27. Dia

4.3K 345 9
                                    

"Gue emang bodoh, gak perlu dibilangi juga gue udah tau." Laura tertawa kecil sedangkan di depannya sudah terdapat Arnold yang mendecih dan memutar bola mata kesal.

"Nah sekarang, silahkan masuk, khusus malam ini gue bakalan ngelayani elo."

"Thanks." Dengan sedikit kesusahan karena potongan gaunnya yang lebar hingga semata kaki, Laura memasuki mobil yang telah dibuka oleh Arnold sebelumnya.

Semua ini pasti rencana Ken. Siapa lagi jika bukan dia yang dapat memaksa pemilik apartemen yang Laura tumpangi untuk menjadi sopirnya. Ken sungguh keterlaluan dengan melibatkan Arnold dalam semua ini, bahkan Laura diam-diam terkekeh saat menangkap raut kesal pada wajah Arnold.

Mobil bergerak dan tidak ada suara yang ditimbulkan. Laura melihat ke arah penampilannya dan kembali berdecak kagum untuk ke sekian kali. Gaun biru gelap yang pagi tadi tiba-tiba diantar Harry kini melekat dengan pas pada tubuh Laura. Dia tidak mau membayangkan berapa jumlah lembaran yang menjadi alat pertukaran.

Ini pasti bukan sekedar kencan biasa. Tidak mungkin Ken akan bersusah payah memberikan gaun resmi untuk acara anak muda yang bisa dihabiskan dengan berkeliling mall tanpa henti.

Dan Laura mendapatkan jawabannya. Mobil yang dikemudikan Arnold memasuki parkiran yang terasa tidak asing, rumah Ken. Bedanya, kali ini, di sepanjang sudut dipenuhi dengan mobil-mobil mewah dan orang orang borjuis yang keluar dari kendaraan mereka.

Tidak membutuhkan waktu lama, Laura sudah berdiri dengan kakinya sendiri setelah pintu dibuka dari luar. Dia mengatakan kata-kata terima kasih singkat untuk sopirnya dan mendapat anggukan yang disertai senyuman kecil.

Ken berdiri di sana, menggunakan jas yang berwarna serupa dengan gaun yang ia pakai dengan rambut yang ditata sedikit rapi dari biasanya. Laura sedikit mengeluh, dia lebih menyukai Ken yang terlihat berantakan dan terkesan liar.

"Sebuah ajakan untuk menemani pergi ke pesta? Aku pikir ini tidak bisa disebut sebagai kencan." Sindiran yang kentara itu tidak digubris.

Ken menangkup tangan Laura dan mengarahkan ke lengannya, kemudian dengan perlahan menuntun untuk memasuki ruangan yang menjadi pusat acara.

"Setidaknya aku bisa menghabiskan waktu denganmu." Laura memutar sepasang emeraldnya. Dia tidak menanggapi perkataan Ken dan malah memandang ke segala arah.

"Pesta apa ini?"

"Entah, mungkin acara seperti pamer kekayaan?" Ken menghendik acuh tapi Laura dapat melihat bahwa lelaki itu merasa tidak nyaman dengan sekitarnya.

"Ken ...."

"Ya?" Hirupan napas yang panjang tersulut masuk ke paru-paru Laura. Dengan sesantai mungkin dia menoleh ke arah Ken yang juga menatapnya dan tersenyum kecil.

"Kenapa kita tidak pergi saja dari sini?"

"Sekarang?"

"Tentu saja. Kenapa tidak menghabiskan waktu untuk err ... menikmati suasana pantai pada malam hari atau menonton film horor di tengah malam?"

Laura menunggu dan dia tidak bisa menahan getaran gugup di sekujur tubuhnya. Ini bukan tentang ingin membuat Ken nyaman, ini juga bukan tentang ingin menghibur suasana hati laki laki itu. Ini adalah suatu peralihan untuk kepentingan pribadi.

"Ide bagus, aku akan mengambil kunci mobil di kamarku."

"Aku tunggu di luar." Ken sedikit mengernyit namun tidak berniat membantah. "Kau serius?"

"Ya."

"Baiklah."

Sepeninggalan Ken, Laura segera melajukan kakinya menjauh dari ruangan yang penuh sesak dengan lautan manusia.

Lagi-lagi dia melihatnya. Laura yakin kedua matanya telah menangkap sosok laki-laki itu. Tidak perlu memastikan dua kali karena yang harus dia lakukan kali ini adalah segera pergi dari rumah Ken.

Kedua tangan Laura menangkup gaunnya agar tidak menghalangi langkah kaki yang dibalut high heels. Sedangkan wajahnya tertunduk dengan dalam untuk menyamarkan identitasnya. Namun gara-gara itu juga, dia harus mendapatkan kesialan saat menabrak seseorang hingga tubuhnya terhuyung ke belakang.

Laura berdecak dan mendongak, dia ingin mengucapkan permohonan maaf dan melanjutkan langkahnya. Tapi sepasang manik tajam di depannya lebih dulu membuatnya membeku seketika.

Tenggorokannya terasa kering sedangkan kakinya menapak dengan sangat rekat. Laura masih memandangnya dengan intens, memastikan bahwa sosok di depannya bukanlah sekedar khayalan belaka.

Setelah tersadar, wajahnya menunduk kembali dan berjalan tanpa ingin mengucapkan satu kata pun.

"Di mana sopan santunmu?" Suara dalam yang merasuk lagi dalam telinganya setelah beberapa tahun membuat tubuh Laura tersetrum. Kakinya terhenti kembali walaupun keadaan orang itu sudah di belakangnya.

Tidak ada sahutan dan keriuhan pesta merembes di antaranya. Terdengar ketukan kaki lain yang mendekat dan Laura menutup matanya sambil merapalkan doa.

Semoga tidak. Aku mohon, jangan dia.
"Mister Nhefado, selamat datang."

"Jadi kau mengundangku untuk ini?"

"Tentu saja saya mengundang Anda karena rasa hormat saya."

Laura tidak tahan, kakinya baru terbuka untuk beranjak namun suara menggelegar menghentikannya lagi. "Diam di tempatmu Amora."

"Kenapa buru-buru sekali? Tidak ingin bersanding dengan kekasihmu dan memamerkannya padaku?" lanjutnya dengan nada menyindir yang kentara.

Tidak ada yang menyahut dan mereka seakan berada di mesin pemberhenti waktu. Riuh pesta yang tadinya terdengar sangat jelas kini serasa hilang terbang dibuai angin.

"Amour ... apa itu kamu?" Dada Laura bergemuruh. Mulutnya mengatup sangat rapat hingga tidak akan keluar secuil kata pun darinya. Suara itu terlalu familier untuknya.

"Ara baby?" Laura menggeleng pelan, dia tidak ingin mendengar panggilan itu. Dia tidak ingin lagi mencicip manisnya kasih yang dulu tumbuh di antara mereka.

Di saat tubuhnya mematung selayaknya disiram resin dan katalis, pikirannya juga ikut tersendat buntu. Tidak ada satu pun otot yang ingin bekerja membentuk gerakan. Seluruh tubuhnya seakan berada di dalam kendali yang sedang dinon-aktifkan.

Laura terkesiap saat menyadari sepasang tangan kekar telah melingkari pinggangnya dari belakang. Bersamaan dengan itu, pundak kanannya terasa lebih berat karena beban yang bertambah.

Bau yang tidak asing dalam indra penciumannya membuat sekilas memori indah terbayang lagi. Tentang mereka dan kisah di antara keduanya.

Tangan ini dulu yang memeluknya dalam tidur. Wangi ini dulu yang menjadi alunan musik saat malam. Dan sosok ini yang dulu mencintainya dengan sangat dalam.

"I miss you so bad."

***

Enggak berantakan kan tulisannya? Kok di aku kaya antar paragraf kepotong-potong sama acak-acakan gitu.

Oh iya, menurut kalian ini lebih pantes di genre romance apa teenfict? Aku cuma gak mau salah penempatan aja nanti hehe

Vote & Comment

Stole My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang