Bab 1: Koper Misterius

Start from the beginning
                                    

Kesembuhan Dafa adalah prioritas utama baginya. Sebagai seorang kaka, dia rela melakukan apa saja, tidak peduli sekalipun dia harus banting setir menjadi pengedar narkoba dan mengesampingkan cita-citanya. Sore tadi, Alfian baru menyelesaikan dua transaksi penjualan narkoba jenis sabu di daerah pelabuhan tikus. Semua itu dia lakukan untuk Dafa. Alfian ingin Dafa segera sembuh—agar Dafa bisa tumbuh, bersekolah, dan bermain selayaknya anak-anak seusianya.

Dafa tidak pernah merasakan bagaimana rasanya hidup normal. Teman pun dia tidak punya. Dia selalu terkurung di rumah karena penyakit yang dia derita. Hidup tanpa kedua orang tua, membuat Alfian harus memutar otak untuk mencari uang. Pekerjaan yang dia lakoni kebanyakan serabutan. Bukan pekerjaan tetap. Sebab, pendidikannya di universitas belum terampungkan. Rutinitas yang ia jalani membuatnya sering berada di luar rumah sehingga tidak bisa selalu menemani adiknya. Dafa pastilah sangat kesepian, Alfian tahu itu. Suatu sore, dalam perjalanan pulang dari kampus, dia pernah melihat Dafa di taman kota. Dafa sangat ingin mengajak anak-anak seusianya bermain bersama, tetapi anak-anak itu menolak dan meninggalkannya begitu saja.

“Kenapa? Kenapa kalian malah pergi?” tanya Dafa saat itu.

“Gak! Kami nggak mau main sama kamu!”

“Iya, kalau kamu nanti pingsan gimana?”

Menggenggam erat tali koper, Alfian bepikir, tampaknya Tuhan telah menunjukkan jalan dengan cara lain. Setelah ini, mungkin, Alfian tidak perlu lagi mejadi pengedar sabu.

Dafa ..., lirih Alfian dengan binar mata penuh tekad.

Dia mengangguk pada dirinya sendiri, lantas berseru keras dari kursinya, "Pak, saya turun di sini!"

Secepat kilat dia mengemasi barang bawaannya, kemudian beranjak ke pintu depan. Sejauh dia melangkah sampai ke pintu keluar, tidak ada satu orang pun yang curiga, atau tiba-tiba berteriak meng-klaim koper yang dijinjingnya.

Alfian merasa sangat lega.

Usai membayar ongkos, dia pun langsung melompat turun. Kakinya mendarat dengan mulus di atas aspal. Dia menunggu selama beberapa saat. Tak lama bus menggerung meninggalkannya seorang diri. Jejaknya menyisakan gumpalan asap serta debu jalanan yang terpaksa dia hirup sampai terbatuk-batuk.

Alfian lantas mengedar pandang. Di sisi kanan dan kirinya terhampar padang ilalang yang luasnya tidak bisa ia perkirakan. Angin malam berembus sunyi, membawa tumbuhan liar itu menari dalam diam. Mereka melambai-lambai, seperti tengah menyambut kedatangan seseorang.

Alfian mendongakkan kepala. Bulan di atas sana perlahan menutup diri di balik segumpal awan hitam. Diperhatikannya tempat itu dengan saksama. Sekitar tiga atau empat meter di depan, berdiri tiang lampu jalan yang sesekali mati, yang menjadi satu-satunya penerangan di tempat itu.

Alfian harus berjalan kurang lebih lima puluh meter lagi untuk bisa sampai di persimpangan jalan berikutnya. Dia melangkahkan kaki dengan cepat, merasa tidak sabar untuk segera pulang ke rumah. Dafa, tunggu Kakak, serunya sambil tersenyum haru. Saat ini, adik kecilnya itu pasti sedang menunggu dengan perut kelaparan.

Separuh jalan telah ditempuhnya. Namun, langkah kaki Alfian yang dipenuhi antusiasme mendadak tertahan oleh sesuatu. Perasaan was-was dan cemas itu tiba-tiba datang tanpa sebab.

Aneh. dia melirik sekitar. Sejak tadi tidak didapatinya mobil atau seorang pun melintasi daerah itu atau sekadar berpapasan dengannya. Alfian menatap arloji di pergelangan tangan. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam padahal. Ke mana orang-orang? Terlalu senyap. Ini sama sekali tidak bagus.

Alfian menelan ludah gugup. Dia berusaha untuk tidak mencurigai seseorang atau sesuatu yang entah apapun itu sedang mengawasinya di belakang. Akan tetapi, benaknya, nalurinya, tubuhnya bereaksi. Merasakan adanya suatu ancaman. Sesuatu yang tak bisa dia terjemahkan secara pasti, yang secara refleks membuat kepalanya menoleh ke belakang.

CIRCLE [Revisi]Where stories live. Discover now