Hope

1K 55 22
                                    

Angin pagi berhembus, menerbangkan helaian daun yang berguguran di Taman, menggoyangkan deretan bunga yang tertanam di halaman.

Seseorang berharap angin itu juga menerbangkan perasaan gundahnya ini, sehingga ia tidak lagi harus terus menangis dan mengutuk takdir yang terlalu kejam padanya.

Air mata mengalir, dada menjadi sesak karena ritme napas yang tidak teratur. Tapi ia masih belum puas, ia masih terus berlutut, memegangi dada kirinya yang berdenyut sakit.

Ia merasa jiwanya terenggut dari sisinya. Kata-kata bisa menjadi bumerang untuk kehancuran seseorang.

Brian terus menangis. Entah untuk keberapa kalinya, ia tidak pulang kerumahnya dan juga tidak pergi ke kantor. Ia masih berada dirumah Dave.

Entah kenapa, Brian baru menyadarinya sekarang. Bahwa setiap sudut hatinya, setiap sisi hidupnya, setiap jam yang dilaluinya, semuanya diisi oleh kehangatan Amora.

Kini hidupnya terasa gelap. Brian benar-benar kehilangan cahaya penuntunnya. Sosok yang selama ini di kagumi dan di cintainya sudah pergi meninggalkannya.

Sadarkah Amora bahwa ia sudah menghancurkan hati seorang pria? Bahkan pria setangguh Brian menangis karena Amora.

Sadarkah Amora, bahwa ia adalah dunia bagi Brian?

Apa Amora memikirkan perasaannya ketika ia bicara dengan isyarat bahwa ia tidak lagi menginginkan Brian di hidupnya?

"Bri."

Brian tetap tidak bergeming. Ia tetap menunduk, melampiaskan seluruh perasaannya dengan tangisan. Tidak peduli lagi kalau Dave dan Clara akan mentertawakannya.

Clara menatap Dave dengan mata memerah, ia seperti ikut merasakan bagaimana hancurnya Brian.

"Brian lihat gue." Dave berjongkok didepan Brian. Memaksa pria dewasa itu menatapnya.

"Gue tahu ini berat buat lo, tapi lo nggak boleh seperti ini. Ingat Bri, lo masih punya Alea sebagai tanggungjawab lo."

Perlahan tapi pasti, Brian mengangkat wajahnya dan balas menatap Dave. "Lo tahu apa arti Amora buat gue kan Dave? Dia cinta pertama gue. Gue nggak bisa terima kenyataan kalau sekarang gue kehilangan dia lagi."

"Dulu lo pernah nunggu dia, dan sekarang juga lo masih bisa nunggu dia. Bri, kalau Amora memang digariskan untuk lo. Dia akan kembali. Mau sejauh apapun dia lari dari lo, menghindar dari lo. Kalau Tuhan sudah takdirkan dia buat berdiri disamping lo, dia bisa apa?" Dave menaikkan suaranya.

Clara meringis. Dave sedang serius sekarang ini.

"Papa."

Ketiga orang itu sontak menoleh kebelakang. Mata mereka membelalak begitu melihat Alea berdiri disana, dengan piyama juga boneka besar di pelukannya.

Brian menatap Dave minta penjelasan. "I brought her here from uncle Antony's home last night."

Brian menghela napas, dengan cepat ia menghapus air matanya dan tersenyum pada Alea. Ya, Brian masih memiliki satu alasan untuk selalu tersenyum, putrinya.

"Papa why are you crying? Did someone hurt you?"

"Nggak sayang. Papa baik-baik saja, sini papa peluk." Dan Alea langsung berlari menerjang Brian, tapi ia tidak memeluk Brian.

Melihat situasi dan kondisi seperti itu, Clara langsung menarik Dave pergi dari sana dan membiarkan Brian bicara pada Alea.

"You are not fine, are you?"

Brian terkekeh. "Who said i'm not fine?"

"Papa nggak pandai bohong. Tadi Alea lihat papa nangis."

Eternal LoveWhere stories live. Discover now