari seperti biasa.

Sebelumnya aku sempat cerita pada Bumi, tentang permasalahanku yang ditegur oleh teman sekelas dan berusaha menghindari Langit. Entah sihir apa yang Bumi berikan, setelah bercerita padanya aku dapat mengesampingkan permasalahan itu dan kembali bersikap biasa pada Langit. Bahkan merespon tingkahnya.

Baik Langit ataupun Bumi. Tidak ada satupun dari mereka yang pergi meski aku diam. Benar-benar membuat hatiku senang. Tapi sampai kapan kebahagiaan ini bertahan?

- White Wolf -   

Oh my skyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang