Problem

1.9K 133 11
                                    

Brian melakukan pekerjaan kantornya dengan baik. Seperti biasanya. Laporan keuangan, permintaan kerja sama, dan dokumen-dokumen lainnya yang juga membutuhkan tanda tangannya semua diselesaikan dalam satu hari. sendirian. Karena Amora tidak masuk kerja hari ini. Dia bilang dia sedang tidak enak badan setelah Brian mengantar Alea tadi.

Tepat jam 12 siang, Brian keluar kantor, menatap kursi yang biasanya Amora duduki dan tersenyum kecil mengingat kenangan mereka dulu.

Menghela napas, Brian mengumbar senyum bahagia sepanjang perjalanannya untuk menjemput Alea.

"PAPA!" seru Alea senang saat ia melihat Brian turun dari mobil dan berjalan menghampirinya.

"Ayo kita pulang, Sayang." Brian mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Alea, gadis kecil itu mengangguk senang.

Sepanjang perjalanan pulang Alea berceloteh tentang bagaimana hari pertamanya sekolah tadi. Matt yang selalu menjahilinya dan seorang anak perempuan lain yang tidak dikenalnya selalu mendekati Matt. Brian hanya tertawa mendengar celotehan putrinya itu.

Baginya, apapun yang terjadi pada Alea pada masa pertumbuhannya saat ini adalah hal yang sangat penting. Sekalipun itu hanya celotehannya tentang teman-teman barunya di sekolah. Brian tidak akan melewatkan satupun.

"Jadi, apa yang kamu pelajari hari ini Al?" tanya Brian tanpa mengurangi fokusnya pada jalanan.

Alea yang duduk disampingnya mencebikan bibirnya seperti sedang mengingat-ingat. "Hanya perkenalan dan bermain."

Brian tertawa melihat tingkah putrinya itu. Betapa beruntungnya dia bisa mendapat seorang Putri yang cantik dan pintar seperti Alea.

Setelah sampai dirumah, Alea langsung berlari masuk kedalam rumah sambil meneriakan 'Mama dimana?'

"Mama lagi ke rumah sakit, sayang." Brian menghampiri Alea yang sekarang sudah hampir menangis karna tidak bisa menemukan Mamanya.

Air mata langsung mengalir deras dari mata gadis kecil itu. Sorot khawatir terpancar dari bola mata coklatnya. "Mama kenapa dirumah sakit, Pa? Ayo jenguk Mama!" Alea menarik-narik lengan Brian.

Bukannya ikut khawatir, Brian justru tersenyum manis. Putrinya begitu menyayangi Mama dan Papanya. Gadis ini, sangat berharga bagi keluarga McKnight. "Mama baik-baik aja sayang, sebentar lagi Mama pasti pulang. Kamu mandi dulu ya, papa siapin makan siang."

Walaupun mengangguk, sebenarnya hati Alea masih ingin cepat-cepat menemui Mamanya. Entah kenapa ia begitu khawatir akan Amora hari ini.

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu tapi Amora tidak kunjung pulang. Brian berulang kali menelepon Amora tapi hanya operator yang menjawab. Ia benar-benar khawatir sekarang. Kemana istrinya pergi? Kalau hanya kerumah sakit harusnya tidak sampai selarut ini 'kan?

"Halo, Pa. Iya, Bri mau nanya Pa. Amora ada dirumah Papa? Hah? Dia tadi siang izin mau kerumah sakit tapi sampai sekarang belum balik Pa. Bri khawatir, Bri udah coba telepon dia tapi gak aktif. Iya, oke Pa. Makasih ya Pa."

Brian mengurut pangkal hidungnya. Apa terjadi sesuatu?
Pria itu mengeram dalam hatinya, ia tidak ingin kehilangan Amora untuk kedua kalinya. Ia tidak akan bisa melewati hari-harinya tanpa Amora. Tidak lagi,

"Aku pulang."

Amora berjalan masuk dengan lesu. Dia berdiri disamping sofa tempat Brian duduk. Wajahnya datar. Dan entah kenapa darah Brian serasa naik sampai ke ubun-ubunnya melihat Amora yang sama sekali tidak menunjukan ekspresi bersalah atau sekedar menjelaskan kemana dia pergi seharian ini.

"Dari mana kamu?" Brian bahkan tidak menoleh saat bertanya pada Amora.

"Rumah sakit."

"KALAU KAMU DARI RUMAH SAKIT, KENAPA WAKTU AKU TELEPON PIHAK RUMAH SAKIT MEREKA JUSTRU BILANG KAMU UDAH PULANG DARI JAM 2 SIANG?! INI UDAH JAM BERAPA AMORA SMITH?!" Air muka Brian berubah. Benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah aneh Amora ini. Bahkan, dia menyebut nama Amora menggunakan marga keluarga Antony. Bukan McKnight seperti yang selalu dilakukannya selama ini.

Sedangkan Amora hanya menutup matanya. Bibir, tangan dan kakinya gemetaran. Tapi ia mencoba untuk kuat. "Aku juga punya privasi, Bri. Gak semua yang aku lakuin harus kamu tahu."

Brian mengacak rambutnya kesal. "AKU SUAMI KAMU!"

"APA KAMU UDAH JADI SUAMI YANG BAIK BUAT AKU SAMPAI AKU HARUS SELALU BILANG KEMANA AKU PERGI, SAMA SIAPA AKU PERGI, ATAU SELAMA APA AKU PERGI?!" Amora ikut menaikkan suaranya.

Brian terdiam. Menatap Amora dengan pandangan aneh. Air mata mengalir di sudut mata pria tampan itu.

"Aku gak ngerti." suaranya melirih.

"Aku gak ngerti apa yang terjadi sama kamu. Aku gak tahu Mor. Kamu bersikap aneh, ini bukan kamu."

"Ini aku yang sebenarnya, Brian." ucap Amora memotong ucapan Brian.

Pria itu menggeleng dengan senyum pahit diwajahnya. "Gak. Ini bukan kamu. Aku tahu seperti apa kamu Amora."

"Aku minta jangan campuri urusan aku lagi." Amora mengucapkan kata itu tanpa keraguan sedikitpun.

Binar mata Brian kian meredup. Kenapa ini? Kenapa ini terjadi?

"Kamu..." Brian menunduk dan menghapus air mata yang kian deras mengalir. "Okay. Aku gak akan pernah nyampurin urusan kamu lagi." ucapnya penuh penekanan. Dan setelah mengatakan itu, Brian berlalu dari hadapan Amora. Lagi-lagi tanpa menatapnya. Hati Brian begitu hancur kali ini. Sangat hancur. Istrinya, orang yang dicintainya, Amoranya mengucapkan satu kalimat yang sangat bertentangan dengan sifat dan sikap Amora yang dikenalnya. Orang yang berdiri di belakangnya ini, bukan Amora yang dikenalnya. Begitu terasa berbeda. Brian meninggalkan rumah dengan hati yang tercabik-cabik. Mengutuk dan menyumpahi siapa pun yang menghalangi jalannya.

Brian seperti kerasukan setan. Tengah malam menyetir membabi buta tidak tentu arah seperti itu.

Disisi lain, Amora jatuh terduduk tepat setelah ia mendengar suara mobil Brian yang menjauh. Air mata yang sedari tadi ditahannya langsung jatuh tanpa bisa ditahannya lagi. Ia meraung meremas amplop coklat yang diberikan dokter Anne padanya tadi siang.

"Kamu mengidap kanker otak Amora. Mungkin ini disebabkan oleh gaya hidup kamu saat muda tidak sehat."

"Kami akan mengusahakan yang terbaik untukmu, Mora. Tante harus beritahu ini pada Brian."

Mata Amora membulat. "Jangan Tante, biar aku aja yang kasih tahu Bri." ujarnya dengan senyum lesu.

Pada nyatanya, Amora bahkan tidak sanggup untuk menatap mata Brian. Ia tidak bisa mengatakan hal ini pada Brian. Menurutnya, hal ini adalah cara paling baik. Cara paling benar untuk menjauhi Brian dan juga putrinya.

Maaf Bri, tapi aku harus. Aku melakukan ini untuk kebaikan kalian. Maaf sekali lagi.

Batin Amora menjerit pilu. Ia sudah menelepon Steven sebelum ia pulang kerumah tadi, dan mengatakan pada Steven untuk membawa Alea kerumah Antony untuk sementara. Karena Brian dan Amora mempunyai sesuatu yang harus diselesaikan secepatnya.

Amora dengan segera naik ke kamarnya, mengemasi pakaiannya dan menaruh ponselnya diatas bantal Brian. Ia menatap nanar semua pakaian Brian, siapa yang akan menyiapkan pakaian kantornya nanti?

Amora menghapus air matanya dan menguatkan hatinya. Ini adalah jalan terbaik untuk mereka berdua. Sebelum pergi ia melihat wajah tenang Alea yang sedang tertidur dikamarnya. Dengan perlahan Amora mencium pipi anaknya itu.

"Mama sayang kamu, Nak. Sampai ketemu lagi ya. Kamu jangan nakal. Ikut apa kata Papa, Opa dan uncle kamu ya. Mama pergi." bisiknya pelan ditelinga Alea. Alea menggeram kecil, kemudian kembali tertidur.

Amora menatap sekali lagi rumah yang menjadi saksi betapa bahagianya keluarga mereka selama beberapa tahun ini. Sekarang, Amora harus meninggalkan dan mengubur semua kenangannya dirumah ini.

"Selamat tinggal, Bian."

Eternal LoveWhere stories live. Discover now