Dia; Oh Sehun

2.6K 290 15
                                    

Seperti biasa, pada saat jam istirahat aku lebih memilih memakan bekal yang disiapkan ibuku didalam kelas dengan ditemani Wendy---sahabatku.

Aku bukan seseorang yang pandai bergaul. Tidak cantik. Tidak kaya. Dan bukan seseorang yang populer. Sangat jauh dengan Wendy yang cantik, kaya, pintar dan bahkan populer. Aku bahkan sempat heran, seseorang yang berkelas seperti Wendy, mau berteman dengan gadis biasa sepertiku. Tanpa memandang paras atau tahta, tentunya.

Aku sangat bersyukur, tentu saja. Disaat seluruh warga sekolah memandangku sebelah mata karena aku 'si murid beasiswa', masih ada Wendy yang dengan baik hati mengulurkan tangannya kepadaku;

sebagai awal persahabatan, katanya.

Aku menghela napas.

Setidaknya aku punya Wendy disisiku. Dan setidaknya aku cukup pintar hingga membuat siswa-siswi disekolah ini segan untuk berlaku buruk padaku.

Aku menatap Wendy yang tengah memakan bekalnya tepat disampingku. Aku tersenyum. Kemudian menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutupi wajahnya. Wendy menoleh. Dengan makanan yang masih penuh berada dalam mulutnya. Membuatnya terlihat imut dan aku tidak tahan untuk mencubit pipinya gemas.

"Bahkan saat sedang makan pun, kamu masih tetap terlihat menawan,"

Aku masih mencubiti pipi Wendy gemas. Wendy melepaskan kedua tanganku kemudian memberengut sebal.

"Yak, Kang Seulgi! Pipiku bisa semakin melar kalau kamu cubiti terus!" Dia menjeda ucapannya.

"Dan lagi.... Berhenti berkata omong kosong! Mana ada orang yang terlihat menawan saat sedang makan? Kurasa cuma kamu yang berpikir begitu,"

Aku terkekeh dan Wendy kembali melanjutkan makannya. bekal yang dimakan itu bekal buatan ibuku, kalau kalian ingin tahu. Ibuku selalu memberiku dua bekal. Satu untukku dan satu untuk Wendy. Ibuku tahu Wendy sangat dekat denganku. Dan Wendy tidak pernah menolak bekal buatan ibuku meskipun saat itu dia sudah makan. Wendy selalu bilang, masakan ibuku tiada duanya. Selalu enak. Meski cuma nasi goreng, atau makanan-makanan biasa yang tidak bisa dibilang mewah. Wendy bilang; apapun itu, asal ibuku yang masak, semuanya akan terasa nikmat. Aku cuma bisa menggelengkan kepala sambil terkekeh.

"Oh iya, Seulgi,"

Bertepatan dengan bekalku yang sudah habis, Wendy berbicara seraya menutup kotak bekalnya---punyaku---kemudian minum dan menatapku serius. Aku mengernyit bingung. Menunggu untuk melanjutkan kalimat apa yang akan dia katakan selanjutnya.

"Kamu masih menyukai si wajah datar itu?"

Aku tersedak air minumku sendiri.

Aku terbatuk. Wajahku memerah. Wendy dengan sigap tapi lembut langsung menepuk-nepuk pundakku guna meredakan batukku. Aku menoleh kearahnya, dengan masih sedikit menyisakan batuk.

"a-apa? kenapa kamu bertanya begitu, Wendy?"

Wendy bersedekap dada. Dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Kamu masih menyukainya? Yaampun, Kang Seulgi?! Kamu pikir memangnya sudah tahun berapa? Mau sampai kapan kam-"

Wendy mendadak menghentikan ucapannya. Aku menatapnya bingung.

"Kenap-"

"Jangan melihat kedepan, Kang Seulgi!"

Aku semakin bingung. Kenapa aku tidak boleh melihat kedepan?

Tidak mengindahkan perkataan Wendy, aku menatap kedepan.

Dan aku menyesal.

Disana ada Oh Sehun. Seseorang yang sudah kukagumi sejak dulu dan kini tengah tertawa lepas bersama seorang gadis---yang diyakini oleh seluruh siswa-siswi disini sebagai pacarnya.

Sorot mata dan ekspresiku langsung berubah. Wendy menyadarinya. Dia merangkulku dan sesekali mengusap punggungku sebagai bentuk kekuatan untukku. Aku cuma mengangguk sambil tersenyum samar seolah aku baik-baik saja.

Kulihat kini Sehun dengan pacarnya memasuki kelas sambil masih tertawa lepas. Aku masih memperhatikan dan Wendy masih setia merangkulku dengan pandangan yang kentara tidak sudi menatap Sehun. Fyi, Sehun, Wendy, dan aku sekelas. Sedangkan gadis yang bersama Sehun, siswi kelas sebelah. Untuk beberapa detik, pandangan mataku bersibobrok dengan manik kelam tajam milik Sehun. Dia yang tadinya kulihat tertawa lepas, hanya dalam seperkian detik, langsung menghentikan tawanya dan memasang ekspresi datar.

Aku tercekat.

Seolah ada benda tajam yang menghunus tepat dijantungku.

Sehun yang tadinya sudah memasuki kelas, langsung menarik tangan gadisnya guna kembali meninggalkan kelas. Bisa kulihat wajah kebingungan gadisnya yang tidak diindahkan oleh Sehun.

Sehun lebih memilih pergi setelah pandangan kami sempat bertemu selama beberapa detik.

Aku menatap kepergiannya dengan tatapan nanar.

Selalu.

Selalu berakhir seperti ini, Oh Sehun.

Ketika pandangan kita saling beradu, atau ketika kita ada disatu tempat yang sama....

Kamu selalu memasang wajah datar yang terkesan dingin.

Seolah memang kamu tidak sudi melihatku.

Seolah memang aku ini menjijikan dimatamu.

Sebelum-sebelumnya aku selalu kuat dan meyakinkan diriku sendiri untuk tidak menangis.

Tapi untuk hari ini....

Kamu berhasil meruntuhkan pertahananku,

Dinding yang sudah kubuat kokoh sedemikian rupa,

Nyatanya harus hancur....

Hanya karena kamu.

Dan aku ingin, hanya untuk hari ini saja,



bolehkah aku menangis?


*****

Gimana sama part kali ini? Stop or next?

Jangan lupa tinggalkan jejak yaa^^

Dear You [Seulhun]Where stories live. Discover now