1. Pemain Sinetron, Anak Haram

82.5K 7.3K 692
                                    

Ini tulisa ku tahun 2017 yaaa, masih acak2an ini hahahaa

Tapi demi menemani kegabutan, aku repost yaa. Soalnya mager mau ngetikk masaaa hahahaa

***

"Jadi gue harus gimana, Bi?"

Gilang mendesah frustrasi, ia memijat kening secara serampangan. Tak tahu lagi harus bagaimana bersikap. Ia gugup, lebih dari itu, Gilang tak tahu harus melakukan apa lagi selain mondar-mandir di teras samping rumah sahabatnya sedari kuliah ini.

"Ya, tapi kan lo nggak salah, Lang."

"Iya, memang. Gue nggak salah, Bi. Sumpah mati, gue nggak ada ngumpetin anak orang!" seru Gilang sambil mengusap wajahnya. "Cuma ini orangtuanya si Mira nuduh gue yang nyulik anaknya. Gila aja! Mereka nggak mau dengerin alasan gue yang bilang kalau gue sama Mira udah putus empat bulan lalu."

Abi menarik napas karena prihatin. Pandangannya mengiba dan ia membuat mimik turut bersedih atas nasib yang menimpa rekannya ini. "Mira nggak pernah ngomong kali sama nyokapnya kalau kalian udah bubar," Abi tampak hati-hati mengutarakan pendapatnya. "Dan selama beberapa tahun ini, kan cuma lo yang ngejogrok di rumah, Lang. Udah jelas, ortunya Mira tahunya lo doang."

"Tapi itu kan nggak bisa dijadikan alasan nuduh gue gitu, Bi," Gilang tak terima. "Mau mampus gue rasanya, pas bokapnya Mira datang ke pabrik, teriak-teriak manggilin nama gue. Nggak dicekik bokap gue aja, udah syukur gue."

Abi tak tahu harus merasa iba atau justru tertawa membayangkan wajah sok keren Gilang mendadak sepucat kapas sewaktu orangtua Mira—mantan kekasih Gilang—melabrak pria itu di pabrik makanan ringan milik keluarganya. "Jatuh nggak harkat dan martabat lo di depan karyawan bokap lo, Lang?" cengir Abi mencoba berkelakar.

"Sebandel-bandelnya gue, baru kali ini rasanya gue bikin malu bokap gue, Bi." Curhat Gilang dengan tatapan bersalah. "Malu banget gue, dilabrak bapak-bapak karena masalah perempuan. Sintingnya, gue dituduh ngumpetin mantan cewek gue pula. Bah, mau jadi apa harkat dan martabat seorang Gilang Kurnia Fajar?"

Abi tertawa lepas, kali ini ia sudah bisa mengambil sikap untuk kasus temannya ini. Ya, Abi sudah menghilangkan keprihatinannya. Gilang tak pantas mendapatkan hal itu. "Lo sih, pacaran sama Mira kelamaan," cetus Abi tertawa.

"Hampir tiga tahun, Bi," gumam Gilang kembali memijat keningnya.

"Pacaran tiga tahun itu, udah hampir sama kayak kredit motor. Nambah dua tahun lagi udah bisa kredit mobil."

"Resek lo!" Gilang mendengkus sebal. "Yang penting gue bukan playboy, gue gentle dengan macarin satu perempuan aja." Ketika Abi menanggapinya dengan putaran bola mata, Gilang menatap pria itu masam. "Pacaran tiga tahun lo bilang kayak kredit motor, 'kan? Mending dong, ketimbang pacaran tiga bulan kayak kredit panci?"

Terbahak-bahak, Abi segera mengusap wajahnya agar tawanya bisa teredam. "Tapi kredit panci nggak bikin lo harus bayar pajak, Lang."

Membalas ucapan Abi dengan cebikan, Gilang memilih duduk dan menyerut kopi pahit, sesuai permintaannya pada istri Abi. Well, benar, Abi temannya ini sudah menikah. Dan kalau Gilang boleh mengomentarinya, sudah bahagia sejahtera. Sementara dirinya, masih luntang-lantung mencari segenap tawa yang abadi. Oke, untuk bagian terakhir, Gilang tak setuju. Karena satu-satunya yang ia tunggu adalah bidadari bersayap emas dengan deretan kemilau yang bisa membuatnya buta ketika sekali pandang.

Tapi rasanya, menjadi buta tak mengenakan, baiklah, Gilang akan merevisi keinginannya.

Jadi, sebenarnya Gilang sedang menunggu jodoh.

Iya, jodoh.

Katanya saja sekarang sudah era millennium. Masanya, di mana saat makan sendok di tangan kanan sementara ponsel di tangan kiri. Tetapi untuk urusan jodoh, tetap saja masih berada di tangan Tuhan.

Knock My SoulWhere stories live. Discover now