Tiga

39 4 0
                                    


MIKA


Aku mengerti jalan pikirannya walaupun tidak sederhana. Itu yang dulu membuatku suka padanya; melihat sesuatu dari sudut pandang lain. Aku bangkit dan berjalan ke kulkas di dapur. Mengambil satu bungkus besar Kit Kat yang sudah disimpan di sana, entah berapa lama. Membuka plastiknya sambil berjalan ke ruang depan. Duduk kembali di sofa, di sampingnya.

"Aku enggak tahu perasaanku sendiri," kataku. Menyodorkan bungkus kecil Kit Kat padanya. Dia mengambil dan membuka dengan cepat bungkusnya. Mematahkan isinya menjadi dua sebelum memasukkan satu persatu ke mulutnya.

"Kita ini Schrodinger's Cat," kataku, mencoba mematahkan batangan Kit Katku sendiri.

"Cats?" tanyanya.

"No. Cat."

"Kita? Perasaan kita?"

"Berapa banyak perasaan menurutmu?" tanyaku.

"Dua? Cats?" tanyanya lagi.

"Berapa banyak kucing yang tersakiti untuk urusan ini?" aku mencoba untuk melempar lelucon, sungguh.

"Dua?" Tuta berkeras. Dia tidak menangkap leluconku.

"Cat!"

Aku mengambil tumpukan kartu di sofa dan mengocoknya.

"Main lagi?" tanyanya.

"Katamu, ini harus disudahi."

"Oh, okay!" Reaksinya terlalu berlebihan. Dia membersihkan permukaan sofa dari remah Kit Kat dan duduk menghadapku dengan satu kaki dilipat.

Dia menang dan tanpa menunggu, langsung bertanya, "Kenapa kamu daftar ke kampus ini?"

Aku melempar kartu yang ada di tanganku dengan kesal.

"Demi Tuhan, Tuta! Kamu tahu aturannya. Bukan aku yang mau ke sini. Aku mendaftar lima kampus, kampus ini yang menerimaku. Ini enggak ada hubungannya denganmu!"

Dia tertawa. "Aku enggak bertanya apa ini ada hubungannya denganku atau enggak."

"Lalu?"

"Ini satu-satunya kampus yang menerimamu?"

"Ya," jawabku sambil merapikan kartu yang berantakan dan mengocoknya pelan.

"Ini kampus ketiga yang menerimaku. Aku menolak dua yang lain."

Aku menatapnya. "Jangan katakan ..."

"Aku ingin mengatakan itu."

Aku menghamburkan kartu di lantai. Aku semakin kesal. Bukan karena dia mengatakan ini sekarang, tapi karena dia mengatakannya seolah itu bukan hal besar. Itu hal besar! Dia....

"Aku ingin satu kampus denganmu," lanjutnya. Dia lalu berkomentar sinis, "Ini biar aku ada kerjaan? Memunguti kartu?"

Dia merapikannya sementara aku masih berusaha mencerna informasi yang baru saja aku ketahui itu.

"Kita masih mau main lagi enggak?" tanyanya kemudian.

"Kamu mencium cewek itu!" teriakku.

* * *

* * *

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


TUTA


"Aku enggak menciumnya," jawabku. Apapun jawabanku, dia tidak akan mendengar karena dia sedang marah. Mungkin bukan marah, tapi kesal. Dia membuka ikatan rambutnya dan mengulang ikat dengan cepat dan asal. Tidak membuat ikatan itu jadi lebih kencang dan lebih baik, tapi malah membuat lebih banyak rambutnya yang berantakan.

"You two kissed!"

"Kelihatannya begitu. Waktu itu, kamu minta break."

"Break bukan berarti putus."

Aku tersenyum. Samar, aku mengerti masalah ini. Tentang mengapa aku dan dia tidak pernah bisa saling terbuka sejak saat itu. Tentang hubungan yang perlahan ambruk dan pada akhirnya hancur seperti ini. Lucu kalau diingat sekarang, betapa berkali-kali aku membayangkan akan menghabiskan banyak sore setelah jam kuliah dengannya di kampus ini, berjalan pulang, mampir membeli kopi. Betapa impian itu hanya tinggal bayangan yang makin memudar setelah semuanya mulai berbentuk; kota ini, kampus ini, keberadaannya....

Aku memunguti kartu yang berantakan di sofa dan lantai, lalu menatap matanya yang bening seperti kelereng.

"Mika. Apa ini karena...."

* * *

HalfWhere stories live. Discover now