Dua

49 4 0
                                    


MIKA


Pertanyaan tentang rindu itu tidak perlu dijawab seandainya dia tahu betapa aku ingin menanyakan pertanyaan yang sama kepadanya. Pertanyaan itu tidak menakutkan, jawabannya membuat teror yang tidak ingin aku tahu rasanya. Setidaknya, untuk saat ini.

Aku berjalan ke ruang depan dengan mug di tangan kanan. Hangat mug ini dan aroma kopi membuatku sedikit tenang. Dia mengikutiku. Aku duduk bangku di depan meja belajarku. Dia berdiri di depan meja itu. Meletakkan mug-nya dan menunjuk ke arah tumpukan kartu yang ada di ujung meja.

"Poker?" tanyanya—lebih ke ajakan, sebenarnya.

"Truth poker?" aku balik bertanya.

"Demi Tuhan, Mika ... apa kamu mau naked poker?"

Aku tertawa. Naked poker memang terdengar menyeramkan dan sedikit ... menantang. Tapi kami tahu, kami tidak membutuhkan itu sekarang.

"Kenapa kita harus bermain, Tuta? Apa kita takut?" tanyaku.

Dia tertawa. "Kita ini memang penakut. Entah pada apa."

"Pada perasaan kita sendiri?"

Dia tidak menjawab lagi.

Kami biasa bermain truth poker untuk menyelesaikan masalah ketika jujur rasanya sulit. Aturan permainan ini sederhana sekali; kalau kamu menang, kamu bisa bertanya apapun pada yang kalah dan pertanyaan itu harus dijawab jujur. Harus jujur.

Aku mengambil kartu itu. Mengocoknya sambil berjalan ke sofa. Meletakkan dua tumpuk hold cards, masing-masing dua di permukaannya. Dia memilih untuk duduk di sebelah kanan. Kami pun berhadapan. Tidak boleh ada yang mundur di deal yang pertama—begitu aturannya. Dia menyusun tiga flop cards di antara kami. Kartu yang tidak terlalu bagus kombinasinya. Aku membuka tumpukan kartu milikku. Aku ingat dengan jelas bagaimana peraturan permainan ini. Yang aku lupa; bagaimana memenangkannya. Karena sudah terlalu lama. Aku menggunakan kartu ini untuk bermain truf dengan teman-temanku, biasanya. Bukan untuk poker dengan taruhan seperti ini.

Lalu the turn. Empat kartu di antara kami.

Lalu the river. Lima kartu di antara kami.

"Sudah lima bulan," katanya.

"Ya," jawabku. Singkat saja.

Dia membuka kartunya.

Aku kalah dan merapikan kartu.

"Kenapa kita enggak putus aja sekalian?" tanyanya.

Ini truth poker. Aku harus menjawab pertanyaan ini dengan jujur. Kalaupun aku berbohong, dia tidak akan tahu. Tapi, aku ingin semua ini selesai dengan kejujuran. Aku pun menjawab.

"Karena kita berdua enggak ada yang rela?" Aku menjawab dengan pertanyaan.

"Kamu?" Dia bertanya lagi.

"Satu ronde lagi?" tanyaku. "Kamu mengeluarkan satu pertanyaan baru."

Satu ronde lagi. Aku kalah.

"Aku belum rela," jawabku.

Satu ronde lagi. Dia kalah. Aku menanyakan pertanyaan yang sama.

"Aku enggak mau putus," jawabnya.

Satu ronde lagi. Dia kalah.

"Lalu, kenapa kita seperti ini?" tanyaku.

Dia terdiam sebentar.

HalfWhere stories live. Discover now