Identity

732 38 7
                                    

Matanya sembab setelah menangis semalaman. Tapi pagi ini, ia sudah terlihat lebih segar dan ceria. Amora memang bukan tipe orang yang terlalu terlarut dalam masalah atau kesedihannya.

Miris memang, mengingat sekarang ia tinggal di negeri orang sekarang ini.

"Amora."

Ya, dia tidak sendirian karena Julian selaku dokter dan sahabat barunya selalu menemani dan memotivasi wanita itu untuk sembuh.

"Ada apa Julian?"

"Kamu sudah minum obat?"

Amora merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan tabung kecil berisi beberapa butir pil berwarna biru. "Aku baru akan meminumnya."

Julian tersenyum masam. "Kau telat minum obat lagi." ia menarik napas. "Ayo, kemoterapimu sudah hampir siap dirumah sakit."

Amora meneguk air minumnya sekali lagi kemudian mengangguk. "Ayo."

Perjalanan keduanya tidak terlalu memakan banyak waktu karena posisi apartemen Amora yang memang berada sangat dekat dengan rumah sakit.

"Mrs. Grace White." panggil seorang suster memanggil.

Amora bangkit, Julian tadi meninggalkannya di ruang tunggu dan lebih dulu masuk ke ruang periksa.

"Selamat pagi dokter." sapa Amora dengan senyum lebar yang dibuat-buat.

"Duduklah, Amora."

"Namaku Grace, Julian."

"Tidak saat kau sedang bersama denganku." balas Julian mengedipkan sebelah matanya.

Amora tersenyum tipis. Ia menyukai nama barunya, nama yang Julian berikan untuknya pada hari ke-12 ia berada disini. Mungkin, ia juga harus membiasakan memanggil dirinya Grace. Ia tahu membuat identitas palsu seperti ini memang berbahaya. Tapi setidaknya ini akan sedikit membantu Amora untuk menghindari Brian, karena entah mengapa Amora sangat yakin kalau Brian akan mencarinya.

Walau kenyataannya pasti mustahil. Brian akan melupakannya, iya kan?

Julian berdehem. "Bumi memanggil Amora."

Amora menoleh, ia tersenyum dan memukul ringan tangan Julian yang berada di atas meja putih. "Mari kita mulai, Julian."

"Percayalah Amora, aku akan membantumu sampai kau sembuh. Kau pasti sembuh." ujar Julian sangat yakin.

Mengangguk, Amora bangkit dan berjalan menuju ruang ganti. Ia harus mengganti pakaiannya lebih dulu sebelum melakukan kemoterapi. Ia harus rutin melakukan prosedur menyakitkan ini. Julian pernah mengatakan kalau kemungkinan kesembuhan setelah kemoterapi tidak dapat dipastikan. Kemoterapi mungkin bisa menghambat pertumbuhan sel kanker tapi tidak benar-benar mematikan sel tersebut.

Amora mencengkram seprei kasur sekencang-kencangnya, mengatupkan kedua bibirnya kuat. Rasanya sangat menyiksa, seperti ada ribuan jarum yang menusuk sekujur tubuhnya. Ia ingin menangis, ingin berteriak, tapi apa dayanya?

Sekarang Amora bisa mengerti kenapa ada banyak penderita kanker yang mengatakan lebih baik mereka mati daripada harus terus-menerus melakukan kemoterapi ini. Amora merasa bahwa dirinya bahkan sudah sangat dekat dengan kematian.

"Julian. Sakit." dua kata. Setelah itu, Amora tidak sadarkan diri.

.
.
.

"Oh ibu dan ayah selamat pagi, ku pergi sekolah sampailah nanti." Alea tersenyum sembari menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Didepan sana, ada seorang wanita yang membimbing anak-anak untuk menyanyikan lagu kebangsaan anak TK itu.

Matt mendengus. "Alea jangan senggol aku."

Mendengar hal itu Alea semakin kencang menyenggol-nyenggol tubuh Matt yang lebih tinggi darinya. Bibirnya tersenyum lebar. Matt menghela napas.

"Terserah kamu." ujar Matthew pasrah.

"Mama bilang, kamu akan tinggal dirumah aku untuk sementara waktu." Matt menoleh, menatap Alea yang sudah mulai berhenti bernyanyi dan menggoyangkan tubuhnya. "Dan kamu akan tidur sama aku karena kamar tamunya terlalu besar kalau untuk kamu sendiri." suara Matt kian mengecil.

Ibunya sudah memberitahu alasan Alea akan tinggal bersamanya untuk sementara waktu. Dan jujur, Matt seakan bisa menebak bagaimana hancurnya hati sahabatnya ini ketika tahu bahwa mamanya meninggalkannya. Usia Matthew memang lebih muda beberapa bulan dari Alea, tapi rasanya Matt berlaku seperti seorang kakak bagi Aleasha.

Alea tersenyum manis, anak kecil itu tidak mengerti apa-apa. Ia hanya tahu bahwa mama dan papa nya sedang pergi karena ada urusan di luar kota. Dan Brian juga tidak memberitahu Alea bahwa Amora sudah pergi entah kemana dari kehidupan mereka. "Terima kasih Matt."

Matthew menatap Alea, ia membentangkan tangannya dan merengkuh Alea. Ia mengecup kening Alea kemudian mengeratkan rangkulannya. "Aku akan jagain kamu."

Alea tersenyum lebar. "Berarti aku boleh tidur di kasur kamu dong?"

"Iya. Tapi jangan ngompol lagi."

Eternal LoveWhere stories live. Discover now