"Ibu...," ucap Farhan kecil yang saat itu usianya sekitar 4 tahunan. Tak pelak Sarah kaget setengah mati.
"Farhan ... kamu kemana aja? Ibu sangat khawatir," ujar Sarah secepat kilat menyambar Farhan dan memeluknya. Tentu saja sebuah pelukan bertaburkan air mata palsu.
"Kenapa ibu tidak melaporkan pada kami kalau kehilangan seorang putra?" tanya polisi itu penasaran.
"Oh, saya baru saja ingin melaporkannya. Terimakasih karena sudah membawa Farhan kembali," ucap Sarah terbata-bata. Tak lama kemudian ia melepas pelukannya pada Farhan dan berdiri.
"Iya, Bu. Kalau begitu saya permisi," ujar polisi itu dengan senyumnya. Sarah hanya menganggukkan kepala.
Tak butuh waktu lama, Sarah menyeret Farhan ke dalam rumah. Ia merasa sebal, kacau, dan amat-amat marah. Berkicau yang entah sudah berapa banyak umpatan yang keluar dari mulutnya.
"Kamu diam di sini!" teriak Sarah emosi. Ia menyuruh Farhan berdiri di pojok ruangan. Di samping kanan terdapat sebuah kursi sederhana untuk tamu yang berkunjung sedangkan di kirinya sebuah televisi butut yang ketika dinyalakan, seringkali memperlihatkan layar yang tampak seperti kerumunan semut berjalan.
Farhan berdiri sambil menundukkan kepalanya. Ia rasa ia paham bahwa ibunya sedang marah.
Beberapa jarak dari Farhan, wanita itu mengamati putranya sambil duduk di bangku ruang tamu yang sudah reyot. Berpikir panjang yang tak ada ujungnya.
Entah mengapa, setiap ia ingin memisahkan diri dengan Farhan, anak itu selalu kembali padanya.
Ini bukan pertama kalinya ia meninggalkan Farhan di keramaian. Sekitar tiga bulan yang lalu, ia meninggalkan Farhan di pasar besar. Tak lama kemudian sepasang muda-mudi mengantarkannya pulang ke rumah dalam keadaan utuh, sementara Sarah sendiri saat itu sedang mengadakan pesta kecil-kecilan atas musnahnya Farhan dari kehidupannya.
Pun saat ia meninggalkan Farhan yang masih bayi di panti asuhan. Secara tak sengaja, seorang wanita paruh baya melihat gelagatnya. Ia kemudian membawa bayi Farhan pulang ke rumah lantas memberi ceramah panjang lebar pada Sarah.
Saat kejadian Farhan diantar ke rumah oleh seorang polisi, sejak itulah Sarah akhirnya menyerah. Ia sadar bahwa dirinya selalu kalah pada takdir.
Sama halnya dengan Farhan, sejak saat itu jika ibunya mengajak ke suatu tempat, Farhan selalu merasa was-was. Kalau-kalau ibunya ingin membuangnya lagi.
***
Sarah memarkirkan motor butut itu di depan Indomarket. Supermarket terbesar di daerahnya. Beberapa orang lalu lalang di depan pintu masuk otomatis yang cukup lebar. Seorang pegawai pria berseragam abu-abu berpadukan celana hitam terlihat sibuk mengepel lantai. Seseorang baru saja menumpahkan minuman soda berwarna merah pekat.
"Cepetan turun. Kamu nggak lihat kalau kita udah sampai?" Sarah menggerutu sebal. Entah kenapa hari-harinya selalu dipenuhi emosi.
Farhan turun pelan-pelan sambil memandangi sekitar. Ia melihat tulisan besar, 'INDO-MARKET' terpampang jelas.
"Apa ibu mau ninggalin aku di sini?" pikir Farhan dalam hati. Secepat kilat Farhan membuang pikiran itu. Toh, ia sudah hafal nama lengkap ibunya, tanggal lahir, nomor KTP, nomor telepon, dan nomor plat motor milik ibunya. Farhan menghafal semua itu lekat-lekat di otaknya.
Entah sejak kapan ia mengerti, dengan menghafal semua itu akan lebih memudahkan baginya menemukan Sarah sekalipun ibunya itu berusaha menghilang ke dasar bumi.
4. Lollipop
Start from the beginning
