01

1K 174 129
                                        

"JIHOON-HYUNG!!!"

Jinyoung terbangun dari mimpi buruknya. Mimpi buruk tentang kejadian setahun yang lalu di mana takdir memaksa untuk merebut kekasih tercinta dari sisinya.

Jinyoung mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang. Ia berada di kamarnya yang gelap dan sunyi. Saking sunyinya ia sampai bisa mendengar detak jantungnya yang berdebar tidak terkendali. Peluh membanjiri tubuh Jinyoung. Napasnya memburu.

Bayangan Jihoon yang bersimbah darah muncul kembali dalam ingatannya. Membuat tubuhnya gemetar seketika.

Sudah setahun...

Dan bayangan kejadian pada malam Natal itu masih saja menghantuinya.

Jinyoung meraba-raba nakas di samping tempat tidurnya, mencari botol berisi obat penenang yang setahun belakangan ini ia konsumsi. Setelah mendapatkannya Jinyoung menuang isi botol itu ke telapak tangannya, menelan dua butir pil bulat tersebut sekaligus tanpa air.

Perlahan namun pasti detak jantung Jinyoung kembali teratur. Napasnya kembali tenang. Dan kelopak matanya mulai memberat. Ia merebahkan kembali kepalanya di atas bantal. Mencoba memejamkan matanya dan kembali tidur.

Jinyoung kembali tidur... Walau masih dengan keadaan hati yang diliputi perasaan takut dan sedih.

* * *

"Kau harus mulai berhenti mengkonsumsi obat penenang, Jinyoung." Suara tegas dan penuh wibawa berasal dari pemuda berusia 27 tahun yang sedang duduk di seberang Jinyoung.

Ia mengenakan jas khusus dokter berwarna putih. Sebuah kacamata membingkai matanya yang saat ini sedang menatap Jinyoung dengan pandangan marah.

"Aku tidak akan pernah bisa tidur tenang kalau tidak mengkonsumsi obat ini, Hyung," balas Jinyoung keras kepala.

"Itu karena kau sudah telanjur kecanduan dengan obat-obatan ini. Tapi selama kau masih mau, kau bisa sembuh, Jinyoung. Aku mohon... Semua obat ini akan merusak jantungmu." Pemuda dihadapan Jinyoung itu kembali berbicara. Kali ini raut wajahnya terlihat khawatir.

Pemuda itu bernama Hwang Minhyun. Sepupu Jinyoung yang berprofesi sebagai dokter di Rumah Sakit Seoul. Usia Minhyung terpaut 8 tahun dengan Jinyoung. Mereka sama-sama anak tunggal. Itulah sebabnya kenapa Minhyun bertingkah sangat protektif pada Jinyoung. Ia sudah menganggap Jinyoung sebagai adiknya sendiri.

Ketika tidak ada respon yang terdengar dari Jinyoung, Minhyun kembali meneruskan ucapannya.

"Aku sudah membicarakan mengenai masalahmu ini dengan Paman dan Bibi. Kami sepakat untuk memindahkanmu ke Hongkong, tunggu dengarkan aku dulu," Minhyun buru-buru mengangkat kedua tangannya untuk menghentikan Jinyoung yang sudah bersiap-siap menyuarakan protesnya.

"Tinggal di tempat baru, melihat orang-orang baru dengan suasana yang baru bisa menjadi terapi yang bagus untukmu. Menurut kami, yang selalu membuatmu tidak bisa berhenti memikirkan Jihoon adalah karena ke mana pun kau pergi, siapa pun orang yang kau temui di sini, semuanya menginggatkanmu pada Jihoon."

Jinyoung menundukkan kepalanya begitu mendengar nama Jihoon. Rasa sedih dan takut itu datang kembali. Bayangan yang selalu menerornya hampir setiap malam terlintas lagi di pikirannya.

Minhyun menghela napas pelan begitu melihat perubahan wajah Jinyoung. Nada bicaranya melembut saat ia kembali berbicara.

"Kami melakukan semua ini karena kami peduli padamu, Jinyoung-ah. Kami semua menyayangimu. Kau tidak akan pernah tahu betapa khawatirnya Paman dan Bibi melihat kondisimu saat ini. Bahkan orang tua Jihoon masih sering menanyakan bagaimana kabar dan kondisimu selama ini."

If It Is You • WinkDeepDove le storie prendono vita. Scoprilo ora