Juni, 2010.

45 7 2
                                    

Gue menghembuskan nafas kasar melihat lembaran hasil ujian yang baru saja dibagikan oleh guru matematika kami, Bu Listya. Masa nilai gue 60?! Mau nangis aja rasanya.

"Wey, lo dicariin Cacha tuh." Darma, salah satu teman sekelas gue berkata sambil nepuk pundak gue. Gue mengangguk, "oke."

"Kenapa, Cha?" Tanya gue sambil meminum soda berperisa stroberi tersebut. Cacha berdecak melihat gue meminum soda, dia memang selalu nggak suka liat gue minum soda. Apalagi gue kebiasaan minum soda tiap pagi, yang suka bikin Cacha ngejewer telinga gue. Namun sedetik kemudian, wajah Cacha kembali berubah diam dan matanya mendadak sedu. "Kenapa lo?"

"Arga ... katanya Arga lagi deketin kakak kelas."

Buset. Fix sih ini Arga gercep banget, baru aja dua hari Arga masuk sekolah sini. Udah mau ngegebet kakak kelas aja. Mantap banget. "Sumpah?!" Tanya gue gak percaya.

Cacha mengangguk, "iya. Gue dikasih tau sama kakak kelasnya langsung, kak Nara."

Gue langsung mengangguk mengerti. Kak Nara Ramandhani. Kakak kelas XI itu memang cantik, cukup popular dan sangat manis. Dia baik banget ke semua orang, tiap kak Nara ngomong rasanya gue mau garuk garuk tembok aja saking gemesnya. Merdu banget, buset.

"Yaudahlah, Cha. Nyerah aja." Jelas gue sambil ngangguk ngangguk. Ini masalahnya lawan Cacha itu kak Nara, gais. Buset aja kalau mencoba melawan kak Nara. Gila.

Cacha mendengus, "Lo sebagai teman yang baik ngedukung gue dong, gimana sih." Gue cengengesan, "Sori, sister. Ini masalahnya kita berhadapan dengan kak Nara, Aku pun kalau disuruh milih nyelamatin dia atau kauw yang lagi kelelep, wak, aku sumpah masih milih kak Nara. Huehehehe."

"Tai." Cacha berdecak, gue ketawa lagi.

                        
••••

"Selamat pagi, Senja. Eh lucu ya kalo disebut kaya gini. Hehe." Arganta mendadak sudah berdiri disamping meja belajar gue,  bikin gue yang masih ngerjain PR dari Nyai Rina, bingung sendiri. "Ngapain lo disini?"

"Nyapa."

"Hah?"

"Iya nyapa aja."

"Bukan gitu maksud gue, goblok. Aku—ah, gue nanya, kenapa kauw—lo udah disini pagi pagi?"

Arganta mengernyit, "Batak?"

Gue menggeleng dengan cepat. "Hanya pernah tinggal didaerahnya. Dan itu bukan urusan lo juga, sih ya."

Gue bisa ngeliat senyum Arganta melebar. "Tapi kalau gue mau ikut campur urusan lo, gimana?"

Anjir, kenapa sih ini orang? Kurang minum obat apa gimana? Gue bergidik ngeri, rasanya mau pergi cepet cepet aja kalo gak mengingat pr ini harus dikumpulkan. "Bodo."

Tidak banyak kejadian yang aku ingat dari tujuh tahun yang lalu, tapi masih teringat jelas sebuah perasaan asing yang menelusup hatiku ketika lelaki itu mengucapkan namaku dengan caranya sendiri.

Tapi aku menolak untuk mengakuinya.

How stupid.

Arganta MahesaWhere stories live. Discover now