“Apa tindakan dan perkataan ku semalam tak bisa memberikan penjelasan kepada papa?”

Nadaku memang terdengar ketus. Aku sengaja melakukan ini.

“Ini masih terlihat semu. Yang papa tahu kemaren itu, kamu tiba-tiba pulang dengan wajah babak belur setelah berangkat beberapa jam dari rumah. Dan kamu sama sekali tak mau memberikan penjelasan atas apa yang kamu alami itu. Kemudian, sampai pada malam harinya, Flora belum pulang juga. Tak biasanya dia begitu. Kamu mencarinya. Dan setelah itu…Setelah itu kamu…”

Papa memicing. Mematikan rokoknya secara tiba-tiba. Tak mampu lagi untuk melanjutkan perkataannya yang menggantung. Tapi mungkin aku cukup tahu apa maksud dari perkataan papa barusan. Papa masih terlihat shock dengan pengakuan ku semalam.

“Iya. Aku suka sama Flora. Aku cinta sama dia. Bahkan semenjak pertama kali kami bertemu. Apalagi yang mau papa tanyakan?”

Setelah menatap mata papa sesaat, mataku kemudian terarah kepada Flora yang juga kebetulan sedang memperhatikanku diam-diam. Aku baru tahu kalau dia juga sedang menunggu penjelasan dariku. Cepat cepat dia membuang muka. Menundukkan pandangannya lagi sehingga aku tak sempat untuk mengurung matanya.

“Lalu…bagaimana dengan gadis yang kamu maksud kemaren itu? Gadis yang masih sekolah, belum bisa kamu lamar, membuat kamu menolak untuk dijodohkan, dan banyak hal lain yang menghalangi kamu untuk mendapatkannya itu…apa adik tiri kamu ini juga orangnya?”

Papa menatapku tajam. Apa maksud papa memperjelas semua ini? Berlagak sok polos seakan tak tahu dengan gadis yang ku maksud itu. Apa papa ingin mengujiku?

“Tentu saja pa. Karena hanya dia yang kutuju. Nggak ada yang lain.”

Ujarku mantap. Ku usahakan untuk bersikap setenang mungkin.

“Hebat. Benar-benar hebat karena kamu masih bisa bersikap sesantai ini.”

“Aku bisa santai karena ini memang bukan masalah besarkan pa? Kami nggak sedarah, kami nggak ada ikatan keluarga, ku rasa nggak ada hal apapun yang akan menghalangi kami berdua. Meskipun memang cinta ku masih belum berbalas saat ini.”

Lagi. Aku menatap Flora yang tiba-tiba menegakkan kepalanya kembali untuk beradu mata denganku. Dia tampak kaget dengan ucapanku. Apa aku sudah menyakitinya? Iya. Aku memang menyakitinya. Bahkan aku egois. Tapi inilah aku. Aku sudah tak bisa menghentikan semua ini. Bahkan meski belum terlanjur pun, aku akan tetap egois seperti ini.

“Ck! Jangan berpikir sesederhana itu anak muda! Karena bagi papa dan Lilian ini adalah masalah besar. Bahkan mungkin bagi Flora juga adalah masalah besar. Tolong jangan egois Rel…”

“Oke. Sekarang aku mau Tanya ke mama Lilian. Apa ada yang salah dengan perasaanku ini? Alasan seperti apa yang membuatku harus menghentikan ini? Alasan apa ma?”

Tanyaku dengan nada memelas. Ku tatap mama yang juga sedang menatapku dengan mata berkaca-kaca. Bagian bawah mata mama terlihat menghitam. Ku rasa dia tak tidur semalaman karena memikirkan masalah ini. Apa sesulit itukah masalah ini? Ku rasa tidak.

“Nggak ada yang salah dengan perasaan kamu nak. Tapi ini sulit. Bahkan mungkin mustahil terjadi untuk keluarga kita. Karena kita memang sudah ditakdirkan menjadi keluarga dari awal. Tak ada yang bisa merubah itu.”

Aku menghela nafas kasar meredam emosiku saat mendengar jawaban dari mama. Dari ketiga orang yang berada diruang keluarga ini, sama sekali tak ada yang bisa membantuku.

“Baik ma. Aku sudah bisa mencerna jawaban dari mama. Itu artinya mama sepakat dengan papa kan? Nggak masalah ma. Karena semuanya akan tetap berjalan seperti rencanaku.”

Family Flower's WeddingWhere stories live. Discover now